Ketika memasuki Aceh, suasana Denni langsung berubah. Jalan yang dilalui sungguh mulus, pemandangan yang indah, dan orang-orangnya yang ramah.
Saat melintasi wilayah Kecamatan Sultan Daulat, Subulussalam, ada yang mencuri perhatiannya. Ia pun langsung menghentikan sepedanya.
Saat itu sedang ada acara hajatan pernikahan. Rasa penasaran Denni untuk melihat prosesi dan pengantin memakai baju Aceh.
Ia kemudian meminta izin untuk berfoto dengan pengantin yang sedang menggelar hajatan tersebut.
Namun saat ia akan melanjutkan perjalanan, langkahnya kemudian di setop oleh yang menggelar hajatan.
“Pak.. pak.. makan dulu sini,” ujar Denni yang menirukan perkataan pemilik hajatan tersebut.
Dalam perjalanannya, ia merasa selalu dipertemukan dengan orang baik.
Meski menghadapi tantangan teknis seperti rantai sepeda putus dan ban bocor, ia tetap melanjutkan perjalanan dengan semangat.
Denni menegaskan bahwa jalur yang dilalui aman, terutama di Aceh, dengan jalan yang mulus dan masyarakat yang sangat ramah serta terbuka.
Meski usianya tak lagi muda, semangatnya mengayuh sepeda ribuan kilometer tidak surut sedikit pun.
Ia menuturkan bahwa setiap kilometer yang dilalui adalah untuk merayakan hidup.
“Ini nazar saya. Gowes solo untuk merayakan hidup,” ujarnya.
Kisah perjalanan panjangnya diharapkan menjadi inspirasi bagi banyak orang bahwa keterbatasan usia bukanlah halangan untuk berkarya dan memberi teladan.
Denni memang bukan atlet atau pesepeda profesional.
Ia menyebut dirinya hanya seorang amatir yang sudah menyukai sepeda sejak muda.
Kecintaannya pada sepeda tetap terjaga bahkan saat bekerja sebagai pegawai di Jasa Marga.
(Serambinews.com/Agus Ramadhan)
Baca dan Ikuti Berita Serambinews.com di GOOGLE NEWS
Bergabunglah Bersama Kami di Saluran WhatsApp SERAMBINEWS.COM