LGBTQ di Banda Aceh

Orang Tua Harus Tahu Ini, Pengalaman Masa Kecil Bisa Pengaruhi Seorang Jadi LGBT

“Misalnya, perilaku kekerasan dari orang tua terhadap anak dapat menimbulkan trauma dan kebencian terhadap lawan jenis...

Penulis: Sara Masroni | Editor: Eddy Fitriadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Profesional Konselor dari Universitas Syiah Kuala (USK), Hetti Zuliani PhD. Orang Tua Harus Tahu Ini, Pengalaman Masa Kecil Bisa Pengaruhi Seorang Jadi LGBT. 

Laporan Wartawan Serambi Indonesia Sara Masroni | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Profesional Konselor Universitas Syiah Kuala (USK), Hetti Zuliani PhD menjelaskan, pengalaman masa kecil, pola asuh, serta lingkungan sosial berkontribusi terhadap bagaimana seseorang mengenali dan menerima identitas dirinya, serta mengembangkan orientasi seksual sebagai pengenalan fungsi gendernya.

Menurutnya, orientasi seksual dan identitas gender adalah aspek kompleks identitas manusia yang dipengaruhi banyak faktor. Beban kesehatan mental yang dialami banyak orang LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer/Questioning) umumnya berasal dari stigma sosial, diskriminasi, dan penolakan.

Dikatakan, terkadang orientasi seksual dapat terbentuk dari pengalaman masa lalu, termasuk trauma masa kecil. “Misalnya, perilaku kekerasan dari orang tua terhadap anak dapat menimbulkan trauma dan kebencian terhadap lawan jenis,” jelas Hetti saat dihubungi, Rabu (8/10/2025).

Profesional konselor itu mengungkapkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa individu LGBTQ memiliki risiko lebih tinggi mengalami tindakan menyakiti diri sendiri, depresi, kecemasan, kesepian, bahkan ideasi bunuh diri, serta perilaku seksual berisiko dibanding heteroseksual.

Belum diketahui pasti penyebab terjadinya homoseksual ini, namun beberapa kemungkinan faktor di antaranya kombinasi biologis (genetik dan hormonal), psikologis seperti trauma masa kecil, gangguan kepribadian, kekeliruan perlakuan orang tua hingga lingkungan dalam pembentukan identitas gender pada masa anak.

Seperti orang tua yang membandingkan fungsinya fisik dengan identitas gender, akan memperkuat perasaan ragu akan identitas gender anak tersebut yang sesuai dengan fisiknya. “Misal perkataan ‘lemah kali kamu, kayak perempuan’ atau memberikan tugas-tugas harian yang bertolak belakang dengan identitas gender fisiknya,” ungkap Hetti.

Akademisi USK itu menyampaikan, hal lain yang mempengaruhi yakni kurangnya role model gender dalam keluarga, kemudian lingkungan yang mencintai dan memperlakukan perilakunya dengan simbol gender sebaliknya.

Kondisi ini memperkuat keraguan individu tersebut terhadap gender dan fungsinya, dapat mempengaruhi terbentuknya penyimpangan orientasi seksual diperkuat dengan perasaan merasa berbeda yang sering dirasakan. “Di samping itu juga, kesulitan memulai dan mengembangkan hubungan dengan orang lain bisa menjadi faktor pemicu lainnya,” jelas Hetti.

Bila seseorang yang sudah memiliki kecenderungan tersebut, serta menunjukkan adanya indikasi gangguan mental, perlu kiranya mendatangi psikolog atau konselor untuk membantunya mengatasi tekanan psikologis tersebut.

Kemudian mengenai isu yang saat ini berkembang, menurutnya masyarakat perlu melakukan upaya-upaya untuk mencegah dan membantu mereka dalam kondisi tersebut. Bila memiliki anggota keluarga dengan kondisi demikian, sebaiknya didampingi dan dibantu dalam menghadapi konflik internal dan sosial yang dirasakannya.

Dikatakan, masyarakat juga perlu meningkatkan kontrol sosial dan kepedulian, sehingga mereka tidak semakin terjerumus dalam pergaulan yang salah dan memperkuat penyimpangan perilaku dalam norma sosial. 

Konselor USK itu juga mengajak, baik di keluarga dan masyarakat, tidak menjadikan materi gender sebagai materi candaan pada anak maupun pada remaja, orang tua perlu untuk belajar komunikasi dalam pengasuhan terutama untuk pengenalan dan pembentukan gender pada anak, serta membantu keyakinan diri anak akan gender yang sesuai dengan kondisi fisiknya. 

Penanaman nilai agama yang kuat sangat diperlukan terutama tentang penerimaan fitrah diri gendernya sesuai dengan fisiknya. 

Dia juga bercerita, beberapa orang yang ditemui di ruang konseling menyatakan, mereka menyembunyikan sikap dan kecenderungan tersebut dari keluarganya, karena merasa khawatir ditolak dan membuat kecewa keluarga dan orang tua mereka. “Hampir semuanya yang saya temui menyampaikan, pada masa kecil, orang tua tidak memahami kesulitan di lingkungan mereka,” ungkap Hetti.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved