Opini

MBG: Mengatur Piring, Menata Ekonomi

Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang visi yang kabur, sistem yang berjalan seperti alat musik tak selaras.

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Jasman J. Ma'ruf adalah Profesor Manajemen di FEB USK 

Dengan Whole of Government sebagai sumbu utama, MBG tak hanya jadi proyek makan siang. Ia menjelma jadi panggung ekonomi rakyat—menghidupkan sawah, tambak, dapur, dan pasar. Ia bisa menyambung simpul-simpul ekonomi lokal yang tercerai, membentuk jaringan kehidupan baru dari desa ke sekolah, dari dapur ke kebijakan.

Jangan Cuma Kenyang, Harus Berdaulat

Program makan bergizi bisa jadi lebih dari sekadar rutinitas harian. Ia punya potensi menjadi strategi pembangunan yang mendalam—asal dikelola dengan prinsip-prinsip ekonomi lokal.

Dalam ruang-ruang pemerintahan yang sunyi akan perubahan, sering kali anggaran berjalan tanpa arah. Uang belanja mengalir deras, tapi efeknya dangkal. Untuk itulah, MBG di Aceh mesti keluar dari jebakan sebagai proyek konsumtif. Ia harus berevolusi menjadi strategi pembangunan—berlapis, berdimensi, dan mengakar.

Tiga syarat mesti dipenuhi jika Aceh ingin menjadikan MBG bukan hanya makanan, tapi masa depan: Pertama, setiap rupiah dari MBG harus kembali ke desa. Target minimal 90 persen belanja pangan berasal dari petani, nelayan, peternak, dan UMKM Aceh. Bukan sekadar soal nasionalisme lokal, tapi keberanian menumbuhkan pasar domestik.

Bayangkan jika setiap telur yang disantap siswa berasal dari kandang di kampungnya. Jika setiap ikan yang digoreng dibeli dari nelayan setempat. Maka tak hanya gizi anak yang meningkat, tapi juga pendapatan keluarga mereka.

Kedua, tanpa peta, negeri bisa tersesat. Maka dashboard monitoring & evaluation (Monev)  lintas sektor menjadi alat utama. Pemerintah harus tahu dengan pasti: dari mana asal bahan makanan MBG? Siapa yang menjual? Koperasi atau UMKM mana yang ikut serta? Transparansi bukan pilihan, tapi keharusan. Karena di balik data, tersembunyi keadilan. 

Ketiga, koperasi desa tak boleh hanya jadi pelengkap proposal. Ia harus naik panggung. Jadikan koperasi mitra utama pengadaan, beri kontrak jangka panjang, dan fasilitasi pembiayaan. Biarkan mereka menyerap hasil tani, mengatur distribusi, bahkan mengolah makanan bergizi berbasis lokal.
Saat koperasi dan UMKM tumbuh, ekonomi desa hidup.

Dan ketika ekonomi desa bergerak, ketahanan pangan menjadi nyata. Agar ada kepastian pasar bagi produsen dan kepastian pasokan jadikan koperasi dan UMKM mitra utama pengadaan melalui skema contract farming, beri kontrak jangka panjang.

Negara Lain Sudah Duluan

Aceh tak sendiri. Banyak negara lebih dulu menempuh jalan berliku menyatukan sektor untuk satu tujuan: kesejahteraan warganya.

Banyak negara telah lebih dulu mempraktikkan pendekatan lintas sektor untuk menjawab persoalan kesejahteraan rakyat. Di Australia, strategi Whole of Government dijalankan untuk mengatasi kemiskinan komunitas secara kolektif, menyatukan layanan sosial, pendidikan, dan kesehatan dalam satu tarikan napas.

Sementara di Finlandia, filosofi Health in All Policies memastikan bahwa setiap kebijakan—sekecil apa pun—diukur dampaknya terhadap kesehatan rakyat. Bahkan Indonesia mulai melangkah melalui program Integrasi Layanan Primer (ILP), upaya awal untuk meruntuhkan tembok antar-dinas dan menyatukan layanan dasar masyarakat.

Aceh sebenarnya punya modal lebih: anggaran besar, perhatian nasional, dan semangat perubahan. Tapi semua itu tak akan bermakna jika ego sektoral masih menjadi panglima. Pelajaran dari luar bukan untuk ditiru mentah-mentah, melainkan dicerap sebagai cermin—agar program makan bergizi di Aceh tak sekadar soal logistik, tapi benar-benar mengakar pada kemandirian dan kesejahteraan rakyat.

Gizi dan Ekonomi: Dua Sisi Mata Uang

Pangan dan perekonomian desa bukan dua entitas terpisah. Mereka saling menciptakan, saling memperkuat, dan saling menjatuhkan jika tidak dikelola bersama.

Gizi dan ekonomi desa sejatinya saling bertaut—bukan dua urusan yang terpisah. Gizi adalah cerita tentang masa depan yang dikunyah hari ini; bukan sekadar angka stunting, tapi fondasi diam-diam dari kecerdasan, kesehatan, dan daya saing generasi mendatang. Anak yang bergizi baik lebih siap menyerap pelajaran, lebih kuat melawan penyakit, dan lebih tangguh menghadapi kerasnya ekonomi abad ke-21.

Namun gizi tak tumbuh di ruang steril. Ia hidup dalam sistem pangan yang adil: ketika pasar lokal berjalan, harga terjangkau, dan produksi merata. Sayangnya, jika bahan pangan terus datang dari luar, sementara petani lokal hanya jadi penonton, maka gizi hanya milik mereka yang mampu membeli. Di sinilah pentingnya pendekatan Whole of Government—bukan sekadar koordinasi, tapi pilihan politik: berpihak atau membiarkan.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved