Opini
Propaganda Hitam Medsos: Syariah Diserang, Riba Dibela
Menegakkan ekonomi syariah di Aceh amanah peradaban, bukan proyek sesaat. Jika masih ada kekurangan, tugas kita memperbaiki, bukan meruntuhkan.
Slogan seperti “lawan bank syariah” atau “kembalikan bank konvensional ke Aceh” bukan kritik, tetapi manuver terencana untuk melemahkan syariat. Tuduhan seperti “bank syariah penipuan”, “alat menghisap darah rakyat kecil”, atau “kapitalisme berjubah agama” bukan kritik ilmiah, melainkan agitasi yang memprovokasi kebencian dan menyesatkan umat. Narasi semacam ini tidak berbasis ilmu, tidak memakai data, tidak melalui mekanisme resmi, dan tidak membawa solusi, murni propaganda destruktif yang merusak bangunan ekonomi syariah Aceh.
Oleh: Prof. Dr. M. Shabri Abd. Majid, SE., M.Ec*)
BARU-baru ini beredar konten provokatif dan menyesatkan melalui akun “TikTok Pase Post Lhokseumawe” berjudul “Syariah Palsu = Riba Berkedok Agama” dengan narasi “Rakyat Aceh Ditipu, Saatnya Melawan”. Konten itu kemudian diperluas penyebarannya oleh akun @za.brilliant melalui unggahan “Perbankan Berkedok Agama, Praktiknya Melebihi Liberal”.
Konten-konten tersebut memicu kegaduhan publik karena bukan sekadar mengkritik praktik lembaga keuangan syariah, tetapi melancarkan tuduhan ekstrem, sepihak, dan tidak berdasar yang merendahkan martabat ekonomi syariah. Perbankan syariah di Aceh dituduh hanya “menempelkan label syariah” dan disebut “menjalankan praktik yang tak ubahnya riba konvensional”.
Bahkan, akad-akad syariah dituduh sebagai “tipuan belaka”, “produk halal-halalan untuk menipu umat”, dan praktik ekonomi syariah sebagai “riba berkedok agama”, “penipuan paling busuk”, “alat untuk menghisap darah orang kecil”, “konspirasi menipu umat”, hingga “menipu rakyat Aceh habis-habisan”. Lebih jauh, sistem perbankan syariah bahkan digambarkan sebagai “wajah kapitalisme rakus berjubah agama” yang melakukan “penipuan sistematis”.
Gelombang serangan ini semakin meluas ketika akun @faisal.pas ikut menyebarkan narasi serupa, menuduh syariah sekadar “kedok”, “bank syariah sama saja dengan bank konvensional”, dan label syariah hanyalah “stempel tanpa substansi”. Ia juga memfitnah penghapusan bank konvensional sebagai penyebab keterpurukan ekonomi Aceh.
Rangkaian serangan itu jelas bukan luapan emosi sesaat, tetapi agitasi opini yang terencana untuk meruntuhkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan syariah di Aceh. Narasinya tidak memuat argumen ilmiah, melainkan kampanye anti-syariah yang sengaja digerakkan untuk membuka kembali jalan bagi sistem keuangan berbasis riba.
Buktinya terlihat dari ribuan komentar destruktif di “TikTok Pase Post Lhokseumawe” yang menyerukan “bubarkan bank syariah,” “kembalikan bank konvensional ke Aceh,” “boikot bank syariah,” hingga provokasi berbahaya seperti “tarik semua dana dari bank syariah.”
Ini bukan lagi ruang diskusi, melainkan upaya sistematis mengguncang kepercayaan publik, melemahkan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) No. 11/2018, dan menggiring Aceh mundur ke sistem ribawi. Ini bukan perbedaan pandangan ekonomi, tapi ini serangan ideologis terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Tuduhan “bank syariah tetap riba” lahir dari kekacauan logika dan dangkalnya pemahaman akad. Penuduh menilai transaksi dari tampilan luar, bukan dari hukum akad yang menjadi inti muamalah. Dalam syariah, riba hanya muncul dalam akad utang berbunga (qardh ribawi), sementara bank syariah beroperasi dengan akad sah seperti murabahah, musyarakah, mudharabah, dan ijarah yang memiliki landasan fikih yang jelas.
Karena gagal memahami akad, mereka membuat generalisasi primitif: “ada cicilan berarti riba”. Padahal kesamaan bentuk tidak menentukan kesamaan hukum. Ayam digoreng halal dan bangkai yang tampak serupa tetapi hukumnya bertolak belakang; begitu pula hubungan suami-istri dan zina, mirip secara fisik namun berbeda secara syar’i.
Demikian juga, kemiripan teknis antara cicilan di bank syariah dan konvensional tidak menjadikan keduanya sama, karena akad, objek transaksi, dan sumber keuntungan dalam bank syariah halal, sedangkan bank konvensional menjual bunga sebagai komoditas riba. Maka tuduhan tersebut bukan kritik ilmiah, melainkan fitnah ekonomi yang menyesatkan publik.
Tiga Isu Bank Syariah Dituduh Ribawi
Isu yang "digoreng" untuk menuduh bank syariah ribawi biasanya bermuara pada tiga hal: margin tetap, cicilan tetap, dan denda keterlambatan. Propaganda ini sengaja dimunculkan untuk membangun ilusi bahwa bank syariah hanya mengganti istilah tanpa mengubah hakikat transaksi. Padahal, klaim tersebut cacat logika muamalah dan mengabaikan perbedaan mendasar antara akad halal dan praktik ribawi dalam sistem konvensional.
Pertama, margin tetap dalam murabahah bukan riba. Penyamaan margin dengan bunga menunjukkan kekacauan logika muamalah. Riba hanya muncul dalam akad utang-piutang (qardh) yang mensyaratkan tambahan karena faktor waktu, sedangkan murabahah adalah akad jual beli riil.
Dalam murabahah, bank tidak meminjamkan uang, tetapi membeli barang dan menjualnya kembali kepada nasabah dengan harga pokok plus margin keuntungan (al-ribh) yang disepakati di awal secara transparan (fixed price). Keuntungan berasal dari aktivitas jual beli yang sah, bukan dari eksploitasi waktu sebagaimana riba.
ekonomi syariah
riba
Bank Syariah
BSI
Bank Syariah Indonesia
Ketua Dewan Syariah Aceh
M Shabri Abd Majid
Ekonomi Syariah Vs Riba
Serambi Indonesia
Serambinews.com
| Aceh dalam Kacamata Pembangunan |
|
|---|
| Akselerasi Sarana Pendidikan, Jalan Cepat Dongkrak Mutu Belajar |
|
|---|
| Keynes dan Kegagalan Teori Klasik: Pelajaran Abadi dari Depresi Besar untuk Ekonomi Modern |
|
|---|
| Membangun Generasi Hijau Melalui Green Chemistry |
|
|---|
| Paradoks Ekonomi Aceh: Dana Besar, Kemiskinan tak Terurai, Sebuah Diagnosis dan Solusi |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.