Banda Aceh

Perpanjangan Masa Jabatan DPR Langgar Konstitusi, Konsultan Hukum: Potensi Makar Konstitusional

Penulis: Jafaruddin
Editor: Nur Nihayati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Konsultan Hukum LBH Qadhi Malikul Adil, Dr Bukhari, MH CM

pemisahan tersebut, muncul potensi kekosongan jabatan legislatif  karena jadwal pemilu dan pelantikan tidak lagi serentak dengan berakhirnya masa

Laporan Jafaruddin I Lhokseumawe

SERAMBINEWS.COM, LHOKSEUMAWE – Wacana perpanjangan masa jabatan anggota DPR dari lima tahun menjadi 7,5 tahun kembali mencuat ke permukaan.

Isu ini muncul sebagai respons atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa mulai tahun 2029, pemilu nasional (presiden, DPR, dan DPD) dan pemilu daerah (gubernur, bupati, wali kota, serta DPRD) harus diselenggarakan secara terpisah.

Akibat pemisahan tersebut, muncul potensi kekosongan jabatan legislatif  karena jadwal pemilu dan pelantikan tidak lagi serentak dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024.

Baca juga: Polresta Banda Aceh Tangkap Pemerkosa Anak di Bawah Umur

Kekhawatiran inilah yang kemudian mendorong munculnya gagasan untuk memperpanjang masa jabatan DPR dari lima tahun menjadi 7,5 tahun, agar tidak terjadi kekosongan pada tahun 2029.

Namun, Dr Bukhari, M.H., CM, Konsultan Hukum LBH Qadhi Malikul Adil, menilai bahwa perpanjangan masa jabatan tersebut adalah langkah yang menyalahi prinsip dasar konstitusi.

Menurutnya, upaya memperpanjang masa jabatan tanpa pemilu merupakan bentuk pelanggaran konstitusi yang serius.

“Putusan MK memang memisahkan pemilu nasional dan lokal, tetapi tidak pernah menyarankan memperpanjang masa jabatan. Jika itu dilakukan, maka kita sedang bermain di zona abu-abu konstitusi yang sangat berbahaya,” tegas Bukhari dalam siaran pers yang diterima serambinews.com, Selasa (8/7/2025).

Ia menambahkan bahwa konstitusi dengan tegas mengatur pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Melanggar siklus ini berarti menghapus mandat rakyat dan merusak tatanan demokrasi yang sah.

“Dalam perspektif hukum tata negara dan hukum Islam, kekuasaan tanpa legitimasi rakyat adalah batil.

Masa jabatan yang diperpanjang tanpa pemilu ibarat kepemimpinan tanpa bai’at, dan itu bertentangan dengan prinsip syura dalam Islam,” jelasnya.

Lebih lanjut, Bukhari menegaskan bahwa negara harus mencari solusi konstitusional untuk mengatasi kekosongan jabatan tanpa merusak prinsip pemilu periodik.

Ia mendorong agar pemerintah segera merancang regulasi sinkronisasi, baik melalui revisi UU Pemilu maupun peraturan peralihan yang sah secara hukum.

“Daripada memperpanjang jabatan, lebih baik mempercepat  pemilu atau menggunakan peraturan transisi terbatas. Ini jauh lebih konstitusional dan sesuai dengan maqashid syariah dalam menjaga kekuasaan yang sah,” tutupnya.(*)

Baca juga: Alumni SMAN 1 Lhokseumawe di Jakarta Galang Donasi, Bantu Seratusan Kaum Duafa

Berita Terkini