Penulis: Dr. Iswadi, M.Pd*)
Delapan puluh tahun bukan waktu yang singkat bagi sebuah bangsa.
Ia adalah usia matang, di mana seharusnya karakter, arah, dan kekuatan bangsa telah mengakar kuat dan jelas.
Namun, ketika Indonesia menginjak usia ke-80, kita justru berdiri di sebuah simpang jalan: antara kemajuan dan kemunduran, antara harapan dan kecemasan, antara menjadi bangsa besar atau hanya bangsa besar dalam angan-angan.
Kemerdekaan yang diraih dengan darah dan nyawa seharusnya menjadi fondasi untuk membangun Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat.
Namun, pertanyaan besar menggantung: Sudahkah kita benar-benar merdeka dalam arti sesungguhnya?
Ataukah kita justru tengah menghadapi ujian terberat dari perjalanan panjang kemerdekaan itu sendiri?
Indonesia adalah bangsa yang majemuk lebih dari 17.000 pulau, 700 bahasa daerah, dan ratusan suku.
Keberagaman ini adalah kekuatan, tetapi juga ujian. Dalam dekade terakhir, polarisasi politik, fanatisme agama, hingga intoleransi semakin meruncing.
Narasi kebangsaan kerap dikalahkan oleh semangat kelompok.
Padahal, keberhasilan Indonesia bertahan selama 80 tahun bukan hanya karena kekuatan senjata atau ekonomi, melainkan karena semangat persatuan.
Baca juga: Telkomsel Hadirkan Paket Simpati Terbaik dengan Fitur Kuota Anti-hangus, Begini Cara Mendapatkannya
Kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah Pancasila masih hidup dalam praktik berbangsa kita, atau hanya menjadi slogan kosong dalam upacara seremonial?
Apakah “Bhinneka Tunggal Ika” masih menjadi prinsip, atau tinggal menjadi tulisan di pita burung Garuda?
Demokrasi adalah pilihan yang dipilih oleh pendiri bangsa. Namun hari ini, demokrasi kita tampak lelah.
Politik uang, manipulasi opini publik, penggembosan oposisi, dan minimnya ruang kritik adalah gejala-gejala penyakit demokrasi yang akut.
Rakyat masih memilih dalam pemilu, tetapi apakah suara mereka benar-benar menentukan arah negeri?
Saat penguasa lebih sibuk membangun dinasti politik daripada memperbaiki kualitas hidup rakyat, maka demokrasi kita kehilangan ruhnya.
Kebebasan berpendapat terancam oleh pasal-pasal karet, dan suara-suara kritis dibungkam atas nama stabilitas. Indonesia diuji: apakah kita masih bangsa merdeka jika rakyat takut bicara?
Indonesia bangga dengan pertumbuhan ekonomi, dengan gedung-gedung pencakar langit, dan pembangunan infrastruktur masif.
Namun di balik angka-angka makro yang mengilap, ketimpangan sosial tetap mencolok. Petani kehilangan lahan, nelayan kehilangan laut, buruh kehilangan harapan.
Baca juga: Permintaan Meningkat, Pedagang Bendera Merah Putih Rasakan Berkah Kemerdekaan
Generasi muda menghadapi realitas sulit: pendidikan mahal, lapangan kerja terbatas, dan biaya hidup melambung.
Di sisi lain, segelintir elit terus memperkaya diri, dan kekayaan nasional masih terkonsentrasi pada kelompok kecil.
Ini bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan soal keadilan. Sebuah bangsa akan rapuh bila sebagian besar rakyatnya merasa ditinggalkan
Di usia 80 tahun, bangsa ini seharusnya berpikir jauh ke depan. Tapi kerusakan lingkungan terus terjadi: hutan ditebang, sungai tercemar, laut dipenuhi sampah, dan udara penuh racun.
Demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek, kita mengorbankan masa depan anak cucu.
Bencana ekologis bukan lagi musibah alam, tapi akibat kebijakan yang tamak dan abai.
Kemerdekaan tidak ada artinya jika rakyatnya harus hidup di tengah bencana buatan manusia.
Indonesia sedang diuji: apakah kita bangsa yang bijak mengelola warisan alam, atau generasi yang menghancurkan tanah airnya sendiri?
Yang lebih mengkhawatirkan dari krisis ekonomi atau politik adalah krisis moral. Korupsi terus merajalela, bahkan di lembaga-lembaga penegak hukum.
Pemimpin dipilih bukan karena kapasitas, tapi karena popularitas. Banyak elite sibuk menjaga citra, bukan memperjuangkan nasib rakyat.
Ketika integritas menjadi barang langka, maka bangsa ini berada dalam bahaya.
Merumuskan masa depan
Indonesia butuh pemimpin yang tak hanya cerdas, tapi juga berani, jujur, dan punya visi jangka panjang.
Bukan pemimpin yang mengejar kekuasaan demi nama dan warisan politik, tapi yang mampu merawat kemerdekaan dengan tanggung jawab dan keberanian moral.
Simpang jalan itu nyata. Indonesia bisa memilih menjadi bangsa besar yang berdaulat, adil, dan bermartabat atau terjebak dalam lingkaran konflik, ketimpangan, dan kehancuran lingkungan.
Masa depan tidak akan datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan.
Ujian-ujian ini tidak hanya milik pemerintah atau elite politik, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia.
Di usia ke 80, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita hanya ingin jadi penonton sejarah, atau menjadi pelaku yang mengarahkan ke mana bangsa ini akan melangkah?
Baca juga: Viral di Medsos, Penyanyi Bireuen Mickey Klakson akan Tampil di Malaysia, Ini Profilnya
Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah momen refleksi sekaligus titik tolak. Ini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tapi tentang merumuskan masa depan.
Jika kita gagal menjawab ujian-ujian ini, maka kemerdekaan yang diwariskan para pahlawan akan tinggal menjadi cerita dalam buku teks.
Tapi jika kita mampu menjawabnya dengan keberanian, kejujuran, dan kebersamaan, maka simpang jalan ini bisa menjadi awal dari kebangkitan baru Indonesia sebuah bangsa yang bukan hanya merdeka secara politik, tapi juga secara utuh: dalam pikiran, dalam perut, dalam lingkungan, dan dalam hati nurani.
*) PENULIS adalah Dosen Universitas Esa Unggul, Jakarta
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI