Opini
Kecerdasan Intelektual dan Emosional Berdampak Terhadap Kinerja Aceh
Dalam konteks inilah, diskusi tentang faktor-faktor penentu kinerja sumber daya manusia, khususnya kecerdasan intelektual (IQ)
Oleh: Prof Dr Apridar SE MSi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK) dan Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh
PROVINSI Aceh, dengan kekhasan penerapan Syariat Islam sebagai pedoman hidup, merupakan sebuah laboratorium sosial yang unik. Nilai-nilai Islam tidak hanya mengatur dimensi spiritual privat, tetapi juga berinteraksi dengan dinamika ekonomi, sosial, dan dunia kerja.
Dalam konteks inilah, diskusi tentang faktor-faktor penentu kinerja sumber daya manusia, khususnya kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ), menjadi sangat relevan.
Temuan penelitian di Suzuya Department Store, Riau, meski berlokasi berbeda, memberikan lensa analitis yang menarik untuk merefleksikan kondisi di Aceh.
Hasil penelitian tersebut, yang menunjukkan kompleksitas hubungan antara IQ, EQ, motivasi, kepuasan, dan kinerja, mengisyaratkan bahwa kesuksesan di dunia kerja tidak dicapai melalui jalur yang linear, tetapi melalui jaringan pengaruh yang rumit, yang di Aceh juga akan dipengaruhi oleh nilai-nilai syariat.
Baca juga: Bisa Tingkatkan Kecerdasan, dr Zaidul Akbar Bilang Ada 13 Makanan, Alpukat hingga Brokoli
Penelitian di Riau tersebut menyimpulkan bahwa kecerdasan intelektual tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja atau kepuasan kerja. Ini adalah temuan yang kontra-intuitif namun sangat penting.
Di Aceh, yang memiliki banyak perguruan tinggi ternama dan tradisi keilmuan yang kuat, investasi pada IQ melalui pendidikan formal memang mutlak.
Namun, gelar akademik yang tinggi saja tidak serta-merta menjamin produktivitas yang unggul. Seorang karyawan yang cerdas secara intelektual tetapi tidak mampu mengelola emosi, beradaptasi dengan lingkungan kerja yang khas Aceh (yang menjunjung tinggi nilai teumeungreuh – saling menghormati), atau memahami etika kerja Islami, akan kesulitan mengonversi pengetahuannya menjadi hasil kerja yang nyata.
IQ adalah fondasi, alat dasar untuk memahami tugas dan menyelesaikan masalah teknis. Namun, ia memerlukan kendaraan untuk sampai ke tujuan, yaitu kinerja. Di sinilah peran motivasi, yang dalam penelitian tersebut terbukti menjadi mediator yang efektif antara IQ dan kinerja.
Inilah titik temunya dengan nilai Syariat Islam. Motivasi kerja dalam Islam tidak hanya sekadar untuk mencapai target duniawi, tetapi merupakan bagian dari ibadah dan pengamalan rasa syukur (syukur). Prinsip bekerja adalah jihad fi sabilillah, dan niat yang ikhlas (ikhlas) akan mendorong seseorang untuk memberikan yang terbaik.
Oleh karena itu, sistem manajemen di perusahaan Aceh dapat memanfaatkan hal ini. Membangun lingkungan kerja yang mengingatkan pada nilai-nilai ibadah, memberikan apresiasi yang tidak hanya material tetapi juga spiritual, dan menciptakan suasana yang adil (adl) dapat menjadi katalisator yang powerful untuk memotivasi karyawan yang cerdas secara intelektual, sehingga pengetahuan mereka dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kemajuan organisasi.
Sementara itu, temuan tentang kecerdasan emosional justru lebih langsung dampaknya. Penelitian menyatakan EQ memiliki pengaruh langsung terhadap kepuasan kerja dan kinerja, tetapi tidak terhadap motivasi.
Ini menunjukkan bahwa EQ beroperasi pada ranah yang berbeda. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri dan orang lain, mengelola hubungan, dan berempati adalah kunci sukses dalam interaksi sosial.
Dalam lingkungan kerja Aceh yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai komunitas (ukhuwah) dan sopan santun (adab), EQ bukan lagi sebuah soft skill tambahan, melainkan sebuah keharusan.
Seorang karyawan dengan EQ tinggi akan mampu menangani konflik dengan bijaksana, berkomunikasi dengan penuh hormat kepada atasan dan rekan kerja, serta membangun jaringan yang solid.
Kemampuan ini langsung berkontribusi pada kinerjanya, terutama dalam peran yang membutuhkan kolaborasi tim dan pelayanan pelanggan. Selain itu, kemampuan mengelola stres dan tetap sabar (sabar) dalam menghadapi tekanan kerja akan langsung meningkatkan kepuasan kerjanya secara internal.
Sehingga orang tersebut akan merasa mampu mengendalikan lingkungannya. Nilai-nilai syariat seperti sabar, pemaaf (afw), dan lemah lembut (hilm) sangat selaras dengan komponen pengelolaan diri dalam kecerdasan emosional.
Namun, penelitian bijak tersebut juga memberikan peringatan, dimana motivasi tidak memediasi pengaruh EQ terhadap kepuasan dan kinerja. Artinya, kecerdasan emosional berdiri sendiri sebagai predictor yang kuat.
Seseorang bisa merasa puas dan berkinerja baik karena kemampuannya membina hubungan yang harmonis, terlepas dari tingkat motivasi dasarnya.
Ini memperkuat argumen bahwa investasi dalam pelatihan EQ yang dalam konteks Aceh dapat diintegrasikan dengan pelatihan akhlak dan adab berinteraksi sesuai Islam adalah langkah strategis untuk meningkatkan produktivitas secara keseluruhan.
Lantas, bagaimana implikasinya bagi pembangunan SDM Aceh?
Pertama, dunia pendidikan dan pelatihan di Aceh perlu meninggalkan paradigma yang hanya mengejar nilai akademik (IQ). Kurikulum harus diperkaya dengan pelatihan kecerdasan emosional dan spiritual yang dikemas sesuai nilai Islam Aceh.
Pembelajaran tentang adab, manajemen konflik, komunikasi efektif, dan ketahanan mental (tawakal) harus menjadi bagian integral.
Kedua, organisasi dan perusahaan di Aceh perlu menciptakan “Islamic Work Environment”. Kebijakan dan budaya organisasi harus dirancang untuk tidak hanya memacu target, tetapi juga membangun karakter.
Sistem reward dan punishment dapat memasukkan unsur penilaian akhlak dan kontribusi sosial. Kepemimpinan yang melayani (khidmah) dan empatik, yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, harus menjadi model bagi para manajer.
Ketiga, individu Muslim Aceh harus menyadari bahwa pengamalan syariat Islam yang kaffah (menyeluruh) sesungguhnya adalah pelatihan terbaik untuk mengasah baik IQ maupun EQ. Ibadah shalat melatih disiplin dan manajemen waktu.
Puasa melatih pengendalian diri dan empati. Zakat dan sedekah melatih kepedulian sosial. Semua ini adalah fondasi untuk menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga berkarakter kuat dan mampu berkontribusi maksimal dalam pekerjaannya.
Kesimpulannya, sinergi antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan motivasi yang dijiwai oleh nilai-nilai Syariat Islam adalah resep unggulan untuk membangun kinerja karyawan Aceh yang produktif, berintegritas, dan bermartabat. Temuan penelitian dari Riau tersebut menjadi cermin bahwa kesuksesan itu multidimensi.
Aceh, dengan kekayaan nilai-nilai Islamnya, memiliki potensi besar untuk tidak hanya mengejar ketertinggalan secara ekonomi, tetapi juga menjadi contoh bagaimana etika kerja Islami dapat menjadi “engine of growth” yang berkelanjutan dan berkeadilan.
IQ dan EQ adalah tools-nya, sedangkan Syariat Islam adalah jiwa yang mengarahkan dan memuliakan penggunaannya. Semoga Aceh mampu membangun sumberdaya manusia yang unggul dengan karakter yang mumpuni, amin!
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.