Kasus Aliran Sesat di Aceh

 Soal Ajaran Sesat Millah Abraham: Akademisi: Kelompok Terpinggirkan Mudah Tertarik Ideologi Baru

Kasus pengungkapan jaringan ajaran menyimpang Millah Abraham di Aceh memunculkan kembali kekhawatiran publik

Penulis: Jafaruddin | Editor: Muhammad Hadi
For Serambinews
Akademisi UIN Sultanah Nahrasiyah (UIN SUNA) Lhokseumawe, Dr Bukhari, MH CM 

Laporan Jafaruddin I Aceh Utara

SERAMBINEWS.COM, LHOKSUKON – Kasus pengungkapan jaringan ajaran menyimpang Millah Abraham di Aceh memunculkan kembali kekhawatiran publik.

Selama lebih dari satu dekade, kelompok ini bergerak secara diam-diam hingga aparat berhasil membongkar keberadaannya dengan jumlah pengikut mencapai 51 orang.

Ajaran yang mereka sebarkan bukan hanya menyalahi prinsip akidah Islam, tetapi juga menimbulkan keresahan masyarakat dan berpotensi mengganggu stabilitas sosial di Tanah Rencong.

Akademisi UIN Sultanah Nahrasiyah (UIN SUNA) Lhokseumawe, Dr Bukhari, MH CM memberikan pandangan terkait kelompok Millah Abraham mampu mengakar selama lebih dari satu dekade.

“Dari sisi kultural dan psikologis, sebagian masyarakat yang merasa kurang mendapatkan pemahaman agama mendalam kerap mencari “jalan alternatif” untuk menemukan ketenangan spiritual,” ujar Dr Bukhari.

Baca juga: Ajaran Millah Abraham Harus Kita Waspadai!

Dalam teori relative deprivation dari Ted Robert Gurr, lanjut Dr Bukhari, kelompok yang merasa terpinggirkan secara sosial, ekonomi, atau spiritual lebih mudah tertarik pada ideologi baru yang dianggap memberi jawaban instan.

Selain itu, kelemahan deteksi sosial juga berperan.

Millah Abraham bergerak dengan sistem cell (sel tertutup), menggunakan pola komunikasi terbatas melalui keluarga inti atau lingkaran kecil pertemanan, sehingga sulit terdeteksi aparat maupun masyarakat.

“Mereka bergerak diam-diam, membangun jaringan sosial yang tertutup, dan sering menyasar individu yang rapuh secara spiritual.

Narasi agama dimanipulasi untuk mengikat pengikutnya. Inilah yang membuat mereka bisa bertahan lama,” jelasnya.

Faktor lain adalah kurangnya literasi keagamaan. Survei LSI (2022) menunjukkan literasi agama masyarakat Indonesia masih timpang antara teori dan praktik, membuat sebagian orang mudah menerima narasi universalitas atau klaim kebenaran baru.

Di Aceh sendiri, meski syariat Islam diterapkan, kondisi sosial yang heterogen dan adanya kelompok marginal menjadi celah bagi berkembangnya ajaran menyimpang.

Menurut pendekatan struktural-fungsional (Talcott Parsons), stabilitas masyarakat hanya terjaga bila lembaga sosial seperti keluarga, pendidikan, agama, dan hukum berfungsi baik.

“Bila lembaga agama gagal membimbing umat, akan muncul kekosongan yang diisi ajaran menyimpang,” ujar Bukhari yang juga alumni Dayah Bahrul ‘Ulum Diniyah Islamiyah (BUDI) Lamno Kabupaten Aceh Jaya.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved