Opini
Prospek Sukuk Ritel di Tengah Badai Ekonomi Global
Aceh, dengan komitmen kuat pada sistem ekonomi syariah yang telah diinstitusionalisasi melalui Qanun, merupakan lahan subur bagi pertumbuhan
Oleh: Dr Rita Meutia SE MSi Ak, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK
DI tengah gelombang ketidakpastian ekonomi global yang memicu volatilitas pasar keuangan, masyarakat Indonesia, khususnya di Aceh, mencari pelindung bagi aset mereka. Dalam situasi seperti ini, instrumen investasi yang aman, stabil, dan selaras dengan nilai-nilai religius menjadi primadona.
Sukuk Ritel (SR) muncul sebagai jawaban atas pencarian tersebut. Namun, daya tariknya tidak kebal terhadap pengaruh dinamika makroekonomi. Minat masyarakat Aceh terhadap Sukuk Ritel berada di persimpangan jalan, diuji oleh tiga kekuatan utama: inflasi, imbal hasil, dan kebijakan moneter Bank Indonesia.
Aceh, dengan komitmen kuat pada sistem ekonomi syariah yang telah diinstitusionalisasi melalui Qanun, merupakan lahan subur bagi pertumbuhan investasi syariah.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh pada 2024 mengonfirmasi hal ini, di mana 68 persen responden menyatakan ketertarikan pada investasi syariah, dan 42 % di antaranya secara spesifik menaruh minat pada Sukuk Ritel.
Angka ini mencerminkan potensi besar yang belum sepenuhnya tergali. Sukuk Ritel, sebagai Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), menawarkan kombinasi unik: keamanan karena dijamin penuh oleh negara, keuntungan berupa imbal hasil tetap, dan kepatuhan pada prinsip syariah. Pencapaian penjualan SR-019 yang mencapai Rp 12,3 triliun secara nasional pada Februari 2025 adalah bukti nyata daya tariknya.
Namun, di balik potensi yang menjanjikan, badai inflasi mengancam daya beli dan persepsi nilai investasi. Inflasi, bagai musuh dalam selimut, menggerogoti nilai riil uang. Pada Agustus 2025, inflasi Aceh tercatat 3,2 % , sedikit lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Dalam skenario dimana imbal hasil Sukuk Ritel hanya 6,5 % sementara inflasi meroket ke 5 % , maka real return yang dinikmati investor hanya tersisa 1,5 % . Untuk masyarakat Aceh, di mana data BPS (2024) menunjukkan 57 % rumah tangga mengalokasikan kurang dari 10 % pendapatan untuk investasi, angka 1,5 % ini sangat tidak menarik.
Mereka akan cenderung memprioritaskan konsumsi dan kebutuhan jangka pendek ketika tekanan harga terasa. Inflasi yang tidak terkendali akan dengan cepat meredupkan minat terhadap instrumen jangka panjang seperti Sukuk Ritel, sekalipun instrumen tersebut halal.
Di tengah ancaman inflasi, imbal hasil (yield) menjadi mercusuar penarik minat. Yield adalah kompensasi nyata yang diharapkan investor atas dana yang mereka tanamkan.
Pemerintah, melalui seri SR-019, menawarkan kupon sebesar 6,85 % per tahun, sebuah angka yang kompetitif jika dibandingkan dengan rata-rata deposito syariah di Aceh yang hanya berkisar 5,2–5,8 % . Spread atau selisih yang signifikan ini seharusnya menjadi pendorong utama partisipasi. Namun, daya pikat yield ini sangat dinamis dan bergantung pada ekspektasi.
Jika masyarakat memperkirakan inflasi akan naik atau Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga, mereka mungkin akan menunda pembelian Sukuk Ritel dengan harapan seri berikutnya menawarkan yield yang lebih tinggi. Fenomena ini pernah terjadi pada seri SR-017 di tahun 2024, dimana yield 6,25 % dinilai kurang atraktif di tengah ekspektasi pengetatan moneter, yang berimbas pada penurunan partisipasi.
Ekspektasi masyarakat sangat dipengaruhi oleh sinyal kebijakan moneter, yang dalam hal ini adalah BI Rate. Ketika Bank Indonesia menaikkan BI Rate seperti yang terjadi secara bertahap pasca pandemi, suku bunga simpanan di perbankan konvensional biasanya ikut naik. Hal ini membuat deposito konvensional, yang bagi sebagian masyarakat dianggap lebih "cair" dan mudah dipahami, menjadi lebih menarik. Akibatnya, meskipun Sukuk Ritel berbasis syariah, ia harus bersaing ketat dengan instrumen berbasis bunga yang imbal hasilnya juga meningkat.
Ketika BI Rate dipertahankan pada level 6,25 % pada Juli 2025, hal ini menciptakan stabilitas, namun juga menjadi ujian bagi literasi keuangan. Survei Bank Indonesia Perwakilan Aceh (2024) mengungkapkan sebuah fakta mencengangkan: 61 % responden tidak memahami hubungan antara BI Rate dan imbal hasil Sukuk Ritel. Ketidaktahuan ini adalah jurang pemisah yang dalam antara potensi dan realitas partisipasi. Masyarakat mungkin berinvestasi atas dasar "halal" semata, tanpa pemahaman strategis tentang timing yang tepat dalam siklus ekonomi.
Badai ekonomi
Lantas, bagaimana membentengi minat investasi syariah di Aceh di tengah badai ketidakpastian ekonomi ini? Jawabannya terletak pada sinergi kebijakan dan edukasi yang masif. Pertama, memperkuat literasi keuangan syariah yang kontekstual. Program edukasi tidak boleh berhenti pada penjelasan tentang kehalalan, tetapi harus menjangkau pemahaman tentang variabel makroekonomi. Konsep inflasi, BI Rate, dan yield riil harus disederhanakan dan disosialisasikan melalui kanal yang dipercaya masyarakat Aceh, seperti pesantren, dayah, masjid, dan sekolah. Para teungku dan tokoh masyarakat perlu dilibatkan sebagai agen perubahan untuk menyampaikan pesan bahwa investasi yang cerdas syariah adalah yang mempertimbangkan aspek ekonomi secara utuh.
Kedua, pemerintah daerah dapat mengambil peran lebih pro-aktif. Pemerintah Aceh dapat merancang insentif fiskal, seperti pembebasan pajak daerah atas keuntungan yang diperoleh dari Sukuk Ritel. Insentif semacam ini secara langsung meningkatkan yield riil yang diterima investor lokal, membuat Sukuk Ritel menjadi lebih manis di tengah tekanan inflasi. Selain itu, Pemerintah Aceh dapat memasukkan Sukuk dalam program investasi untuk dana BUMD atau dana sosial keagamaan, memberikan contoh nyata dan membangun kepercayaan.
Ketiga, memperluas dan mendigitalkan akses. Fakta bahwa hanya 35?nk syariah di Aceh yang aktif memasarkan Sukuk Ritel adalah sebuah kesenjangan yang harus segera diatasi. Kolaborasi dengan BSI, BPD Aceh Syariah, dan fintech syariah harus ditingkatkan untuk memastikan masyarakat di pelosok kabupaten dapat membeli Sukuk Ritel dengan mudah melalui platform digital. Kemudahan akses akan mengikis hambatan biaya dan waktu, yang seringkali menjadi alasan masyarakat memilih deposito bank.
Pada akhirnya, Sukuk Ritel di Aceh adalah lebih dari sekadar instrumen investasi; ia adalah benteng ekonomi syariah dan wujud partisipasi rakyat dalam pembangunan nasional. Di tengah badai ekonomi global, ketahanan benteng ini akan diuji oleh gelombang inflasi, angin perubahan yield, dan sinyal kebijakan moneter. Pemerintah, sebagai penerbit, harus memastikan yield Sukuk Ritel tetap atraktif secara riil. Sementara itu, seluruh pemangku kepentingan di Aceh harus bersinergi untuk membekali masyarakat dengan pemahaman yang komprehensif.
Dengan demikian, Sukuk Ritel tidak hanya akan bertahan, tetapi juga menjadi jembatan emas menuju kemandirian ekonomi masyarakat Aceh yang berlandaskan nilai-nilai Islam yang kokoh.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.