Opini
Jangan Salahkan Perempuan: Melihat Fenomena Gugatan Cerai dalam Bingkai Sosial yang Lebih Luas
Data dari Mahkamah Syar’iyah Aceh mencatat bahwa sebagian besar kasus perceraian dalam beberapa tahun terakhir berasal dari gugatan cerai
Oleh: Musdawati*)
PENINGKATAN angka gugatan cerai di berbagai daerah, termasuk Aceh, telah menarik perhatian publik.
Tak jarang, fenomena ini ditanggapi dengan tudingan sepihak kepada perempuan: “terlalu berani,” “terpengaruh kesetaraan gender,” atau bahkan “terlalu egois.”
Anggapan-anggapan ini mencerminkan cara pandang yang parsial dan bias terhadap realitas sosial yang lebih kompleks.
Padahal, sebagai daerah yang mempraktikkan syariat Islam dan memiliki struktur sosial patriarkis, Aceh justru menunjukkan fenomena keluarga yang mengkhawatirkan: angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tinggi, kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat, dan Aceh masih menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia.
Maka pertanyaan mendasarnya adalah: apakah benar perceraian semata karena keberanian perempuan?
Data dari Mahkamah Syar’iyah Aceh mencatat bahwa sebagian besar kasus perceraian dalam beberapa tahun terakhir berasal dari gugatan cerai (cerai gugat), bukan talak oleh suami.
Namun, jika dilihat lebih dalam, perempuan menggugat cerai bukan karena semata “ingin bebas,” melainkan karena tak lagi sanggup bertahan dalam relasi yang menyakitkan.
Berdasarkan laporan DP3A Aceh tahun 2023, lebih dari 60 persen kasus KDRT tidak dilaporkan, dan dari yang dilaporkan, sebagian besar berujung pada perceraian.
Ini menunjukkan bahwa rumah tangga bukan lagi tempat aman bagi sebagian perempuan dan anak-anak.
Perkembangan teknologi turut memainkan peran penting dalam perubahan dinamika keluarga.
Akses terhadap informasi dan layanan hukum, media sosial, serta jaringan perempuan pendamping telah membuka kesadaran perempuan terhadap hak-hak mereka.
Bukan berarti teknologi mendorong perempuan untuk bercerai, melainkan memberikan mereka pilihan dan ruang untuk berpikir secara kritis. Jika dulu perempuan hanya bergantung pada keluarga atau tetangga untuk mengadu, kini mereka dapat mengakses lembaga bantuan hukum, konselor daring, hingga komunitas sesama penyintas melalui media digital.
Teknologi menjadi jendela menuju keberdayaan perempuan.
Namun, kenyataan pahit juga tak bisa diabaikan: tingginya angka kemiskinan di Aceh telah berkontribusi terhadap kerentanan keluarga.
Ketika tekanan ekonomi bertemu dengan relasi rumah tangga yang timpang, perceraian sering menjadi jalan terakhir.
Dalam keluarga-keluarga kelas menengah ke bawah, beban ganda kerap dipikul perempuan: sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga.
Ketika tak ada dukungan emosional maupun finansial dari pasangan, dan ketika upaya perbaikan tidak kunjung membuahkan hasil, keputusan menggugat cerai menjadi bentuk keberanian terakhir dari seseorang yang telah terlalu lama menahan luka.
Fenomena ini tidak bisa dibaca dalam kerangka moral semata.
Menghakimi perempuan sebagai pihak yang "tak sabar," "terlalu bebas," atau "kebablasan dalam memahami gender" hanya akan mengaburkan realitas struktural yang sesungguhnya.
Kesetaraan gender bukan tentang merendahkan laki-laki, melainkan memperjuangkan keadilan dalam relasi.
Perempuan yang menggugat cerai tak bisa disamakan dengan perempuan yang melawan ajaran agama, justru bisa jadi ia sedang menyelamatkan dirinya dan anak-anaknya dari relasi yang tidak sehat.
Perlu disadari bahwa keluarga hari ini tidak lagi dapat dibayangkan dengan pola yang sama seperti era 1990-an.
Struktur dan fungsi keluarga telah mengalami transformasi besar, dipengaruhi oleh globalisasi, urbanisasi, serta teknologi informasi.
Media sosial tidak hanya mengubah cara anggota keluarga berkomunikasi, tetapi juga mendefinisikan ulang nilai, ekspektasi, dan relasi kekuasaan di dalam rumah.
Ruang-ruang digital telah menjadi bagian dari ruang domestik, dan ini menimbulkan dinamika baru yang belum sepenuhnya dipahami secara sosiologis.
Sayangnya, belum banyak studi mendalam di Indonesia--apalagi di Aceh--yang mengkaji bagaimana media digital mengubah struktur dan relasi dalam keluarga.
Dengan demikian, gagasan tentang “keluarga ideal” tidak bisa dipatok sebagai bentuk tetap dan permanen.
Keluarga adalah ruang yang selalu harus dinegosiasikan ulang seiring dengan kompleksitas kehidupan yang terus berubah.
Kesetiaan terhadap bentuk keluarga patriarkis sebagai satu-satunya standar hanya akan menutup mata terhadap realitas yang lebih cair dan beragam.
Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk melihat bahwa nilai-nilai Islam tentang keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab bisa diwujudkan dalam bentuk relasi keluarga yang setara dan adaptif terhadap zaman.
Baca juga: 2.311 Istri di Aceh Gugat Cerai Suami, Sebagian Akibat Judi Online
Membaca ulang dinamika rumah tangga
Konteks lokal Aceh yang memiliki sistem sosial dan hukum berbasis syariat seharusnya tidak menjadi hambatan untuk membaca ulang dinamika rumah tangga.
Justru dari nilai-nilai Islam itulah, keadilan relasional dalam keluarga bisa ditegakkan.
Perempuan yang berani menggugat cerai bukan sedang menolak agama, tetapi sedang memperjuangkan maqashid syariah--menjaga jiwa, akal, dan martabat.
Perlu kesadaran kolektif bahwa relasi rumah tangga yang sehat adalah fondasi masyarakat Islami, bukan sekadar mempertahankan status nikah dalam bentuk kosong.
Apa yang perlu dilakukan? Pertama, ubah cara pandang dari menyalahkan menjadi memahami. Data perceraian harus dibaca sebagai alarm sosial.
Kedua, dorong lahirnya riset-riset kontekstual tentang keluarga di era digital, termasuk di wilayah seperti Aceh yang memiliki karakteristik kultural dan religius yang khas.
Ketiga, hadirkan kebijakan publik yang mendukung kesejahteraan keluarga secara holistik, mulai dari layanan konseling, perlindungan hukum, hingga literasi digital berbasis nilai Islami.
Sebagai penutup, perceraian bukanlah aib yang layak dibebankan sepenuhnya pada perempuan.
Ia adalah sinyal dari sesuatu yang lebih besar: perubahan masyarakat, tuntutan keadilan dalam relasi, dan ketidakmampuan sistem untuk melindungi yang rentan.
Maka membangun keluarga hari ini bukan soal kembali ke masa lalu, melainkan tentang keberanian menyusun relasi yang adil, setara, dan relevan dengan dunia yang terus berubah.
*) PENULIS adalah Dosen Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry/Pengamat Isu Sosial dan Keluarga.
Isi dari artikel ini menjadi tanggung jawab penulis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.