Opini
Saatnya UMKM Aceh Menjadi Pelopor Ekonomi Syariah yang Berkeadilan
Kasus miris tersebut menjadi peringatan keras sekaligus pelajaran berharga. Jika di Banjar saja terjadi, bagaimana dengan daerah dengan kekhususan
Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
KASUS Firly Norachim, pemilik Mama Khas Banjar, yang nyaris dijebloskan ke penjara karena frozen food-nya tidak berlabel kedaluwarsa, adalah potret buram wajah penegakan hukum terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia.
Intervensi Menteri UMKM Maman Abdurrahman yang menjadi amicus curiae dan berhasil membebaskannya pada 19 Mei 2025 patut diapresiasi, tetapi itu hanyalah perbaikan downstream.
Akar masalahnya terletak pada regulasi yang tumpang tindih—di satu sisi UU Perlindungan Konsumen menjerat pidana, di sisi lain UU Pangan hanya memberi sanksi administratif—dan pendekatan yang lebih menghukum daripada memberdayakan.
Kasus miris tersebut menjadi peringatan keras sekaligus pelajaran berharga. Jika di Banjar saja terjadi, bagaimana dengan daerah dengan kekhususan lain seperti Aceh, dimana UMKM tidak hanya berhadapan dengan kompleksitas regulasi nasional, tetapi juga dengan Qanun dan prinsip Syariat Islam?
Justru di sinilah peluang Aceh untuk unjuk gigi. Aceh, dengan keistimewaannya, harus bergerak lebih cepat dan lebih visioner. Bukan sekadar mematuhi regulasi, tetapi menjadi pelopor model pemberdayaan UMKM berbasis Syariat Islam yang berkeadilan dan berkelanjutan, mengatasi paradoks yang dialami Firly.
Syariat Islam sebagai Competitive Advantage
Aceh tidak mulai dari nol. Provinsi ini memiliki fondasi hukum yang sangat kuat untuk membangun ekosistem UMKM yang unik. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan kewenangan penuh untuk mengatur kehidupan bermasyarakat zakat berdasarkan Syariat Islam, termasuk di bidang ekonomi dan usaha. Ini diperkuat oleh berbagai Qanun yang menjadi panduan operasional.
Berbeda dengan daerah lain yang mungkin melihat Syariat sebagai pembatasan, Aceh justru dapat memposisikannya sebagai competitive advantage. Prinsip-prinsip ekonomi syariah seperti keadilan (‘adl), larangan riba, transparansi, dan tanggung jawab sosial adalah resep sempurna untuk membangun UMKM yang tangguh dan etis.
Dalam konteks kasus Firly, prinsip ihsan (berbuat baik) dan saling menasihati dalam kebaikan (amar ma'ruf nahi munkar) seharusnya lebih didahulukan daripada langsung menjatuhkan sanksi pidana yang mematikan usaha.
Data BPS Aceh 2023 menunjukkan kontribusi UMKM terhadap PDRB Aceh masih dominan, menyerap 97 persen tenaga kerja. Namun, pertumbuhannya masih terhambat oleh akses pembiayaan dan literasi hukum. Di sinilah letak peluang emas.
Bank Aceh Syariah: Lebih dari Sekadar Bank, menjadi Guardian UMKM
Penunjukkan Fadhil Ilyas sebagai Dirut Bank Aceh Syariah (BAS) pada September 2025 adalah momentum yang tepat. BAS tidak boleh menjadi bank biasa. Ia harus menjadi guardian atau pelindung bagi UMKM Aceh, mengimplementasikan semangat yang ditunjukkan Menteri Maman dalam kasus Firly.
Strateginya harus konkret, Pertama Pembiayaan Berbasis Syariah yang Memberdayakan: Alih-alih hanya menawarkan skema jual-beli (murabahah) yang cenderung fixed-profit, BAS harus agresif mengembangkan pembiayaan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah). Skema ini lebih adil karena bank berbagi risiko dengan pengusaha. Untuk sektor unggulan Aceh seperti kopi, pala, dan hasil laut, skema ini dapat mendorong industrialisasi dari hulu ke hilir.
Kedua Pendampingan Hukum dan Standarisasi: BAS dapat bermitra dengan Dinas Koperasi dan UKM Aceh serta MUI Aceh untuk membuat program pendampingan bagi UMKM. Program ini tidak hanya tentang manajemen keuangan, tetapi juga literasi hukum dan standarisasi halal, termasuk cara pengemasan dan pelabelan yang sesuai UU Pangan dan UU Jaminan Produk Halal. Tujuannya preventif: mencegah terjadinya kasus-kasus seperti yang menimpa Firly Norachim.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.