Opini
Akselerasi Sarana Pendidikan, Jalan Cepat Dongkrak Mutu Belajar
"TIDAK jelas, tidak mudah, dan tidak cepat dipahami siswa.” Begitu keluhan seorang kepala sekolah dalam supervisi proses belajar mengajar.
Azwar Thaib, Alumni FPMIPA IKIP Yogyakarta, alumni Pascasarjana IPB dan Dosen Dpk Fakultas Perikanan Abulyatama
“TIDAK jelas, tidak mudah, dan tidak cepat dipahami siswa.” Begitu keluhan seorang kepala sekolah dalam supervisi proses belajar mengajar. Kalimat sederhana ini menggambarkan realitas yang lebih dalam: masih banyak ruang kelas di Aceh yang belum mampu mendukung pembelajaran efektif. Para ahli sepakat bahwa keefektifan proses pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain ketersedian sarana pendidikan.
Ketika sarana pendidikan tidak memadai, guru kehilangan daya, dan siswa kehilangan makna belajar.
Akibatnya, tujuan pembelajaran yang seharusnya membentuk pemahaman, keterampilan, dan karakter peserta didik menjadi tidak tercapai. Jika kondisi seperti ini terjadi di banyak sekolah, maka secara akumulatif akan berdampak pada rendahnya mutu pendidikan Aceh secara keseluruhan.
Para ahli pendidikan menegaskan bahwa sarana pendidikan berfungsi sebagai penguat proses belajar, bukan tujuan akhir. Briggs (1977) menyebut sarana belajar sebagai alat percepatan pemahaman, sedangkan Arif S. Sadiman (2008) menegaskan fungsinya untuk memperjelas pesan pembelajaran. Dalam konteks ini, sarana pendidikan semestinya diposisikan sebagai sasaran antara pendukung bagi tujuan tercapainya proses belajar yang efektif, bukan sekadar target proyek atau paket pengadaan barang.
Artinya, keberadaan sarana pendidikan tidak hanya diukur dari jumlah atau kelengkapannya, tetapi dari sejauh mana ia mampu memfasilitasi pengalaman belajar yang bermakna. Kelas dengan media sederhana namun digunakan secara kreatif seringkali jauh lebih efektif dibanding ruang laboratorium megah tetapi sepi dari aktivitas pembelajaran.
Karena itu, pendekatan kualitatif dalam menilai fungsi sarana menjadi penting yakni melihat bagaimana sarana benar-benar membantu siswa berpikir kritis, berkolaborasi, dan memecahkan masalah nyata dalam kehidupannya. Di sinilah letak makna sejati dari sarana pendidikan: bukan sekadar benda mati yang disediakan, melainkan instrumen hidup yang menghidupkan proses belajar.
Kesalahan dalam memposisikan sarana pendidikan sering berakibat pada penyimpangan orientasi. Ketika sarana dianggap sebagai tujuan, perhatian bergeser dari manfaat pembelajaran ke orientasi lain yang tidak produktif. Sebaliknya, bila dipandang sebagai sarana penguat proses, maka azas manfaat akan menjadi prioritas utama. Dalam praktiknya, penyediaan sarana pendidikan sering dilakukan secara massal atas nama pemerataan, tanpa mempertimbangkan kebutuhan spesifik tiap sekolah.
Akibatnya, tidak jarang peralatan bantuan masih terbungkus rapi, tidak digunakan dalam waktu lama, bahkan rusak sebelum sempat dimanfaatkan. Situasi seperti ini menegaskan pentingnya pendekatan yang lebih adaptif dan berbasis kebutuhan nyata di tingkat sekolah.
Setiap sekolah memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda. Karena itu, penyediaan sarana pendidikan harus didasarkan pada diagnosis kebutuhan nyata guru dan peserta didik. Analisis SWOT dapat menjadi pendekatan yang efektif untuk menentukan prioritas di setiap satuan pendidikan. Di sinilah pentingnya otonomi sekolah: agar mereka dapat berpartisipasi langsung dalam menentukan jenis sarana yang paling relevan dengan kebutuhan pembelajaran.
Untuk memastikan rencana tersebut benar-benar sesuai dengan kebutuhan guru, perlu dibangun mekanisme partisipatif yang terstruktur, misalnya melalui forum musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), survei kebutuhan belajar, serta evaluasi rutin terhadap pemanfaatan sarana yang telah tersedia. Hasil dari proses ini menjadi dasar bagi pemerintah daerah dalam menetapkan prioritas pengadaan yang lebih tepat sasaran. Selain itu, pendampingan teknis dan pelatihan bagi guru dalam merancang serta memanfaatkan sarana secara kreatif akan memastikan bahwa setiap alat yang tersedia benar-benar hidup di ruang kelas dan berkontribusi terhadap peningkatan mutu belajar siswa.
Investasi jangka panjang
Di Aceh, masalah sarana pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Mulai dari masih ditemukan laboratorium yang tidak berfungsi, perpustakaan yang minim koleksi, hingga keterbatasan akses internet serta kompetensi guru dalam pemanfaatan media pembelajaran. Pemerintah Aceh sesungguhnya telah berupaya keras memenuhi standar pelayanan minimal melalui berbagai program dan dukungan lintas sektor.
Namun, data Rapor Pendidikan tahun 2024 (pembaruan per 9 September 2025) menunjukkan bahwa capaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) masih berada di angka 69,33. Data ini, ditambah rendahnya capaian literasi dan numerasi, seharusnya menjadi alarm bagi semua pemangku kepentingan untuk bergerak lebih cepat dan terarah.
Kita tidak boleh menutup mata bahwa mutu hasil belajar ditentukan oleh banyak faktor yang saling terkait. Sarana pendidikan bukan satu-satunya penentu, namun ia merupakan bagian penting dari sistem yang saling menguatkan. Pengembangan sarana perlu berjalan seiring dengan peningkatan kompetensi guru, penguatan kurikulum, dan tata kelola pendidikan yang transparan serta akuntabel. Pendekatan sistemik ini akan memperkecil kesenjangan antara harapan dan capaian mutu pendidikan di Aceh.
Saat ini terlihat adanya anomali antara cita-cita dan kenyataan. Kita ingin mencapai standar mutu global, namun penyediaan sarana belum mengikuti arah tersebut. Negara-negara maju menjadikan sarana pendidikan sebagai prioritas strategis. Jepang melengkapi sekolah menengah dengan laboratorium sains modern, Finlandia merancang ruang belajar fleksibel yang mendorong kolaborasi, dan Jerman membangun teaching factory di sekolah vokasi agar lulusan siap kerja.
Sebaliknya, di Aceh masih banyak sekolah yang berjuang dengan listrik terbatas, koneksi internet yang lemah, dan fasilitas praktik yang ketinggalan puluhan tahun. Jika kondisi ini dibiarkan, jarak antara Aceh dan dunia luar akan semakin lebar. Sementara itu, negara lain telah melangkah ke era smart classroom, green building, laboratorium virtual, hingga pemanfaatan teknologi mutakhir seperti Artificial Intelligence (AI) dan Augmented Reality (AR). Dunia bergerak sangat cepat, dan Aceh tidak boleh berjalan lambat.
Opini Hari Ini
Penulis Opini
Akselerasi Sarana Pendidikan Jalan Cepat Dongkrak
Azwar Thaib
Serambi Indonesia
Serambinews.com
Serambinews
| Keynes dan Kegagalan Teori Klasik: Pelajaran Abadi dari Depresi Besar untuk Ekonomi Modern |
|
|---|
| Membangun Generasi Hijau Melalui Green Chemistry |
|
|---|
| Paradoks Ekonomi Aceh: Dana Besar, Kemiskinan tak Terurai, Sebuah Diagnosis dan Solusi |
|
|---|
| Limbah Sebagai Sumber Daya Ekonomi Aceh |
|
|---|
| Membangun Ekonomi Aceh Berkelanjutan Melalui Sektor Unggulan |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.