Pojok Humam Hamid

MSAKA21: Jejak Panjang yang Sunyi, Aceh Sebelum Hindu–Buddha- Bagian VI

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tokoh masyarakat sipil Aceh, Ahmad Humam Hamid berpidato pada acara Peringatan 20 Tahun Perdamaian Aceh yang digelar ERIA School of Government di Jakarta, Kamis (14/8/2025).

Masa pertemuan itu bukan sekadar transisi biologis, melainkan juga benturan kosmologi. 

Austroasiatic dikenal dengan tradisi animisme agraris yang melekat pada tanah dan hutan, sementara Austronesia membawa sistem pelayaran yang menatap laut sebagai halaman rumah. 

Dua horizon itu bertemu di Aceh: gunung dan laut, darat dan samudra, menetap dan mengembara. 

Dari sinilah lahir keseimbangan yang unik dalam kebudayaan pesişir Aceh, dan wilayah tengah yang selalu berdiri di persimpangan antara hulu dan muara.

Bukti di Loyang Mendale

Arkeologi memberi kita serpihan bukti.

Di Loyang Mendale, tepi Danau Laut Tawar, ditemukan kerangka manusia berusia sekitar 3.000 tahun. 

Ia dikubur bersama peralatan sederhana: pecahan tembikar, mata panah batu, manik-manik kaca yang mungkin datang dari jauh. 

Kehadirannya menegaskan bahwa Gayo bukanlah dataran terisolasi, melainkan bagian dari jaringan migrasi dan pertukaran regional. 

Di Loyang Ujung Karang, ditemukan jejak hunian serupa.

Ada api unggun, alat tulang, dan sisa makanan.

Semuanya berbicara tentang kesinambungan hidup yang panjang.

Bandingkan dengan situs megalitik di Pasemah, Sumatra Selatan, atau di Nias dengan patung-patung batu raksasanya. 

Ada resonansi yang sama, manusia pra-Hindu–Buddha di Nusantara membangun struktur batu sebagai penanda, entah makam, entah altar, yang selalu terkait dengan ritus leluhur. 

Di Gayo, menhir dan dolmen masih berdiri di beberapa desa, menjadi bukti bahwa wilayah ini masuk dalam orbit budaya megalitik Asia Tenggara.

Jejak itu memberi kita gambaran. 

Halaman
1234

Berita Terkini