Mendorong Ekonomi Kerakyatan: Dari Bawah ke Atas
Misi peningkatan ekonomi kerakyatan patut diapresiasi karena menempatkan warga sebagai subjek, bukan sekadar objek pembangunan. Model ekonomi trickle-down effect (menetes ke bawah) yang sentralistik seringkali gagal. Rasyid Bancin tampaknya ingin membalik logika itu dengan membangun dari bawah (grassroot).
Potensi Subulussalam dalam sektor perkebunan (karet, kelapa sawit), perikanan, dan hasil hutan bukanlah rahasia lagi. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan nilai tambahnya. Daripada hanya menjual bahan mentah, pembangunan harus diarahkan untuk mendukung industri pengolahan skala kecil dan menengah (IKM). Misalnya, mendukung petani karet untuk membuat produk olahan karet sederhana, atau nelayan untuk memiliki teknologi pengawetan ikan.
Pemerintah kota dapat berperan sebagai fasilitator dengan memberikan akses permodalan melalui KUR syariah, pelatihan manajemen dan pemasaran, serta membuka akses pasar yang lebih luas. Membangun pasar digital untuk produk-produk lokal Subulussalam bisa menjadi terobosan.
Dengan menguatkan ekonomi di tingkat tapak, uang akan berputar lebih lama di dalam kota, yang pada akhirnya akan menggerakkan roda perekonomian secara lebih inklusif dan berkeadilan.
Infrastruktur dan Tata Kelola: Pengikat Seluruh Misi
Dua misi terakhir yaitu peningkatan tata kelola pemerintahan dan pembangunan infrastruktur yang merata merupakan pengikat dari semua misi sebelumnya. Infrastruktur adalah urat nadi ekonomi. Jalan yang baik menghubungkan petani ke pasar, listrik yang stabil mendukung industri kecil, dan internet yang cepat membuka akses pada informasi dan pasar global.
Prinsip “merata” di sini krusial. Pembangunan tidak boleh lagi terpusat di wilayah tertentu. Daerah pinggiran dan pedesaan harus mendapat porsi yang sama untuk memastikan tidak ada kesenjangan baru yang lahir.
Sementara itu, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) adalah software-nya. Infrastruktur sehebat apapun akan sia-sia jika dikelola oleh birokrasi yang lamban, berbelit, dan koruptif. Modernisasi pelayanan publik melalui e-government, penerapan sistem pengadaan barang/jasa yang transparan, dan pemberian pelayanan yang pro-rakyat adalah wujud nyata dari misi ini.
Birokrasi yang bersih dan efisien akan menciptakan lingkungan usaha yang sehat, mempermudah investasi, dan pada akhirnya mempercepat laju pembangunan. Konsep cerdas sejalan dengan Model PRITIA merupakan cara cerdas dalam membangun peradaban yang lebih baik di Negeri Syariah.
Tantangan dan Harapan Ke Depan
Jalan menuju Subulussalam yang Sejahtera, Aman, dan Islami tentu tidak landai. Tantangan anggaran, konsistensi implementasi, dan koordinasi antar dinas akan menjadi ujian berat. Butuh political will yang sangat kuat dari sang Wali Kota untuk memastikan seluruh jajarannya bergerak dalam koridor visi yang sama.
Rakyat Subulussalam telah memberikan kartu hijau. Kini, saatnya untuk bekerja. Arah pembangunan ala Rasyid Bancin telah digariskan dengan cukup jelas dan komprehensif, mencakup aspek spiritual, manusiawi, ekonomi, dan fisik. Ia menawarkan sebuah model pembangunan yang holistik dan berkarakter lokal (Model PRITIA).
Keberhasilan periode ini akan diukur bukan dari gemerlap proyek fisik semata, tetapi dari seberapa jauh kesejahteraan itu dirasakan oleh nelayan di Pantai Haloban, petani karet di Simpang Kiri, pedagang kecil di pusat kota, dan anak-anak yang bersekolah di pelosok Kampung Badar. Jika seluruh misi ini dijalankan dengan konsisten, integritas, dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat, maka Subulussalam tidak hanya akan menjadi contoh kota Islami di Aceh, tetapi menjadi contoh kota yang berhasil memadukan kemodernan dengan kearifan lokal dan spiritualnya.
Semoga Allah meridhai Langkah bijak dan cerdas pemimpin masadepan Rakyat Subulussalam, amin.
*) PENULIS Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh