Hutan lebat membentang dari pesisir hingga ke dataran tinggi, sungai-sungai deras mengalir ke laut, dan di antara itu perkampungan kecil dengan rumah panggung dari kayu.
Asap dapur mengepul, anak-anak bermain di tepian danau, orang dewasa menenun jaring, meracik ramuan, atau mendirikan batu tegak untuk leluhur.
Tidak ada raja, tidak ada prasasti, tidak ada kuil megah—tetapi ada keteraturan hidup yang dibangun dari pengalaman ratusan generasi.
Inilah ruang waktu yang jarang disorot dalam narasi sejarah kita.
Kita lebih sering terpesona pada kedatangan Hindu, Buddha, atau Islam, seakan-akan kebudayaan baru lahir ketika agama-agama besar itu masuk.
Padahal justru masa pra-Hindu–Buddha adalah fondasi tak terlihat, tempat nilai, bahasa, dan pola pikir asli terbentuk.
Kekuatan Aceh pesisir dan wilayah tengah hari ini sebagian besar bersumber dari periode itu.
Keakraban dengan tanah dan air, ketahanan menghadapi gelombang luar, dan keterampilan menenun identitas dari benang-benang yang datang silih berganti.
Bagi mereka di wilayah tengah-terutama Gayo, hutan bukan sekadar latar, melainkan bagian dari tubuh sosial.
Bagi orang Alas, sungai adalah jalur hidup.
Bagi orang Aceh pesisir, laut adalah halaman rumah.
Semua itu adalah warisan langsung dari masa ribuan tahun sebelum Hindu–Buddha masuk.
Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang sejarah Aceh, tidak cukup hanya berhenti pada raja-raja besar atau peperangan megah.
Ada bab sunyi yang perlu dibaca ulang.
Ribuan tahun manusia biasa yang hidup, mencipta, dan mewariskan sesuatu yang lebih abadi daripada istana--yakni bahasa, pola hidup, dan rasa keberadaan bersama.
Mungkin inilah cara terbaik menghormati masa pra-Hindu–Buddha di Aceh.
Bukan dengan menjadikannya sekadar catatan kaki, melainkan dengan mengakuinya sebagai fondasi yang membuat Aceh hari ini berbeda dari daerah lain.
Sebuah fondasi yang dibangun dari pertemuan Austroasiatic dan Austronesia, dari tembikar dan menhir, dari mitos dan lagu-lagu purba, yang semuanya masih berdentang samar dalam bahasa, tradisi, dan imajinasi kita.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.