Kasus Aliran Sesat di Aceh

 Soal Ajaran Sesat Millah Abraham: Akademisi: Kelompok Terpinggirkan Mudah Tertarik Ideologi Baru

Kasus pengungkapan jaringan ajaran menyimpang Millah Abraham di Aceh memunculkan kembali kekhawatiran publik

Penulis: Jafaruddin | Editor: Muhammad Hadi
For Serambinews
Akademisi UIN Sultanah Nahrasiyah (UIN SUNA) Lhokseumawe, Dr Bukhari, MH CM 

Oleh karena itu, pendekatan partisipatif diperlukan. Ulama, tokoh adat, dan pemerintah lokal harus menjadi bagian aktif dalam mendeteksi serta melaporkan aktivitas mencurigakan.

Tak kalah penting adalah rehabilitasi sosial. Anggota yang sudah terpapar ajaran sesat tidak cukup ditangani dengan hukuman.

Mereka perlu program deradicalization dan reintegrasi agar tidak kembali ke jaringan yang sama.

Menurut Dr Bukhari, Media massa memiliki fungsi sebagai early warning system. Dengan liputan akurat dan konsisten, publik bisa memahami bahaya ajaran menyimpang.

Sesuai teori agenda-setting (McCombs & Shaw), isu yang diangkat media akan memengaruhi kesadaran publik.

Namun, pemberitaan tidak boleh sekadar sensasional. Media harus menjalankan fungsi edukatif agar tidak memberi panggung bagi kelompok menyimpang.

Di sisi lain, pendidikan agama juga menjadi benteng utama. Pendidikan harus diperkuat sejak dini, tidak hanya dalam bentuk doktrin normatif, melainkan juga kritis-rasional.

Pemikiran Paulo Freire tentang critical pedagogy relevan di sini, yaitu mendorong kesadaran kritis agar generasi muda tidak mudah dipengaruhi ajaran sinkretik tanpa dasar.

Disebutkan, perguruan tinggi Islam di Aceh, seperti UIN, IAIN, dan pesantren, perlu memperkuat literasi keagamaan dan kajian ilmu kalam kontemporer.

Pendidikan keluarga pun berperan penting, sebab banyak proses perekrutan ajaran menyimpang justru berawal dari jaringan keluarga.

Penyebaran ajaran menyimpang seperti Millah Abraham berpotensi menimbulkan disintegrasi sosial.

Baca juga: Millah Abraham 13 Tahun Operasi Senyap di Aceh, Pengikutnya Kini Capai 51 Orang

Masyarakat terbelah dalam kelompok “kami” versus “mereka,” yang berujung pada konflik horizontal, terutama dalam masyarakat homogen seperti Aceh.

Selain itu, social trust atau rasa saling percaya bisa terkikis. Ketika ajaran sesat menyusup ke komunitas, muncul rasa curiga antarwarga yang merusak kohesi sosial.

Akademisi UIN SUNA Lhokseumawe juga menegaskan bahwa keberadaan kelompok Millah Abraham tidak bisa dipandang semata-mata sebagai pelanggaran akidah, melainkan juga pelanggaran norma hukum yang berlaku di Aceh.

“Kerangka hukum kita sudah jelas. Pasal 127 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan kewenangan kepada Aceh untuk mengatur kehidupan beragama melalui penerapan syariat Islam,” kata Dr. Bukhari, Jumat (12/9/2025).

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved