Pojok Humam Hamid

20 Tahun Aceh Damai: Gen Z, Egepe, Pesimisme Konstruktif, dan Imajinasi Tragis

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof Ahmad Humam Hamid, Sosiolog dan Guru Besar USK.

Mereka mengkritik lewat Instagram, menyindir lewat meme, membangun narasi alternatif di TikTok, podcast, dan blog. 

Diam-diam mereka tahu suara mereka mungkin tak masuk berita, tapi bisa masuk kesadaran kolektif.

Konten adalah senjata mereka.

Namun semua itu belum cukup.

Membiarkan sistem berjalan tanpa gangguan berarti menyerahkan masa depan pada tangan-tangan lama. 

Inilah saatnya Gen Z Aceh mengambil posisi jelas, bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai penggugat. 

Modalnya ada dua.

Apakah itu? Pesimisme konstruktif dan imajinasi tragis.

Pesimisme konstruktif adalah cara membaca kenyataan politik tanpa ilusi.

Gen Z harus sadar sistem ini penuh cacat, elit gagal, partai lokal maupun nasional sama saja.

Mereka lebih sibuk bagi-bagi proyek ketimbang merancang kebijakan publik yang berpihak. 

Tapi mereka tidak boleh menyerah.

Dari kesadaran ini muncul dorongan untuk mengintervensi.

Pesimisme ini bukan apatis, tapi waspada.

Meraka sama sekali  tak boleh bermental EGP-emangnya gua pikirin.

Harapan buta melahirkan kekecewaan, kritik adalah cinta yang tidak ingin dibodohi. 

Pesimisme konstruktif membuat Gen Z jernih menghadapi tipu daya politik simbolik, mendorong keterlibatan dengan kecermatan, bukan romantisme, dan menciptakan ruang sendiri. 

Bagi gen Z Aceh yang berasas pesimisme konstruktif, politik adalah menolak diam, menolak ikut arus, dan terus mengganggu kenyamanan elite yang tidak adil dan berperilaku buruk kepada publik.

Selanjutnya, imajinasi tragis adalah kesadaran sejarah.

Aceh penuh tragedi.

Mulai dari Darul Islam, DOM, konflik bersenjata, tsunami, hingga korupsi pasca-konflik yang membusuk. 

Imajinasi ini bukan untuk meratapi masa lalu, tapi agar tragedi itu tidak berulang dalam bentuk baru yang lebih senyap tapi merusak. 

Tragedi hari ini bukan penembakan, tapi pembiaran, bukan penghilangan paksa, tapi penghilangan arah. 

Aceh nyaris berjalan seperti kapal tanpa kompas, dikemudikan orang-orang yang bicara berbusa-busa tentang syariat, tapi tak pernah memberi contoh batas wilayah haram dan halal dalam urusan publik. 

Mereka bicara otonomi, tapi tak memikul beban tanggung jawabnya.

Jika keadaan ini dibiarkan, Gen Z akan mewarisi kehancuran yang ditata rapi, bukan kemuliaan.

Imajinasi tragis membuat Gen Z Aceh tidak mudah percaya, tidak mudah tertipu, tapi juga tidak sinis. 

Mereka menjaga ingatan, amarah, harapan realistis, dan perjuangan membumi. 

Bagi gen Z Aceh tidak butuh dongeng baru, tapi keberanian mengakui kegagalan utopia dan memulai narasi baru dari bawah untuk menandingi “distopia overdosis.”

Bagaimanapun, generasi Z Aceh tumbuh dalam era perubahan sosial, teknologi, dan politik yang dinamis. 

Mereka unik karena menyikapi isu lokal, nasional, dan global dengan perspektif yang menggabungkan nilai tradisional dan akses digital luas.

Peran mereka vital dalam merumuskan masa depan Aceh—tidak hanya sebagai pewaris budaya lama, tetapi sebagai aktor aktif dalam pengelolaan aspirasi dan partisipasi politik melalui media digital dan forum komunitas. 

Kesadaran mereka pada perdamaian, transparansi, dan keadilan sosial membuka peluang perubahan inklusif dan progresif. 

Meskipun  diantara sesama gen Z ada perbedaan pandangan--idealisme dan sinisme--, semangat partisipasi mereka adalah kunci menjaga stabilitas dan pembangunan.

Implikasinya luas sangat luas.

Dengan pendidikan politik yang baik dan ruang partisipasi nyata, Gen Z Aceh dapat menjadi agen perubahan menghadapi berbagai tantangan sosial-ekonomi dan politik hari ini dan masa depan.

Aceh tidak butuh dongeng baru.

Aceh butuh keberanian untuk mengakui, bahwa narasi besar itu telah gagal, dan bahwa narasi baru harus dimulai dari bawah.

Baca juga: Peran Generasi Z Membawa Bahasa Aceh ke Dunia Digital

Tidak boleh hanya menjadi penonton

Jadi, Gen Z Aceh—apa yang mesti mereka lakukan?

Diam? Menunggu? Mengeluh di grup WhatsApp?

Atau mulai menulis ulang masa depan dengan cara mereka sendiri?

Karena jika mereka lahir setelah 2005, maka mereka adalah anak dari damai.

Tapi mereka harus sadar, damai bukan hadiah. 

Damai adalah ruang kosong yang harus diisi.

Dan jika gen Z tidak mengisinya, maka mereka yang paling rakus akan melakukannya.

Itulah yang kini sedang terjadi.

Gen Z harus dan mungkin tidak perlu menjadi pahlawan.

Tapi mereka tidak boleh menjadi penonton. 

Politik bukan hanya urusan partai.

Politik adalah urusan orang-orang yang cukup peduli untuk tidak membiarkan kebusukan beranak-pinak. 

Bangun komunitas.

Produksi narasi.

Ganggu ketenangan palsu itu dengan ide, tawa, satire, dan ketegasan.

Perubahan, dalam sejarahnya,  tidak datang dari mereka yang merasa nyaman.

Dan adalah sangat aneh jika gen Z Aceh merasa kemarin, hari ini, dan besok sama saja dengan dua kata kunci, “aman” dan “nyaman”.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkini