Opini
Produk Cacat Reformasi, Mubazir Anggaran: daripada DPR Lebih Baik DPD RI Bubar
DPD lahir dari rahim reformasi. Tahun 2004, dengan gegap gempita, kita diberi harapan: “Kini daerah akan lebih didengar. Kini Jakarta
Oleh: Mustafa Husen Woyla*)
ADA banyak hal di negeri ini yang tidak tumbuh sebagaimana mestinya.
Pohon yang ditebang sebelum sempat berbuah. Jalan tol yang dibangun, tapi retak sebelum dipakai. Janji-janji manis kampanye yang pudar bahkan sebelum tinta pemilu mengering.
Dan di antara semuanya itu, ada satu lembaga yang nasibnya seperti bunga plastik di ruang tamu: ia indah dipandang, tetapi tidak pernah hidup. Lembaga itu bernama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
DPD lahir dari rahim reformasi. Tahun 2004, dengan gegap gempita, kita diberi harapan: “Kini daerah akan lebih didengar. Kini Jakarta tidak akan lagi menjadi pusat segalanya. Kini suara dari pelosok akan tiba di Senayan.”
Betapa indah kalimat itu. Seperti puisi yang menjanjikan musim semi.
Namun dua puluh tahun berlalu, musim semi itu tidak pernah datang.
DPD ternyata tidak diberi kewenangan penuh. Ia hanya boleh memberi masukan, hanya bisa mengusulkan, hanya diundang ketika rapat, tapi tidak punya palu untuk mengetuk.
Maka, sejak awal ia sudah dilahirkan cacat.
Dan kini, dua puluh tahun kemudian, cacat itu semakin jelas terlihat.
Bayangkanlah, setiap tahun negara ini harus mengeluarkan ratusan miliar untuk gaji, tunjangan, perjalanan dinas, dan segala fasilitas. Gedung megah di Senayan berdiri gagah, kursi empuk berjejer rapi, bendera daerah berkibar di sudut-sudut ruangan. Tapi apa yang dihasilkan?
Nyaris tidak ada.
Produk legislasi? Hampir nihil.
Pengaruh nyata bagi rakyat di daerah? Nyaris tak terasa.
DPD seperti mesin yang selalu diisi bensin mahal, tetapi mesinnya tidak pernah dihidupkan. Negara terus membayar, tetapi tak ada perjalanan yang ditempuh.
Di tengah situasi anggaran yang berdarah-darah, defisit meningkat, pajak mencekik, pengangguran bertambah, harga-harga naik, kita sungguh tidak bisa lagi menutup mata.
Maka, pertanyaan sederhana itu layak diajukan: apakah kita masih perlu DPD?
Dan jawabannya, dengan jujur, adalah tidak.
DPD tidak pernah tumbuh.
DPD tidak pernah hidup.
DPD hanya menjadi etalase kosong dari reformasi yang setengah hati.
Kita bisa menemukan representasi daerah melalui mekanisme lain yang lebih efisien: lewat DPRD yang langsung dipilih rakyat daerah, lewat kepala daerah, atau bahkan melalui penguatan peran DPR RI agar benar-benar menjadi rumah besar kebangsaan.
Membiarkan DPD tetap ada, sama saja membiarkan rakyat terus membayar bunga plastik. Indah, tetapi sia-sia.
Tentu ada yang berkata: “Kalau DPD dibubarkan, bukankah itu kemunduran demokrasi?”
Saya ingin menjawab dengan tenang: demokrasi bukan soal jumlah gedung yang kita bangun, bukan soal berapa banyak lembaga yang kita pelihara. Demokrasi adalah bagaimana rakyat benar-benar merasa didengar, dilayani, dan diwakili.
Kalau ada lembaga yang hanya menjadi beban, maka membubarkannya justru menyelamatkan demokrasi.
Bukankah rumah yang sehat harus berani membuang perabot yang rusak?
Mari kita jujur.
Banyak anggota DPD hanyalah elite lokal, orang-orang kaya yang membeli popularitas dengan baliho besar di pinggir jalan. Mereka duduk di Senayan, tapi tak pernah benar-benar membawa suara rakyat. Mereka sibuk menghadiri acara seremonial, sibuk dengan dirinya sendiri.
Rakyat di daerah? Tetap miskin, tetap kesulitan mengakses pendidikan, tetap bingung mencari pekerjaan.
Di sinilah tragedinya: lembaga yang katanya mewakili daerah, ternyata justru menjadi jarak baru antara pusat dan pinggiran.
Jadi, jika kita ingin jujur pada sejarah, kalau kita benar-benar ingin menyelamatkan negeri ini dari pemborosan, kita harus berani mengambil keputusan: DPD RI dibubarkan.
Tidak ada lagi ratusan miliar menguap sia-sia. Tidak ada lagi kursi kosong yang dibayar mahal. Tidak ada lagi lembaga plastik yang menghiasi demokrasi kita.
Lebih baik anggaran itu dipakai untuk memperbaiki sekolah rusak di pelosok, untuk membayar dokter di puskesmas terpencil, atau untuk membuka lapangan kerja baru. Itu lebih nyata, lebih tulus, lebih jujur.
Seperti Tere Liye selalu menulis dalam novelnya: hidup ini sederhana, yang ribet itu manusia.
Begitu pula negara ini: demokrasi bisa sederhana, yang membuatnya ribet adalah lembaga-lembaga yang tidak perlu.
DPD adalah salah satunya.
Dan kini, saat bangsa ini sedang menghadapi tantangan berat, utang menumpuk, rakyat gelisah, kepercayaan publik merosot, kita tidak punya kemewahan untuk mempertahankan sesuatu yang sia-sia.
Maka, biarlah sejarah mencatat:
DPD pernah ada.
Ia lahir dengan niat baik.
Tapi ia tidak pernah tumbuh.
Dan akhirnya, ia harus dibubarkan.
Karena bangsa ini butuh keberanian, bukan basa-basi.
Karena rakyat butuh sekolah, bukan gedung kosong.
Karena masa depan butuh langkah tegas, bukan beban masa lalu.
Itulah renungan pasca demo dan efisiensi anggaran.
Semoga suatu hari, kita benar-benar belajar, bahwa yang membuat bangsa besar bukanlah banyaknya kursi di Senayan, melainkan keberanian untuk memilih yang benar, meski itu sulit.
*) PENULIS adalah Pengamat Bumoe Singet dari Woyla
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.