Berita Banda Aceh

Revisi UUPA Mulai Bergulir, JK dan Hamid Awaluddin Hadir di RDP DPR

Aceh itu masih termasuk yang tertinggal di Sumatera, maka wajar juga bahwa dana otsus itu dapat ditambah. Jusuf Kalla, Inisiator Perdamaian Aceh

Editor: mufti
COVER KORAN SERAMBI INDONESIA
HEADLINE KORAN SERAMBI INDONESIA EDISI JUMAT 20250912 

Aceh itu masih termasuk yang tertinggal di Sumatera, maka wajar juga bahwa dana otsus itu dapat ditambah. Jusuf Kalla, Inisiator Perdamaian Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Sehari setelah Badan Legislasi DPR RI menetapkan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dibahas lewat jalur khusus atau masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Kumulatif Terbuka tahun 2025, Rapat Dengar Pendapat (RDP) langsung digelar di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025).  Baleg menghadirkan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) dan mantan Menteri Hukum RI Hamid Awaluddin untuk dimintai pendapatnya guna menambah bobot pembahasan rancangan undang-undang tersebut.

Sebagai Wakil Presiden RI saat itu (20 Oktober 2004 sampai 20 Oktober 2009), Jusuf Kalla menjadi inisiator utama perdamaian Aceh. Ia mendorong pendekatan dialog dan diplomasi. Sementara Hamid Awaluddin yang merupakan Menteri Hukum dan HAM saat itu menjadi tokoh kunci dalam negosiasi langsung dengan GAM, hingga kemudian melahirkan MoU Helsinki tahun 2025  dan UUPA. 

Dalam paparannya di DPR RI, JK mengatakan, ekonomi Aceh saat ini masih jauh tertinggal daripada provinsi di pulau Sumatera. Karena itu, ia meminta revisi UUPA ini untuk memperpanjang dana otsus bagi Aceh, sehingga bisa menjamin kehidupan rakyat Aceh.

“Aceh itu masih termasuk yang tertinggal di Sumatera, maka wajar juga bahwa dana otsus itu dapat ditambah katakan 5 tahun atau beberapa tahun lagi. Supaya betul-betul menjamin kehidupan rakyat Aceh, sehingga dapat setara dengan kehidupan di tempat lain,” jelasnya.

JK menegaskan bahwa dana otsus adalah salah satu butir penting dalam perjanjian damai MoU Helsinki yang kemudian dituangkan dalam UUPA. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa revisi UUPA harus dilakukan dengan tetap mengacu kepada perjanjian tersebut. “Jadi semua yang ada di sini (MoU Helsinki) sudah tertera dalam undang-undang ini (Pemerintahan Aceh),” sebutnya.

Karena itu, JK tidak mengajukan usulan baru, melainkan ingin mendengar pandangan DPR terkait revisi undang-undang tersebut. “Kami tidak membuat usulan baru, tetapi justru kami ingin mendengarkan usulan apa mau merevisi undang-undang itu (UUPA) selama itu tertera dalam MoU ini,” paparnya.

Kendati demikian, JK mengingatkan bahwa revisi UUPA diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan undang-undang yang sudah ada dan perjanjian MoU Helsinki.

“Setuju bahwa boleh direvisi asal tidak bertentangan dengan perjanjian ini karena sudah menjadi undang-undang. Boleh ditambah (pasalnya) tapi tidak boleh dikurangi. Menambah pun tidak boleh bertentangan dengan MoU Helsinki,” ungkapnya.

JK juga mengingatkan bahwa ketidakpatuhan terhadap kesepakatan MoU Helsinki bisa menimbulkan ketidakpercayaan di masa depan. “Kalau kita tidak laksanakan, timbul lagi dengan ketidakpercayaan,” imbuhnya.

Dalam kesempatan itu, ia juga menyoroti beberapa pasal dalam UUPA yang sulit untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, seperti kewenangan untuk menentukan suku bunga bank sendiri dan pengelolaan bandara serta pelabuhan.

“Seperti tadi saya katakan bahwa ada pasal Pemerintah Aceh boleh menentukan bunga. Tapi itu sulit laksanakan, harus secara nasional. Karena begitu rendah diputuskan, maka orang nanti deposito uangnya ke Medan,” ungkap JK.

Menurutnya, pengelolaan infrastruktur vital seperti bandara juga harus tetap berada di bawah kendali pemerintah pusat karena memiliki hubungan sistemik dengan bandara di seluruh Indonesia. “Tidak semuanya di UUPA ini dilaksanakan. Seperti mengelola bandara. Bandara itu harus nasional karena hubungannya satu sama lain. Dan itu ongkosnya tinggi. Semua boleh (dilaksanakan) tapi tidak dapat dilaksanakan. Itu bukan lagi tanggung jawab pemerintah pusat,” pungkas JK.

Sedankan Menteri Hukum (Menkum) 2004-2007, Hamid Awaluddin, menyebut Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh dibentuk untuk menangani kasus HAM di masa depan setelah Perjanjian Helsinki.  “Dalam MoU (Perjanjian Helsinki) mengatakan pengadilan HAM akan dibentuk di Aceh untuk kasus-kasus HAM ke depan, karena selama ini pengadilan HAM adanya di Medan. Itu Pak konteksnya,” kata Hamid di Ruang Rapat Baleg DPR RI, Jakarta, Kamis (11/9/2025). Hamid mengaku merasa perlu meluruskan pembicaraan terkait Pengadilan HAM Aceh.

Ia menggarisbawahi bahwa pengadilan itu dirancang untuk waktu ke depan atau peristiwa pasca-perdamaian. Sebab, selama proses perundingan perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia, terjadi perdebatan sengit antara kedua pihak. “Saling menuding. Pihak delegasi saya mengatakan, kamu membunuh polisi, kamu membunuh tentara. Mereka mengatakan, tentara membunuh A, tentara membunuh B,” ujar Hamid.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved