Breaking News

Opini

Dunia Pendidikan: Antara Disiplin, Kekerasan dan Kekuasaan

Tidak berhenti disitu, Gubernur Banten juga menonaktifkan sang Kepsek dari jabatannya sebagai konsekuensi dari tindakan kekerasan terhadap

Editor: Ansari Hasyim
Thumbnail Serambi On TV
Muhammad Yasar, dosen Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Ketua Majelis Pengurus Wilayah Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (MPW Pemuda ICMI) Aceh. 

Oleh: Dr. Muhammad Yasar, S.TP., M.Sc*)

DUNIA pendidikan tanah air kembali diguncang oleh dua peristiwa memilukan yang semestinya menjadi renungan kita bersama. Peristiwa pertama terjadi di SMA Negeri 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Seorang Kepala Sekolah bernama Dini Fitria, dipolisikan oleh orang tua siswa akibat menampar anaknya yang tertangkap merokok di lingkungan sekolah.

Tidak berhenti disitu, Gubernur Banten juga menonaktifkan sang Kepsek dari jabatannya sebagai konsekuensi dari tindakan kekerasan terhadap siswa tersebut. 

Belum lagi dingin dengan kejadian tersebut, publik kembali dipanaskan dengan kasus seorang Ustadz M. Andri Fikri di Pesantren Madrasah 'Ulumul Qur'an (MUQ) Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh.

Ia diberhentikan dari pesantren setelah menyita ponsel salah seorang santri yang merupakan anak dari pejabat berpengaruh di lingkungan pesantren modern ternama tersebut.

Meskipun kedua peristiwa di atas berujung damai, namun perlu dicatat bahwa kisah suram yang memburamkan potret pendidikan seperti ini sebetulnya bukan baru ini saja terjadi.

Sebelumnya kita juga belum lupa dengan kisah seorang Guru honorer SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Supriyani yang dilaporkan orangtua murid atas tuduhan penganiayaan pada 2024.

Ia sempat mendekam di Lapas Perempuan Kendari sebelum hakim menjatuhkan vonis tidak terbukti bersalah kepadanya.

Tahun 2023 kita juga disuguhkan kisah Guru SMAN 7 Rejang Lebong, Zaharman yang mengalami kebutaan setelah diketapel orangtua murid yang tidak terima anaknya ditegur dan dihukum karena merokok di kantin sekolah.

Jauh sedikit ke belakang tahun 2016, Guru SMP Raden Rahmat, Balongbendo, Sidoarjo, bernama Sambudi diperkarakan oleh orangtua murid yang tidak terima anaknya dicubit karena tidak melaksanakan shalat berjamaah di sekolah.

Harus kita akui bahwa dunia pendidikan memang tak pernah lepas dari dinamika relasi antara guru, siswa, dan orang tua. 

Dalam posisi ini, guru seringkali dituntut untuk menjadi pahlawan tanpa cela, tegas namun lembut, disiplin tapi tidak menyakiti, mendidik tanpa membuat tersinggung. Namun, batas antara tindakan pendisiplinan dengan kekerasan kini semakin kabur di mata masyarakat.

Dalam kasus di Banten, menampar siswa memang bukanlah cara yang ideal, apalagi jika dilakukan dalam kondisi emosional. Namun, perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas, siswa tersebut tertangkap merokok di lingkungan sekolah, sebuah tindakan pelanggaran berat.

Merokok di sekolah melanggar UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 151 ayat (1) disebutkan terdapat tujuh kawasan wajib tanpa rokok, meliputi: Fasilitas pelayanan kesehatan, Tempat belajar mengajar, Tempat anak bermain, Tempat ibadah, Angkutan umum, Tempat kerja, Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan pemerintah.

Sebagai sanksinya dalam Pasal 437 ayat (2) menyebut bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan kawasan tanpa rokok dapat dikenai pidana denda paling banyak Rp 50 juta.

Di Aceh Selatan, sang guru tidak melakukan kekerasan fisik. Ia hanya menyita ponsel siswa yang membawa alat komunikasi ke lingkungan pesantren, yang notabenenya memiliki peraturan ketat tentang penggunaan gawai.

Namun, alih-alih mendapat dukungan atas langkah mendisiplinkan siswa, guru tersebut justru diberhentikan secara sepihak. Hal ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan dan pengaruh politik bisa membelokkan prinsip-prinsip dasar pendidikan.

Secara ideal, orang tua adalah mitra utama guru dalam mendidik anak. Tri pusat pendidikan, yakni rumah, sekolah, dan lingkungan adalah pilar yang harus bersinergi. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit orang tua yang justru menjadi penghambat proses pendidikan.

Mereka lebih sering membela anaknya secara membabi buta daripada introspeksi dan berkomunikasi dengan bijak kepada pihak sekolah.

Tindakan orang tua yang langsung membawa persoalan ke ranah hukum atau menggunakan pengaruh jabatan untuk membungkam guru menunjukkan ketidakdewasaan dalam memahami peran mereka sebagai bagian dari sistem pendidikan.

Dalam jangka panjang, sikap semacam ini akan menciptakan generasi yang anti-kritik, mudah merasa sebagai korban (cemen), dan tidak siap menghadapi kenyataan hidup yang penuh disiplin dan konsekuensi.

Guru yang Dilemahkan

Situasi ini tentu membuat guru berada di posisi yang semakin sulit. Mereka dituntut untuk mendidik dan membentuk karakter anak bangsa, namun hak mereka untuk menegakkan disiplin kian dipersempit. Setiap tindakan bisa direkam, disalahartikan, dan diseret ke ranah hukum atau media sosial.

Akibatnya, banyak guru yang akhirnya memilih untuk “main aman”, tidak tegas, tidak berani menindak, dan membiarkan pelanggaran terjadi demi menghindari risiko personal dan profesional.
Padahal, tanpa ketegasan dan disiplin, proses pendidikan tidak akan pernah berjalan dengan maksimal.

Di masa lalu, banyak dari kita yang mungkin pernah dimarahi guru, dihukum berdiri, atau bahkan dicubit dan ditempeleng.  Ketika mengadu kepada orang tua, alih-alih mendapat pembelaan justru mendapatkan ganjaran yang lebih berat.

Tapi dari situlah kita belajar tanggung jawab, belajar bahwa setiap tindakan ada konsekuensinya. Apakah semua metode itu ideal? Tentu tidak. Tapi nilai moral yang dibangun di dalamnya adalah fondasi pembentukan karakter.

Perlu ada langkah serius dari pemerintah dan lembaga pendidikan dalam menyikapi fenomena ini. Pertama, negara harus melindungi guru sebagai pendidik profesional. Jangan sampai guru selalu jadi pihak yang dikorbankan untuk meredam amarah publik atau tekanan politik.

Setiap laporan harus ditangani dengan mekanisme yang adil, objektif, dan berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan. Kedua, perlu dilakukan edukasi dan literasi kepada orang tua mengenai peran mereka dalam pendidikan.

Sekolah tidak hanya mengajar matematika, sains dan bahasa, tapi juga membentuk karakter dan moral. Itu membutuhkan kerja sama yang erat, bukan sikap konfrontatif yang merusak.

Dan ketiga, setiap sekolah atau pesantren harus memperjelas tata tertib dan konsekuensinya kepada seluruh pihak, baik siswa maupun orang tua. Ini penting untuk menghindari kesalahpahaman dan konflik yang seharusnya bisa dicegah.

Dua kasus ini adalah cerminan bahwa dunia pendidikan kita sedang berada di persimpangan yang rawan.

Bila kita tidak segera membenahi pola komunikasi antara sekolah dan orang tua, serta tidak memberi perlindungan yang cukup kepada guru dalam menjalankan tugasnya, maka yang dirugikan bukan hanya institusi pendidikan atau para guru, tetapi generasi masa depan bangsa. 

Saatnya kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita sedang membesarkan anak-anak yang tangguh dan siap menghadapi tantangan hidup, ataukah sedang membentuk generasi yang manja, antikritik, dan merasa selalu benar?

Pendidikan bukanlah layanan konsumen, dan guru bukanlah pelayan. Guru adalah pendidik, penjaga moral, dan pembentuk karakter bangsa.

Mari kita hormati peran itu, dan jangan biarkan ego serta kekuasaan merusak marwah dunia pendidikan yang selama ini telah dibangun dengan penuh pengorbanan.

*) PENULIS dosen Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Ketua Majelis Pengurus Wilayah Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (MPW Pemuda ICMI) Aceh.

E-mail: yasar@usk.ac.id

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved