Opini
Pemadaman Listrik Aceh: Antara Krisis Energi dan Krisis Tata Kelola
Banyak warga yang melaporkan bagaimana kegiatan sehari-hari mereka lumpuh total. Usaha kecil seperti warung kopi modern yang mengandalkan mesin
Investor yang berniat menanam modal di Aceh pun akan berpikir ulang ketika melihat betapa rapuhnya sistem kelistrikan daerah ini. Tanpa jaminan energi yang stabil, iklim investasi pasti terhambat.
Krisis Tata Kelola Energi
Jika ditarik lebih jauh, pemadaman listrik di Aceh seharusnya dibaca bukan hanya sebagai masalah teknis, tetapi juga krisis tata kelola. Selama ini, wacana kedaulatan energi di Aceh hanya berhenti di meja rapat tanpa realisasi yang konkret.
Padahal, Aceh memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah untuk menopang kemandirian energi, mulai dari potensi PLTA (pembangkit listrik tenaga air), PLTS (pembangkit listrik tenaga surya), hingga energi biomassa.
Namun, kebijakan energi yang berpihak pada eksplorasi sumber daya lokal masih sangat minim.
Kondisi ini menunjukkan adanya ketergantungan yang terlalu besar pada jaringan listrik lintas provinsi. Ketika terjadi gangguan pada satu titik jaringan, dampaknya langsung dirasakan oleh seluruh wilayah Aceh.
Kerapuhan sistem seperti ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat maupun daerah. Aceh tidak boleh terus-menerus hanya menjadi “konsumen energi”, tetapi juga harus mampu mengelola potensi energi sendiri secara berkelanjutan.
Belajar dari Daerah Lain
Ada banyak contoh daerah di Indonesia yang berhasil mengatasi krisis listrik melalui diversifikasi sumber energi. Bali misalnya, mulai serius mengembangkan PLTS atap untuk mengurangi ketergantungan pada jaringan utama.
Pemerintah provinsi menggandeng sektor swasta dan komunitas lokal agar rumah tangga maupun hotel-hotel wisata menggunakan panel surya sebagai sumber energi cadangan. Upaya ini tidak hanya membantu menjaga stabilitas listrik, tetapi juga mendukung citra Bali sebagai destinasi wisata hijau yang ramah lingkungan.
Di Jawa Barat, strategi yang diambil lebih terfokus pada pemanfaatan energi air skala kecil. Sungai-sungai di beberapa kabupaten dibangun mini-hydro yang kapasitasnya memang tidak sebesar PLTA, tetapi cukup untuk menopang kebutuhan listrik desa.
Sistem seperti ini terbukti efektif karena tidak terlalu bergantung pada jaringan besar, dan hasilnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Dengan demikian, masyarakat memperoleh kemandirian energi sekaligus peluang ekonomi baru dari pengelolaan infrastruktur tersebut.
Sementara itu, di Nusa Tenggara Timur (NTT), daerah yang selama ini identik dengan keterbatasan infrastruktur, justru muncul inovasi berbasis potensi lokal. NTT mulai merintis kemandirian energi melalui pemanfaatan angin dan matahari.
Turbin angin kecil dipasang di kawasan pesisir, sedangkan panel surya dipasang di sekolah-sekolah dan puskesmas terpencil. Meski sederhana, langkah ini sangat signifikan karena mampu menyediakan akses listrik yang sebelumnya mustahil didapatkan masyarakat. Lebih dari sekadar solusi teknis, inisiatif ini juga menumbuhkan optimisme bahwa daerah dengan segala keterbatasan pun tetap bisa mandiri secara energi jika ada kemauan politik dan partisipasi masyarakat.
Aceh seharusnya bisa belajar dari pengalaman ini. Dengan kondisi geografis yang kaya, provinsi ini punya peluang besar untuk keluar dari ketergantungan listrik konvensional yang rapuh. Namun, itu semua hanya bisa terjadi jika ada kemauan politik yang kuat dan komitmen serius dari pemimpin daerah.
Jalan Keluar: Membangun Kedaulatan Energi Aceh
Listrik bukan sekadar urusan teknis PLN. Listrik adalah urusan politik, sosial, ekonomi, bahkan martabat sebuah daerah. Karena itu, pemadaman listrik di Aceh harus dibaca sebagai momentum kebangkitan untuk membangun kedaulatan energi. Ada beberapa langkah strategis yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, pemerintah daerah harus berani menekan PLN dan pemerintah pusat agar menaruh perhatian serius pada infrastruktur listrik di Aceh. Tidak bisa lagi Aceh diperlakukan sebagai daerah pinggiran yang hanya menerima sisa kapasitas.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.