Berita Banda Aceh

Pemerkosaan Anak, Kuasa Hukum Korban Desak JPU Ajukan Banding Putusan MS Banda Aceh

“Putusan itu melukai rasa keadilan dan menjadi mimpi buruk bagi korban serta keluarganya. Padahal faktanya

Penulis: Sara Masroni | Editor: Nur Nihayati
SERAMBINEWS.COM/HO 
Kuasa hukum korban, Muhammad Ramadhan. 
Ringkasan Berita:
  • Kuasa hukum korban kasus pemerkosaan anak di bawah umur, mendesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk segera mengajukan banding
  • Putusan yang dijatuhkan majelis hakim dinilai terlalu ringan yakni 1 tahun 6 bulan dari tuntutan JPU 24 bulan
  • Fakta persidangan menunjukkan adanya kekerasan yang menimbulkan trauma psikologis berkepanjangan.

 

Laporan Wartawan Serambi Indonesia Sara Masroni | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Kuasa hukum korban kasus pemerkosaan anak di bawah umur, mendesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk segera mengajukan banding atas putusan Mahkamah Syar’iyah (MS) Banda Aceh Nomor: 2/JN. Anak/2025/MS.Bna.

Pihaknya menilai putusan tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan bagi korban maupun keluarganya.  

Putusan yang dijatuhkan majelis hakim dinilai terlalu ringan yakni 1 tahun 6 bulan dari tuntutan JPU 24 bulan dibandingkan dengan ancaman pidana maksimal yang diatur dalam Pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014, yakni 200 bulan penjara.

Kuasa hukum korban, Muhammad Ramadhan, bersama tim advokat Nourman Hidayat, Irfan Fernando, Baihakqi, dan Syahimann Zakaria menegaskan, langkah banding harus segera ditempuh demi kepastian hukum. 

Baca juga: Kisah Anak Piatu Korban Perkosaan Mengadu Ke Haji Uma, Polres Bireuen Sedang Mencari Pelaku

“Putusan itu melukai rasa keadilan dan menjadi mimpi buruk bagi korban serta keluarganya. Padahal faktanya ini merupakan kejahatan ekstra ordinary (luar biasa) yang pelakunya sesaat lagi dianggap dewasa secara hukum,” ujar Ramadhan dalam keteranganya yang diterima, Minggu (23/11/2025).

Menurutnya, kejahatan yang dilakukan pelaku tidak bisa dipandang sebagai pelecehan semata. 

Fakta persidangan menunjukkan adanya kekerasan yang menimbulkan trauma psikologis berkepanjangan.

Dikatakan kuasa hukum korban, bahkan pelaku tidak menyangkal perbuatannya dan mengaku khilaf. Namun majelis hakim justru memutus perkara sebagai pelecehan seksual.  

Pihanyaknya berpendapat, seharusnya jaksa menuntut hukuman berat mengingat kejahatan ini seperti pembiaran. 

Fakta persidangan didukung pendapat ahli yang menyatakan perbuatan pelaku adalah kekerasan yang menyebabkan trauma psikologis kompleks.

“Putusan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh yang hanya menyebut pelecehan jelas tidak masuk akal. Ini pertaruhan integritas,” tegas Ramadhan.  

Ia menambahkan, meski pelaku berusia 17 tahun, perbuatannya sudah tergolong kejahatan orang dewasa.

Kekejiannya membuat masyarakat resah, terlebih keluarga korban yang harus menanggung beban psikologis.

Ringannya tuntutan dan putusan dinilai akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Aceh.  

Dalam persidangan, kuasa hukum korban mengatakan, sejumlah ahli seperti Prof Dr Al Yasa Abubakar, Dr Rina Sabrina dan psikolog Yusniar Idris memberikan keterangan yang konsisten bahwa perbuatan pelaku adalah kekerasan dengan paksaan.

Selain itu, bukti visum et repertum menunjukkan adanya luka fisik akibat sodomi yang dilakukan pelaku. 

Namun bukti tersebut tidak dijadikan dasar pertimbangan dalam putusan.  

Ramadhan menegaskan, ada kejanggalan dalam tuntutan maupun putusan. 

“Ada yang nggak beres dalam putusan, ada yang nggak beres dalam tuntutan,” tutupnya.

Sebelumnya diberitakan, seorang santriwati berusia 16 tahun diduga disekap berhari-hari dan menjadi korban sodomi atau pelecehan seksual melalui anus oleh salah seorang siswa di Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.

Kasus ini sudah dilaporkan ke Polresta Banda Aceh bernomor LP/ B/334/IV/2025/SPKT/Polresta Banda Aceh tertanggal, Senin 28 April 2025 lalu.

Kuasa hukum korban mengungkapkan, awal pelecehan seksual itu terjadi saat korban dijemput seorang siswa dari pesantrennya dibawa ke kamar rumah pelaku di kawasan Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. 

Perbuatan tersebut sudah dilakukan pelaku pada Januari lalu dan diulangi lagi pada 13 April 2025.

Menurut penuturan korban, dia disekap selama lebih kurang 10 hari pada peristiwa pertama, kemudian terulang lagi di mana korban harus bermalam di kamar rumah pelaku selama dua malam. 

"Akan tetapi korban baru berani buka suara pada saat sudah didampingi kuasa hukum," ungkap kuasa hukum korban pada Mei 2025 lalu.(*)

Baca juga: Jaksa segera Eksekusi 2 Terpidana Kasus Perkosaan Gadis Disabilitas

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved