Berita Nasional

Anggota DPR RI Sebut Langkah Berani Menkeu Purbaya Kucurkan Rp 200 Triliun ke Perbankan Berisiko

"Memang bertujuan untuk meningkatkan likuiditas dan mendorong penyaluran kredit. Namun, langkah ini punya sejumlah efek negatif atau risiko...

Editor: Nurul Hayati
kompas.com
ILUSTRASI UANG - Anggota DPR RI sebut kebijakan fiskal Menkeu Purbaya kucurkanuang Rp 200 triliun ke Perbankan berisiko. 

"Memang bertujuan untuk meningkatkan likuiditas dan mendorong penyaluran kredit. Namun, langkah ini punya sejumlah efek negatif atau risiko yang perlu dicermati," ujar Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Darmadi Durianto kepada wartawan, Kamis (11/9/2025).

SERAMBINEWS.COM - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengambil Kebijakan fiskal utama sejak menjabat pada September 2025:

Gebrakan fiskal tersebut berupa penyaluran dana mengendap.

Sekitar Rp 200 triliun dana kas negara yang sebelumnya mengendap di Bank Indonesia akan disalurkan ke bank-bank milik negara (Himbara).

Tujuannya:

1.meningkatkan likuiditas dan mendorong kredit ke sektor riil.

2. Percepatan Belanja Negara

   Purbaya menyoroti lambatnya penyerapan anggaran sebagai        penyebab ekonomi melambat.

Ia berkomitmen untuk mempercepat belanja agar ekonomi kembali bergerak1.

3. Transfer ke daerah tidak dipotong

Dalam RAPBN 2026, Purbaya memastikan tidak ada pemotongan Transfer ke Daerah (TKD).

Ini untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi di daerah.

4. Koreksi Kesalahan Fiskal Masa Lalu

Ia mengakui bahwa kebijakan fiskal sebelumnya terlalu ketat, menyebabkan pertumbuhan uang negatif dan ekonomi tercekik.
Purbaya berjanji akan membalikkan kondisi ini dengan pendekatan yang lebih ekspansif.

5. Disiplin Anggaran Tetap Dijaga

Meski ekspansif, ekonom seperti Bhima Yudhistira mendesak agar Purbaya tetap menjaga disiplin fiskal.

Ia diminta meninjau ulang proyek ambisius seperti Makan Bergizi Gratis dan Food Estate.

6. Pajak yang Lebih Adil

Usulan dari ekonom: turunkan PPN menjadi 8 persen, naikkan PTKP jadi Rp 7 juta/bulan, dan kenakan pajak kekayaan 2 % untuk orang super kaya.

7. Tidak Ada Kebijakan Aneh

Purbaya menegaskan tidak akan membuat kebijakan fiskal yang eksperimental atau berisiko tinggi.

Ia tetap berdiskusi dengan Sri Mulyani untuk menjaga kesinambungan kebijakan.

PURBAYA YUDHI - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa usai pelantikan di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, (8/9/2025). Berikut sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh Yudhi usai dilantik menjadi Menteri Keuangan (Menkeu) yang baru.
PURBAYA YUDHI - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa usai pelantikan di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, (8/9/2025). Berikut sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh Yudhi usai dilantik menjadi Menteri Keuangan (Menkeu) yang baru. (TRIBUNNEWS.COM/TAUFIK ISMAIL)

Baca juga: Gebrakan Menkeu Baru, Purbaya Rencana Pindahkan Rp 200 Triliun Uang Nganggur di BI

Kebijakan Purbaya mencerminkan pergeseran dari pendekatan “prudent” ala Sri Mulyani ke arah yang lebih ekspansif dan responsif terhadap tekanan ekonomi. 

Rencana pemerintah menarik dana di Bank Indonesia (BI) sebesar Rp 200 triliun dikhawatirkan bisa menimbulkan berbagai risiko perekonomian yang cukup serius di kemudian hari nantinya. 

Diketahui, pemerintah akan menarik simpanan dana Rp 200 triliun dari BI untuk kemudian disalurkan ke perbankan guna kepentingan menumbuhkan kredit dan meningkatkan likuiditas.

"Memang bertujuan untuk meningkatkan likuiditas dan mendorong penyaluran kredit. Namun, langkah ini punya sejumlah efek negatif atau risiko yang perlu dicermati," ujar Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Darmadi Durianto kepada wartawan, Kamis (11/9/2025).

 Adapun lanjut Ketua DPP PDIP Bidang Industri, Perdagangan, BUMN, dan Investasi ini, potensi atau kemungkinan risiko yang bakal timbul di kemudian hari dibalik langkah tersebut di antaranya yaitu soal stabilitas moneter. 

"Jika ini (stabilitas moneter terguncang), maka inflasi berpotensi besar terjadi. Dana Rp 200 triliun yang berpindah ke bank akan memperbesar likuiditas di pasar. Meski likuiditas besar, tapi jika tidak diserap ke kredit produktif dengan cepat, efeknya bisa menekan nilai rupiah dan memicu inflasi," kata Anggota Komisi VI DPR RI itu.

Baca juga: Gaya Hidup Keluarga Menkeu Purbaya Disorot, Istri Posting Naik Bajaj, Sang Anak Pamer Saldo Rekening

Selain itu, Darmadi juga mengaku khawatir penarikan dana tersebut bisa mengurangi “sterilisasi” BI dalam menjaga stabilitas keuangan, misalnya menjaga stabilitas rupiah di pasar.

"Saldo pemerintah di BI selama ini membantu BI mengontrol jumlah uang beredar. Penarikan besar-besaran justru dikhawatirkan akan mempersempit ruang gerak BI dalam menjaga stabilitas moneter," ujarnya.

Selain risiko stabilitas moneter sebagaimana dijabarkan di atas, Darmadi juga mengatakan, dibalik penarikan dana tersebut juga dikhawatirkan berisiko terhadap perbankan itu sendiri.

 Ia mengaku khawatir bank-bank yang menerima dana tersebut (Rp 200 triliun) dalam tataran praksisnya tidak mengindahkan aspek kehati-hatian dalam menyalurkan kredit karena basis pijakan mereka adalah kuantitas bukan kualitas.

"Saya khawatirnya mereka (perbankan) mengimplementasikan kebijakan tersebut tidak dibarengi kajian yang matang. Ibaratnya kredit asal tersalur. Memang dengan adanya kebijakan itu, bank bisa terdorong menyalurkan kredit secara cepat agar dana tidak menganggur, tetapi berisiko menurunkan kualitas kredit (NPL naik)," katanya. 

Tak hanya itu, lanjut dia, dikhawatirkan kebijakan tersebut juga hanya akan menciptakan gap di ekosistem perbankan secara keseluruhan nantinya.

"Kesenjangan dengan bank swasta dan daerah bisa kalah saing, menciptakan distorsi kompetisi," jelasnya.

Adapun risiko lainnya, lanjut dia, kebijakan tersebut juga bisa berisiko terhadap fiskal dan tata kelola di industri perbankan itu sendiri.

Kebijakan itu juga, kata dia, seolah mencerminkan adanya penurunan disiplin anggaran.

Baca juga: Dekat dengan Purbaya, Sosok Menkeu Baru di Mata Luhut

Menurut hemat Darmadi, dana pemerintah seharusnya dipakai untuk belanja (infrastruktur, subsidi, dan lainnya.

"Bukan sekadar “parkir” di bank. Penempatan Rp 200 T ke perbankan bisa memberi kesan realisasi belanja yang lambat," katanya.

Adapun kekhawatiran lainnya, kata dia, gerak dan inisiatif bank pemerintah akan stuck karena mereka hanya mengandalkan belas kasihan dari pemerintah.

"Kondisi itu juga bisa menumbuhkan moral hazard (manajemen atau tata kelola yang buruk). Bank hanya bisa mengandalkan “dana titipan pemerintah” ketimbang mencari sumber dana pasar, yang dalam jangka panjang menurunkan efisiensi," ucapnya.

Menurutnya, kebijakan itu juga bisa berisiko terhadap pasar keuangan.

Lebih lanjut Ia menyampaikan, pasar keuangan akan berubah seiring adanya kebijakan tersebut artinya atau dipastikan akan terjadi perubahan arus dana.

"Jika sebelumnya Rp 200 T tersimpan di BI (sebagai simpanan steril), maka pemindahan ke bank bisa mengurangi kebutuhan bank meminjam di pasar uang antarbank. Hal ini dapat menekan suku bunga jangka pendek secara tidak alami," katanya.

Tak hanya itu, kata dia, volatilitas Rupiah juga bisa terguncang bilamana investor meragukan efektivitas skema kebijakan tersebut (salurkan bantuan Rp 200 triliun untuk Himbara).

"Aliran dana besar yang masuk ke sistem perbankan bisa meningkatkan spekulasi atau capital outflow jika persepsi investor asing berubah terhadap stabilitas likuiditas," imbuhnya.

Jika berkaca pada data yang ada, Darmadi meragukan kebijakan tersebut bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

"Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2025 menunjukkan bahwa kondisi atau status penyaluran kredit di bank pemerintah justru tengah dalam fase yang penuh ketidakpastian. Berdasarkan data, ada sekitar Rp470,39 triliun kurang lebih dana yang dikhususkan untuk penyaluran kredit di bank pemerintah statusnya dalam kondisi Undisbursement loan (sebuah status di mana dana kredit masih tertahan karena beberapa faktor) atau mengalami kenaikan 15,64 persen year on year (yoy). Undisbursement loan perbankan tinggi sekali dan gak efektif," paparnya.

Baca juga: Baru Sehari Menjabat, Purbaya Mengaku Blunder hingga Minta Maaf: Menterinya Juga Menteri Kagetan

Darmadi kembali mengingatkan agar pemerintah melakukan kajian secara komprehensif sebelum mengeksekusi kebijakan tersebut.

"Semangat boleh, tapi indikatornya harus jelas dan menghitung dampaknya juga harus holistik. Jangan sampai semangat tersebut (upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit berubah jadi bencana krisis moneter dan lainnya)," tegasnya.

Darmadi mengungkapkan, penyebab undisbursed loan (kredit yang sudah disetujui tapi belum dicairkan) tinggi di perbankan, umumnya karena kombinasi faktor dari sisi debitur dan ekonomi makro. 

Diungkapkannya, ada beberapa faktor yang menyebabkan status undisbursed loan di perbankan cukup tinggi.

"Faktor pertama, dari sisi debitur misalnya, dalam praktiknya banyak debitur yang belum mengeksekusi berbagai proyeknya. Banyak debitur (korporasi maupun pemerintah daerah) mengajukan kredit untuk investasi, tetapi realisasi proyek tertunda (misalnya akibat perizinan, tender lambat, atau pelemahan permintaan)" bebernya.

Selain itu, kata dia, kesiapan eksekusi juga rendah karena berbagai kondisi terutama kondisi pasar.

"Walaupun pinjaman sudah disetujui, debitur sering menunggu kepastian pasar, harga bahan baku, atau kepastian kontrak sebelum mencairkan dana. Kondisi pasar yang tidak pasti jelas akan membuat perusahaan lebih berhati-hati menarik dana di tengah suku bunga tinggi atau volatilitas nilai tukar," jelasnya.

Faktor lainnya, kata dia, yaitu kondisi ekonomi dan makro yang juga turut menyebabkan tingginya undisbursed loan di perbankan.

"Saat ekonomi lesu, perusahaan menahan ekspansi, sehingga dana kredit yang sudah tersedia tidak segera digunakan. Apalagi ketika tingkat suku bunga tinggi tentu akan berpengaruh terhadap kredit. Kenaikan suku bunga acuan BI (BI-Rate/BI-7DRR) membuat biaya kredit mahal, sehingga debitur menunda pencairan. Ditambah dengan ketidakpastian global. Misalnya perlambatan ekonomi Tiongkok, tarif dagang AS, atau fluktuasi harga komoditas—semua membuat dunia usaha menunda investasi," paparnya.

Faktor selanjutnya, kata dia, yaitu lambatnya pengucuran dana belanja pemerintah. Ditambah lagi dengan berbagai macam regulasi yang pada kenyataannya banyak yang overlaving (tumpang tindih).

"Belanja pemerintah lambat banyak proyek infrastruktur dan belanja daerah mengalami keterlambatan, sehingga kredit sindikasi atau channeling ikut tertahan.Bahkan, dana KUR atau program kredit pemerintah sudah dialokasikan, tetapi serapannya rendah karena birokrasi, verifikasi lama, atau UMKM belum siap," jelasnya.

Terakhir, kata dia, status undisbursed loan tinggi karena berbagai macam persyaratan yang diterapkan perbankan kurang begitu fleksibel.

"Persyaratan Pencairan Ketat Bank hanya mencairkan kredit bertahap sesuai progres proyek. Hal ini bisa membuat “plafon approved” besar, tetapi realisasi rendah. Untuk menjaga kualitas aset, bank lebih hati-hati mencairkan dana, terutama ke sektor yang dianggap berisiko. Kondisi semacam inilah yang turut berkontribusi terhadap tingginya angka undisbursed loan. Jadi, saya kira pemerintah harus melakukan kajian lebih mendalam lagi sebelum mengeksekusi kebijakan tersebut. Sekali lagi karena berbagai faktor tadi termasuk adanya undisbursed loan yang bisa dibilang cukup mencemaskan, pertumbuhan ekonomi rasanya mustahil bisa terdongkrak," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa akan memindahkan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke sistem perbankan, untuk menghidupkan kembali kredit sehingga pertumbuhan ekonomi bisa meningkat.

Nantinya, kata Purbaya dana Rp 200 triliun itu akan ditempatkan ke rekening pemerintah yang ada di perbankan.

"Saya lihat Kemenkeu bisa berperan di situ dengan memindahkan sebagian uang yang selama ini ada di bank sentral kebanyakan, ada Rp 430 triliun," ujar Purbaya saat Raker Komisi XI DPR RI, Rabu (10/9/2025).

"Saya pindahkan ke sistem perbankan Rp 200 triliun. Kita akan menyebar di sistem supaya uangnya bisa tumbuh dan ekonominya bisa jalan lagi," sambungnya.

Purbaya mengaku telah menyampaikan hal ini kepada Presiden RI Prabowo Subianto. Dia juga berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk memastikan pemindahan dana ini tidak dipakai untuk hal lain.

"Saya juga sudah berbicara dengan Deputi Senior Bank Indonesia untuk tidak menyerap uang itu. Sehingga uangnya bisa dipakai untuk jadi likuiditas di perbankan," terangnya.

Sementara itu, Purbaya menilai bahwa sistem keuangan saat ini tengah mengalami kekeringan. Sehingga ekonomi Indonesia mengalami pelambatan. Hal itu ditandai dengan susahnya peluang kerja bagi masyarakat.

"Ini percobaan pertama, nanti kita akan berlanjut terus sampai kita lihat ada apa impact yang signifikan si sistem. Nanti saya akan ngomong dengan gubernur BI untuk mendukung kebijakan itu," terangnya.

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Respons Anggota DPR RI Terkait Rencana Pemerintah Kucurkan Dana Rp 200 Triliun ke Perbankan, 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved