Opini
Guru Aceh dan Matematika Kesejahteraan
Dengan begitu, jurang penghasilan antara guru madrasah dan guru sekolah tidak lagi dibiarkan melebar, dan para guru dapat kembali fokus pada
Oleh: Khairil Miswar*)
MARI kita mulai dengan sebuah kisah sederhana. Seorang guru SD negeri di Aceh—sebut saja Bu Hendon—pagi-pagi sudah tiba di sekolah, menyiapkan perangkat pembelajaran, lalu mengajar dengan penuh tanggung jawab.
Di seberang jalan, di sebuah Madrasah Ibtidaiyah, Pak Berdan, guru di bawah naungan Kementerian Agama, melakukan hal yang persis sama.
Dua orang guru, dua institusi, dengan semangat pengabdian yang tak kalah tulus. Namun, ketika tanggal muda tiba, senyum keduanya membawa cerita berbeda. Bu Hendon menerima gaji pokok beserta tunjangan profesi guru (TPG).
Sementara Pak Berdan, selain gaji pokok dan TPG, masih berhak atas uang makan harian, bahkan kadang ditambah tunjangan kinerja, meski skemanya kerap membingungkan. Dari situlah lahir candaan getir yang akrab di kalangan mereka: “Sama-sama mengajar matematika, tapi isi dompet tak pernah sama.”
Jika diselisik lebih jauh, perbedaan itu memang nyata. Guru ASN di bawah Kemenag, selain mendapatkan gaji dan TPG, juga berhak atas uang makan harian berdasarkan PMK No. 39/2024 dengan kisaran Rp 35.000 hingga Rp 41.000 per hari, tergantung golongan.
Artinya, seorang guru madrasah golongan III bisa mengantongi tambahan sekitar Rp740.000 per bulan. Sementara itu, guru yang berada di bawah Pemda tak memiliki fasilitas serupa.
Dalam anggaran daerah, khususnya di Aceh, sepertinya tidak ada pos “uang makan” atau komponen tambahan lain yang setara. Mereka hanya bergantung pada gaji pokok (PP 5/2024) serta tunjangan profesi guru (PP No. 41 Tahun 2009).
Di atas kertas, kewajiban keduanya seimbang: 37,5 jam kerja per minggu, mengajar sesuai jumlah jam tatap muka, mengurus administrasi, hingga menjalankan tugas tambahan di sekolah.
Namun, begitu melihat saldo di rekening bank, perbandingannya terasa mencolok, seolah-olah dua angka itu saling mengejek.
Masalah kian rumit ketika menyentuh soal tunjangan kinerja. Guru Kemenag memang berhak atas tukin, meski mekanismenya kerap membingungkan karena dihitung sebagai selisih antara hak tukin jabatan dan nilai TPG.
Jika TPG sudah tinggi, tukin bisa mengecil atau bahkan hilang sama sekali. Kendati begitu, keberadaan tukin tetap memberi ruang tambahan bagi penghasilan mereka, setidaknya secara regulasi.
Berbeda halnya dengan guru Pemda, khususnya di level kabupaten/kota. Akses mereka terhadap tunjangan kinerja hanya terbuka lewat skema Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP), yang besar kecilnya sangat ditentukan oleh kemampuan fiskal dan “kemurahan hati” pemerintah daerah.
Alhasil, perbedaan penerimaan pun tak terhindarkan. Ada daerah yang cukup longgar memberikan TPP, ada pula yang sangat terbatas, bahkan ada yang tidak memberikannya sama sekali, seperti dialami guru-guru di Kabupaten Bireuen.
Perbandingan menjadi semakin telanjang ketika menoleh ke DKI Jakarta. Guru ASN di lingkungan Pemprov di sana bukan hanya menerima gaji pokok dan TPG, tetapi juga Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) yang nilainya jauh lebih besar. Akumulasi ketiga komponen itu bisa membuat total penghasilan mereka menembus Rp 15 juta per bulan.
Kontras ini terasa menyakitkan bila disandingkan dengan kondisi guru Pemda di Aceh. Tanpa TPP, pendapatan mereka mentok di kisaran Rp 6–7 juta.
Ironisnya, ketimpangan itu terjadi di tengah derasnya kucuran Dana Otonomi Khusus Aceh yang mencapai Rp 4,3 triliun pada 2025 (metrotvnews.com).
Namun, kesejahteraan guru Pemda di Aceh justru nyaris tidak tersentuh.
Jika kita mau jujur, situasi ini menciptakan kesenjangan ganda. Pertama, antara guru Pemda dan guru Kemenag; kedua, antar-guru Pemda itu sendiri, tergantung di daerah mana mereka bertugas.
Seorang guru di Banda Aceh, misalnya, bisa merasa “lebih beruntung” dibanding rekannya di Bireuen yang sama sekali tidak mendapat TPP.
Yang lebih getir, perbedaan itu kerap menjadi bahan gurauan di lapangan. Seorang guru Kemenag bisa dengan ringan berseloroh, “Uang makan saya cukup untuk bayar kuota internet, kamu gimana, Bu?”
Humor seperti ini memang terdengar sepele, tetapi sesungguhnya menyingkap kenyataan pahit yang berlangsung dari waktu ke waktu.
Padahal, UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen dengan jelas menegaskan bahwa setiap guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum serta jaminan kesejahteraan sosial.
Namun praktik desentralisasi membawa konsekuensi lain: standar kesejahteraan guru akhirnya ditentukan oleh instansi dan kemampuan daerah masing-masing.
Inilah ironi dari otonomi. Alih-alih menghadirkan pemerataan, ia justru membuka jurang ketimpangan antara pusat dan daerah, antara guru Kemenag dan guru Pemda, bahkan antar-guru Pemda itu sendiri.
Dampaknya tentu tidak berhenti di rekening para guru. Motivasi dan profesionalisme pun ikut tergerus. Tak sedikit guru Pemda akhirnya mencari pekerjaan sampingan demi menutup kebutuhan hidup.
Ada yang berjualan online, bahkan ada yang memilih beternak kambing. Semua itu sah-sah saja, tentu, selama dilakukan dengan cara yang bermartabat. Namun ketika energi guru terpecah, siapa yang paling dirugikan?
Bukan hanya guru itu sendiri, melainkan murid, kualitas pendidikan, dan pada akhirnya masa depan daerah.
Di tengah kerumitan ini, Aceh sebenarnya memiliki peluang unik. Dana Otsus yang mengalir saban tahun semestinya bukan hanya sebagai modal untuk membangun gedung sekolah atau infrastruktur fisik, tetapi juga sebagai instrumen nyata bagi peningkatan kesejahteraan guru.
Dalam sebuah percakapan ringan di ruang guru, seorang pendidik pernah berseloroh: “Dana Otsus itu seperti durian di halaman.
Aromanya tercium ke mana-mana, tapi isinya entah kapan bisa kita makan.” Ungkapan itu memang mengundang tawa, namun sekaligus menyingkap kebenaran yang pahit, bahwa manfaat dana besar itu sering terasa jauh dari jangkauan mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan pendidikan.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Pertama, negara perlu menetapkan standar minimum nasional untuk TPP guru Pemda. Tidak boleh ada lagi guru yang hanya bergantung pada gaji pokok dan TPG.
Tidak boleh juga kesejahteraan guru dibiarkan ditentukan oleh “nasib fiskal” daerah. Kedua, Pemerintah Aceh mesti lebih berani mengalokasikan Dana Otsus secara eksplisit bagi peningkatan kesejahteraan guru.
Tanpa keberpihakan anggaran, jargon tentang pendidikan sebagai prioritas hanya akan menjadi retorika kosong.
Ketiga, Kemenag dan Kemendikdasmen perlu duduk bersama pemerintah daerah untuk mencari skema harmonisasi tunjangan.
Dengan begitu, jurang penghasilan antara guru madrasah dan guru sekolah tidak lagi dibiarkan melebar, dan para guru dapat kembali fokus pada tugas sejatinya: mendidik generasi penerus bangsa.
Guru adalah manusia, dengan keluarga, kebutuhan sehari-hari, sekaligus harga diri. Jika kesenjangan ini terus dibiarkan, yang dirugikan bukan hanya guru, melainkan juga masa depan anak-anak Aceh.
Dalam logika sederhana masyarakat agraris, sawah yang tak diolah mustahil menghasilkan padi. Analogi ini sangat relevan dengan pendidikan: ketika kesejahteraan guru diabaikan dan kebutuhan dasarnya tak terpenuhi, sulit mengharapkan lahirnya praktik pendidikan yang berkualitas.
Keadilan bagi guru bukan perkara belas kasihan, melainkan kewajiban negara. Guru Pemda tidak meminta lebih, mereka hanya menuntut diperlakukan setara.
Sudah saatnya aroma durian Dana Otsus benar-benar sampai ke meja makan para guru, bukan berhenti di pagar halaman birokrasi dan dinikmati oleh elite yang berleha-leha.
*) Penulis adalah Khairil Miswar, penulis buku Demokrasi Kurang Ajar dan seorang kepala sekolah di Bireuen.
Faktor Risiko Penyakit Jantung pada Anak Muda |
![]() |
---|
Pelajaran Otsus dari Kantin Sekolah |
![]() |
---|
Utang Luar Negeri: Bumerang atau Bahan Bakar Pertumbuhan Ekonomi |
![]() |
---|
Efektivitas Dakwah Melalui Maulid di Aceh: Harmoni Tradisi, Spritualitas, dan Identitas Budaya |
![]() |
---|
Kecerdasan Intelektual dan Emosional Berdampak Terhadap Kinerja Aceh |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.