Breaking News

Opini

Aceh dalam Kacamata Pembangunan

Warisan kejayaan masa lampau itu seperti menjadi bayang-bayang yang kontras dengan realitas pembangunan Aceh hari ini.

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

ACEH, Tanah Rencong yang menyimpan segudang kisah. Sebuah wilayah yang namanya terpatri dalam tinta emas sejarah Indonesia, sebagai pintu gerbang penyebaran Islam dan kerajaan-kerajaan besar yang pernah jaya. 

Warisan kejayaan masa lampau itu seperti menjadi bayang-bayang yang kontras dengan realitas pembangunan Aceh hari ini. Meski dianugerahi kekayaan alam yang melimpah dan otonomi khusus yang memberi ruang gerak lebih luas, termasuk dalam penerapan syariat Islam, Aceh masih bergumul dengan tantangan klasik: tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Melalui kacamata pembangunan, perjalanan Aceh dari masa lalu, tantangan di masa kini, dan harapan untuk masa depan perlu dibaca dengan jernih untuk menemukan formula yang tepat.

Bayangan Kejayaan Masa Lalu (Dulu)

Aceh tidak pernah kekutan identitas. Sebelum minyak dan gas bumi ditemukan, Aceh sudah menjadi pusat peradaban dan perdagangan internasional. Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda adalah kekuatan politik dan ekonomi yang disegani di kawasan.

Baca juga: Keynes dan Kegagalan Teori Klasik: Pelajaran Abadi dari Depresi Besar untuk Ekonomi Modern

 Kesejahteraan masyarakat pada masa itu dibangun di atas fondasi kedaulatan maritim, keunggulan komoditas perdagangan (seperti lada), dan sistem pemerintahan yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islam. Syariat Islam bukan sekadar simbol, tetapi menjadi ruh dalam tata kelola pemerintahan dan kehidupan sosial-ekonomi, mendorong kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab sosial (amar ma'ruf nahi munkar).

Namun, kemelut panjang konflik dan bencana tsunami 2004 menghantam fondasi sosial-ekonomi Aceh secara dahsyat. Meski rekonsiliasi dan rehabilitasi pasca-tsunami berjalan dengan dukungan internasional yang masif, warisan konflik dan trauma kolektif meninggalkan luka yang dalam pada struktur perekonomian dan tata kelola pemerintahan.

Transisi dari daerah konflik ke daerah damai bukanlah proses yang mudah. Sumber daya yang seharusnya fokus pada pembangunan, sempat terkonsentrasi pada upaya penanganan darurat dan rekonstruksi fisik.

Dilema Pembangunan Kini (Sekarang)

Pasca perdamaian dan otonomi khusus, Aceh memasuki babak baru. Dana otonomi khusus dan bagi hasil migas mengalir deras ke kas daerah. Sayangnya, kelimpahan dana ini tidak serta-merta mentransformasi kesejahteraan masyarakat secara signifikan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh per Maret 2024 menunjukkan tingkat kemiskinan masih berada di angka 14,99 persen, tertinggi ketiga di Sumatera dan jauh di atas rata-rata nasional yang sekitar 9,36 % . Angka pengangguran terbuka (TPT) Aceh juga konsisten berada di peringkat atas nasional, berkisar di 6-7 % , mengindikasikan lemahnya penyerapan tenaga kerja.

Ini adalah "penyakit ekonomi" yang merugiakan, sebagaimana disinggung dalam pengantar. Pengangguran yang tinggi tidak hanya menjadi beban sosial, tetapi juga memicu lingkaran setan kemiskinan dan berpotensi meningkatkan ketimpangan (Gini Ratio).

Yang memprihatinkan, kekayaan alam Aceh yang luar biasa, terutama dari sektor migas, belum sepenuhnya menjadi mesin penggerak ekonomi kerakyatan. Ekonomi masih bertumpu pada sektor konsumtif dan belanja pemerintah, sementara sektor riil seperti pertanian, perikanan, dan industri pengolahan belum bangkit secara optimal.

Di tengah tantangan ini, penerapan syariat Islam sebagai pedoman hidup masyarakat Aceh seringkali hanya terlihat pada aspek simbolis dan hukumatif (qanun), seperti pada persoalan busana dan khalwat.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved