Di sektor kesehatan, situasinya tak kalah mengkhawatirkan.
Statistik kesehatan daerah yang menyangkut dengan AKI yang tersedia hanya pada tahun 2021 mencapai 223 per 100.000 kelahiran.
Angka ini jauh di atas standar nasional sekitar 130-180 per 100.00 berdasarkan RPJMN dan WHO.
Angka ini jauh dari rata-rata provinsi seperti Jawa Timur atau Bali.
Prevalensi stunting mencapai 31,2 persen pada 2022, bahkan sempat menduduki peringkat ke-5 tertinggi nasional.
Fasilitas layanan dasar memang diperbanyak, tetapi persebaran dokter, bidan, dan tenaga kesehatan tetap timpang.
Ada kecamatan di Aceh Tengah atau Simeulue yang masih harus menempuh puluhan kilometer untuk mengakses puskesmas rawat inap.
Baca juga: Partai Politik di Aceh Dapat Bantuan Dana Rp 29 Miliar
Ladang patronase
Ironisnya, Aceh adalah salah satu daerah dengan belanja kesehatan per kapita tertinggi secara nasional.
Tapi angka-angka itu seperti air hujan yang tak pernah mencapai akar.
Sejarah tidak akan menulis bahwa Aceh kekurangan uang.
Yang akan dicatat adalah bahwa uang itu gagal membangun kapasitas manusia.
Dana Otsus telah menjelma menjadi jaring pengaman fiskal yang terlalu nyaman, bukan alat untuk memacu inovasi atau efisiensi, melainkan ladang patronase.
Di banyak tempat, anggaran belanja rutin seperti gaji, perjalanan dinas, dan kegiatan seremonial masih mendominasi.
Sementara investasi pada pendidikan, pelatihan guru, atau insentif tenaga medis yang berkinerja tinggi belum menjadi kebijakan utama.
Yang ironis, pada saat Aceh menikmati dana Otsus, tercatat tingkat pengangguran terbuka tertinggi di Sumatera selama bertahun-tahun.