Opini
MBG: Mengatur Piring, Menata Ekonomi
Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang visi yang kabur, sistem yang berjalan seperti alat musik tak selaras.
Oleh: Jasman J. Ma’ruf, Profesor Manajemen di FEB USK
DI atas meja-meja kecil di sekolah-sekolah Aceh, anak-anak menyantap nasi, lauk pauk, dan sayuran dalam piring-piring sederhana.
Di balik tiap suapan, ada anggaran Rp 7 triliun yang digelontorkan negara untuk Aceh setiap tahunnya.
Tapi lebih dari sekadar menu bergizi, yang tersaji adalah sebuah pertanyaan besar: untuk siapa ekonomi ini bergerak?
Aceh, tanah kaya yang tak kunjung sejahtera. Tanah yang diberkahi laut, ladang, dan gunung, namun justru mengimpor telur dari tetangganya.
Lebih dari 1,2 juta anak kini makan lebih layak di sekolah, tapi telur ayam di piring mereka datang dari luar.
Sayuran pun diangkut truk dari Sumatera Utara, menyisakan ironi: uang negara hanya sekilas menyapa Aceh sebelum pergi meninggalkan sisa aroma subsidi.
Ini bukan sekadar soal logistik. Ini tentang visi yang kabur, sistem yang berjalan seperti alat musik tak selaras. Sektor pertanian berjalan sendiri.
Baca juga: Polres Lhokseumawe Kawal Ketat Distribusi MBG kepada Ribuan Pelajar
Koperasi terasing dari pasar. Pendidikan dan kesehatan bicara dalam bahasa berbeda. Maka program makan bergizi—yang semestinya jadi napas ekonomi lokal—justru menjadi panggung bagi kebocoran nilai tambah.
Whole of Government sebagai Jawaban
Pemerintahan daerah sering terjebak dalam labirin sektoral yang tak saling menyapa. Untuk membalikkan keadaan, dibutuhkan pendekatan yang menyeluruh dan lintas batas birokrasi.
Dalam sunyi koordinasi antar-dinas, jargon bernama pembangunan sering kehilangan makna. Pemerintah Aceh, dalam mengelola program raksasa seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), tak bisa lagi berjalan dengan peta sektoral yang usang.
Yang dibutuhkan bukan sekadar rapat koordinasi, tapi perubahan cara berpikir: dari ego birokrasi menuju kesadaran kolektif. Yang dibutuhkan bukan sekadar rapat koordinasi, tapi Joint Action Plan lintas sektor sebagai panduan bersama menuju kesadaran kolektif
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyebutnya Whole of Government—sebuah pendekatan menyatukan lembaga-lembaga yang biasanya berjalan sendiri-sendiri. Sebuah orkestra kebijakan publik, di mana pertanian, pendidikan, koperasi, kesehatan, perindustrian, bahkan perikanan, bermain dalam nada yang sama.
Pemerintah tak bisa lagi membiarkan telur ayam dari Medan lebih cepat masuk ke piring anak sekolah ketimbang telur ayam dari peternak lokal. Tak boleh lagi UMKM dan koperasi desa hanya menjadi catatan kaki dalam laporan. Tidak saat anggaran triliunan menggantung seperti awan di atas kampung yang kering.
Dengan Whole of Government sebagai sumbu utama, MBG tak hanya jadi proyek makan siang. Ia menjelma jadi panggung ekonomi rakyat—menghidupkan sawah, tambak, dapur, dan pasar. Ia bisa menyambung simpul-simpul ekonomi lokal yang tercerai, membentuk jaringan kehidupan baru dari desa ke sekolah, dari dapur ke kebijakan.
Jangan Cuma Kenyang, Harus Berdaulat
Program makan bergizi bisa jadi lebih dari sekadar rutinitas harian. Ia punya potensi menjadi strategi pembangunan yang mendalam—asal dikelola dengan prinsip-prinsip ekonomi lokal.
Dalam ruang-ruang pemerintahan yang sunyi akan perubahan, sering kali anggaran berjalan tanpa arah. Uang belanja mengalir deras, tapi efeknya dangkal. Untuk itulah, MBG di Aceh mesti keluar dari jebakan sebagai proyek konsumtif. Ia harus berevolusi menjadi strategi pembangunan—berlapis, berdimensi, dan mengakar.
Tiga syarat mesti dipenuhi jika Aceh ingin menjadikan MBG bukan hanya makanan, tapi masa depan: Pertama, setiap rupiah dari MBG harus kembali ke desa. Target minimal 90 persen belanja pangan berasal dari petani, nelayan, peternak, dan UMKM Aceh. Bukan sekadar soal nasionalisme lokal, tapi keberanian menumbuhkan pasar domestik.
Bayangkan jika setiap telur yang disantap siswa berasal dari kandang di kampungnya. Jika setiap ikan yang digoreng dibeli dari nelayan setempat. Maka tak hanya gizi anak yang meningkat, tapi juga pendapatan keluarga mereka.
Kedua, tanpa peta, negeri bisa tersesat. Maka dashboard monitoring & evaluation (Monev) lintas sektor menjadi alat utama. Pemerintah harus tahu dengan pasti: dari mana asal bahan makanan MBG? Siapa yang menjual? Koperasi atau UMKM mana yang ikut serta? Transparansi bukan pilihan, tapi keharusan. Karena di balik data, tersembunyi keadilan.
Ketiga, koperasi desa tak boleh hanya jadi pelengkap proposal. Ia harus naik panggung. Jadikan koperasi mitra utama pengadaan, beri kontrak jangka panjang, dan fasilitasi pembiayaan. Biarkan mereka menyerap hasil tani, mengatur distribusi, bahkan mengolah makanan bergizi berbasis lokal.
Saat koperasi dan UMKM tumbuh, ekonomi desa hidup.
Dan ketika ekonomi desa bergerak, ketahanan pangan menjadi nyata. Agar ada kepastian pasar bagi produsen dan kepastian pasokan jadikan koperasi dan UMKM mitra utama pengadaan melalui skema contract farming, beri kontrak jangka panjang.
Negara Lain Sudah Duluan
Aceh tak sendiri. Banyak negara lebih dulu menempuh jalan berliku menyatukan sektor untuk satu tujuan: kesejahteraan warganya.
Banyak negara telah lebih dulu mempraktikkan pendekatan lintas sektor untuk menjawab persoalan kesejahteraan rakyat. Di Australia, strategi Whole of Government dijalankan untuk mengatasi kemiskinan komunitas secara kolektif, menyatukan layanan sosial, pendidikan, dan kesehatan dalam satu tarikan napas.
Sementara di Finlandia, filosofi Health in All Policies memastikan bahwa setiap kebijakan—sekecil apa pun—diukur dampaknya terhadap kesehatan rakyat. Bahkan Indonesia mulai melangkah melalui program Integrasi Layanan Primer (ILP), upaya awal untuk meruntuhkan tembok antar-dinas dan menyatukan layanan dasar masyarakat.
Aceh sebenarnya punya modal lebih: anggaran besar, perhatian nasional, dan semangat perubahan. Tapi semua itu tak akan bermakna jika ego sektoral masih menjadi panglima. Pelajaran dari luar bukan untuk ditiru mentah-mentah, melainkan dicerap sebagai cermin—agar program makan bergizi di Aceh tak sekadar soal logistik, tapi benar-benar mengakar pada kemandirian dan kesejahteraan rakyat.
Gizi dan Ekonomi: Dua Sisi Mata Uang
Pangan dan perekonomian desa bukan dua entitas terpisah. Mereka saling menciptakan, saling memperkuat, dan saling menjatuhkan jika tidak dikelola bersama.
Gizi dan ekonomi desa sejatinya saling bertaut—bukan dua urusan yang terpisah. Gizi adalah cerita tentang masa depan yang dikunyah hari ini; bukan sekadar angka stunting, tapi fondasi diam-diam dari kecerdasan, kesehatan, dan daya saing generasi mendatang. Anak yang bergizi baik lebih siap menyerap pelajaran, lebih kuat melawan penyakit, dan lebih tangguh menghadapi kerasnya ekonomi abad ke-21.
Namun gizi tak tumbuh di ruang steril. Ia hidup dalam sistem pangan yang adil: ketika pasar lokal berjalan, harga terjangkau, dan produksi merata. Sayangnya, jika bahan pangan terus datang dari luar, sementara petani lokal hanya jadi penonton, maka gizi hanya milik mereka yang mampu membeli. Di sinilah pentingnya pendekatan Whole of Government—bukan sekadar koordinasi, tapi pilihan politik: berpihak atau membiarkan.
Jika rantai pasok dikembalikan ke desa, MBG akan menjadi ekosistem, bukan proyek semata. Bayangkan: petani menyuplai sayur ke SPPG, nelayan menjual langsung hasil lautnya, UMKM mengolah lauk tradisional, dan anak-anak makan dari tangan komunitas mereka sendiri. Gizi membaik, ekonomi bergerak, dan desa tak lagi menunggu uluran dari luar. Sebab, memberi makan bukan soal kenyang, tapi tentang siapa yang diberi hidup.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Jasman-J-Maruf-adalah-Profesor-Manajemen-di-FEB-USK.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.