Konflik Palestina vs Israel

Kisah Mohammed Abu Mughaisib, Dokter Gaza Bertahan Kelaparan dan Tak Mandi 2 Tahun demi Rawat Pasien

Ia mengaku tak pernah membayangkan akan merasakan kelaparan, hingga akhirnya mengalami sakit kepala dan sakit perut karena kurang makan.

Editor: Faisal Zamzami
The New Arab
Pasien menjalani perawatan cuci darah di sebuah rumah sakit di Gaza. 

SERAMBINEWS.COM - Mohammed Abu Mughaisib (52), dokter dari lembaga amal Médecins Sans Frontières (MSF), membagikan kisah getirnya selama dua tahun merawat pasien di Gaza.

Ia mengaku tak pernah membayangkan akan merasakan kelaparan, hingga akhirnya mengalami sakit kepala dan sakit perut karena kurang makan.

“Saya tidak pernah membayangkan akan kelaparan. Tetapi ternyata kepalaku sakit dan perutku sakit karena lapar,” kata Abu Mughaisib, dikutip BBC, Rabu (1/10/2025).

Pada pertengahan September lalu, ia akhirnya mengambil keputusan sulit: dievakuasi ke Irlandia bersama sekelompok mahasiswa penerima beasiswa. Meski selamat, hatinya tetap tertinggal di Gaza.

 “Saya memang di sini secara fisik, tapi hati dan jiwa saya ada di Gaza. Rasanya aneh melihat orang-orang hidup normal, dan saya butuh waktu untuk terbiasa,” ungkapnya.

 
 

Baca juga: Israel Menyerbu Armada Bantuan Gaza dan Aktivis Diculik, Misi Bantuan Gaza Tetap Jalan

Dokter dan perawat ikut

Sebagai penanggung jawab operasional seluruh rumah sakit, klinik, dan layanan kesehatan mental di Gaza, Abu Mughaisib menyaksikan bagaimana serangan Israel membuat fasilitas kesehatan lumpuh. 

Banyak rumah sakit mengurangi operasi bahkan terpaksa tutup.

Para tenaga medis hanya bertahan dengan larutan glukosa agar punya energi bekerja. 

Obrolan sehari-hari dokter dan perawat pun hanya soal makanan dan keputusasaan untuk mendapatkannya.

Ironisnya, di tengah rasa lapar, mereka tetap harus merawat pasien malnutrisi.

Menurut MSF, pasien luka terus berdatangan hingga dokter harus bekerja 24 jam dengan hanya sekali makan.

Pasien luka bakar dan patah tulang tak kunjung pulih karena krisis pangan memperparah kondisi mereka.

“Saat masuk rumah sakit, yang tercium hanyalah bau darah. Pasien terbaring di lantai karena tak ada ranjang. Di ICU, pasien kritis menunggu ada yang meninggal agar bisa digantikan,” tutur Abu Mughaisib.

Baca juga: Poin-poin yang Sulit Diterima Israel dan Hamas dalam Rencana Trump untuk Perdamaian Gaza 

Dua tahun tanpa mandi layak

Sejak perang Gaza meletus pada 7 Oktober 2023, Abu Mughaisib beberapa kali harus mengungsi.

Rumahnya yang dulu memiliki fasilitas barbeku dan meja piknik kini diambil alih militer Israel, lalu dijarah warga.

Keluarganya berhasil dievakuasi ke Mesir pada Februari 2024. Namun ia tetap tinggal di Gaza, berpindah dari restoran, tenda, hingga rumah sakit.

Ia juga dihantui dilema moral. “Pasien mana yang Anda terima? Kadang kami memutuskan hanya menerima anak-anak, tapi ternyata jumlahnya sangat banyak. Situasinya tidak bisa dijelaskan,” katanya.


Baru setelah keluar dari Gaza, ia bisa mandi layak untuk pertama kalinya dalam hampir dua tahun. 

Namun, meski kini hidup di tempat aman, ia mengaku kehilangan selera makan.

“Tentu saja saya senang telah pergi. Tapi saya tidak menikmati kebahagiaan ini. Saat tahu rekan-rekan saya menderita, saya tidak bisa makan dengan tenang,” ungkapnya.

Ketika ditanya apakah Gaza bisa pulih, ia ragu.

“Luka-luka itu bukan hanya fisik, tapi juga sosial, psikologis, emosional, dan spiritual. Penyembuhan akan memakan waktu lama,” ujarnya.

“Orang-orang Gaza akan membutuhkan dukungan dunia untuk bisa sembuh,” beber Abu Mughaisib.

 

Baca juga: Minggu Malam, Persiraja Banda Aceh Jajal Pemuncak Klasemen, Garudayasa di Stadion Lampineung

Baca juga: Akibat Pemadaman Listrik, Peternak Ayam Broiler di Aceh Barat-Nagan Raya Merugi Ratusan Juta

Baca juga: Tiyong Bahas Masalah HAM dalam Acara Sosialisasi P5HAM di Lhokseumawe

 

Kompas.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved