Opini

Aceh Daerah Modal yang Perlu Modal Untuk Membangun Ketertinggalan

Namun, gelar mulia itu kini terasa seperti sebuah ironi pahit. Aceh, sang pemodal, justru kini

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, osen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 

Trauma kolektif akibat konflik ini adalah "hutang" lain yang harus ditanggung oleh generasi Aceh sekarang. Aceh memberikan modal sumber dayanya, tetapi sebagai gantinya menerima penderitaan yang dalam.

Otonomi Khusus: Modal yang Menipis untuk Mengejar Ketertinggalan

Perjanjian Damai Helsinki 2005 menjadi titik balik. Sebagai bagian dari kesepakatan, Aceh diberikan status Otonomi Khusus yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006. 

Otonomi ini tidak hanya memberikan kewenangan politik yang lebih luas, termasuk penerapan syariat Islam, tetapi juga yang paling krusial adalah Dana Otonomi Khusus (Otsus). Dana ini dimaksudkan sebagai "modal" bagi Aceh untuk membangun kembali segala yang hancur akibat konflik dan tsunami, serta mengejar ketertinggalan pembangunan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh menunjukkan bahwa dana Otsus telah berkontribusi signifikan. Pada 2022, kemiskinan di Aceh berhasil ditekan menjadi 14,83 % , turun dari 28,47 % pada 2005. 

Angka ini masih jauh di atas rata-rata nasional yang berada di sekitar 9,5 % . Begitu pula dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh, meskipun terus meningkat, pada 2023 masih berada di peringkat 26 secara nasional, tertinggal dari provinsi-provinsi lain yang tidak memiliki sumber daya alam sebesar Aceh.

Inilah paradoksnya: dana Otsus, yang sejatinya adalah "uang penebus" atas ketertinggalan akibat konflik dan ketimpangan masa lalu, justru akan berakhir pada 2027. Pemerintah Pusat telah menegaskan tidak akan memperpanjangnya. Padahal, jika melihat data di atas, jelas bahwa Aceh masih sangat membutuhkan "modal" tersebut. Pengurangan dana Otsus secara bertahap sejak beberapa tahun terakhir sudah terasa dampaknya pada lambatnya pembangunan infrastruktur dasar dan program pemberdayaan masyarakat. 

Tanpa sumber pendapatan yang memadai untuk menggantikan dana Otsus, ancaman Aceh kembali terpuruk ke dalam pusaran kemiskinan dan ketertinggalan sangat nyata.

Mencari Modal Baru: Sebuah Keharusan

Lantas, apa yang harus dilakukan? Pertama, Pemerintah Pusat harus jujur membaca sejarah. Menghentikan dana Otsus secara tiba-tiba adalah bentuk pengingkaran baru terhadap kontribusi dan penderitaan Aceh. Perlu ada skema transisi yang jelas. 

Bukan lagi sekadar "dana hibah", tetapi skema keuangan yang berkelanjutan, misalnya dengan meningkatkan bagi hasil migas dan sumber daya alam lainnya yang lebih adil. Aceh harus diberi "modal" untuk mengelola potensinya sendiri.

Kedua, Pemerintah Aceh harus berani berinovasi. Dana Otsus selama ini dinilai masih banyak yang tersedot untuk belanja tidak produktif, seperti gaji pegawai. Ke depan, fokus harus pada pembangunan ekonomi berkelanjutan. Aceh memiliki potensi pertanian, perkebunan, perikanan, dan pariwisata yang sangat besar. 

Pantai-pantai yang indah, sejarah yang kaya, dan budaya Islam yang unik bisa menjadi modal pariwisata yang andal. Investasi pada sumber daya manusia, terutama pendidikan dan kesehatan, adalah modal jangka panjang terpenting.

Ketiga, membangun iklim investasi yang kondusif. Stigma konflik dan penerapan syariat Islam seringkali menjadi kendala. Pemerintah perlu menunjukkan kepada dunia bahwa Aceh adalah daerah yang aman, damai, dan terbuka untuk investasi yang saling menguntungkan, dengan tetap menghormati nilai-nilai lokal.

Kesimpulan

Aceh adalah pemodal sejati Indonesia. Darah, keringat, sumber daya alam, dan kedaulatannya telah mengalir deras untuk membesarkan nama Republik ini. Kini, saatnya Republik membayar "utang" itu bukan dengan charity, tetapi dengan keadilan. 

Keadilan dalam bagi hasil sumber daya alam, keadilan dalam memberikan ruang untuk membangun diri, dan keadilan untuk tidak meninggalkannya tepat ketika luka-luka lama belum sepenuhnya pulih. Dana Otsus yang akan berakhir adalah simbol dari ketidakadilan baru. Aceh tidak meminta belas kasihan. 

Ia hanya meminta haknya untuk memiliki "modal" yang cukup agar bisa bangkit, setara dengan daerah lain yang pernah dibiayainya, dan pada akhirnya mewujudkan gelarnya yang sejati: bukan sekadar "Daerah Modal" dalam sejarah, tetapi daerah yang maju, mandiri, dan bermartabat di masa kini dan mendatang.

 

 

 

 

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved