Tapi di Aceh, hari itu seharusnya menjadi “tambo” pengingat, bukan seremoni.
Sebuah lonceng pengingat bahwa generasi yang hari ini disebut sebagai Generasi Z--anak-anak muda yang lahir setelah perdamaian Helsinki ditandatangani--, telah hidup dalam kerangka Otonomi Khusus selama hampir dua dekade.
Namun, yang lebih penting dari usia Otsus adalah pertanyaan yang jarang diajukan.
Apa yang benar-benar telah diwariskan kepada generasi ini?
Baca juga: Masa Depan Aceh di Pundak Gen-Z dan Alpha
Generasi sehat tapi juga "cacat"
Generasi Z Aceh adalah anak-anak dari perdamaian yang tumbuh relatif sehat, tetapi juga ada cacatnya.
Mereka memang sehat, karena tidak dibesarkan dalam gemuruhnya bunyi senjata, penculikan, bahkan penghilangan paksa.
Pada saat yang sama, mereka juga hidup “cacat” karena mereka tumbuh dalam gema janji-janji pembangunan, janji kesejahteraan, janji kekhususan, yang sampai hari ini belum sangat jelas bentuknya.
Mereka mendengar bahwa Aceh istimewa, bahwa perjuangan telah membuahkan hasil, bahwa kini saatnya membangun.
Namun ketika mereka cukup dewasa untuk menilai, yang mereka temukan adalah jurang antara kata dan kenyataan.
Memang pembangunan ada.
Jalan dibuka, gedung bertingkat tumbuh, data statistik menunjukkan angka-angka kemajuan.
Tapi pengalaman hidup sehari-hari Gen Z di Aceh memberi narasi lain.
Sekolah kekurangan guru, kalaupun ada, sangat sedikit yang berkualitas.
Kampus yang lumayan banyak namun tak menyentuh dunia industri, komunitas pemuda bergerak tanpa dukungan, dan pemerintah lebih sibuk mendandani baliho daripada mendengar usul apalagi kritik.
Mereka tumbuh dalam masyarakat yang terlalu cepat menyebut kata “damai,” tapi pelit membuka ruang demokrasi dan malas bekerja keras serta tak istiqamah dengan moral.