Kupi Beungoh
Merancang Gema Selawat Maulid di Warkop Aceh
Khazanah agama Islam menjelaskan bahwa selawat memiliki posisi yang sangat mulia sebagai ibadah.
Oleh: Muhammad Habibi MZ, S.H.I., M.Ag.
Khazanah agama Islam menjelaskan bahwa selawat memiliki posisi yang sangat mulia sebagai ibadah. Selain ungkapan penghormatan, selawat merupakan perintah langsung dari Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Ayat ini dilengkapi dengan janji keutamaan luar biasa dalam banyak hadis, mulai dari peningkatan spiritual, pencapaian ketenangan batin, hingga janji syafaat di akhirat.
Selawat merupakan bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah melalui kecintaan pada Rasul-Nya, sebuah konsep teosofi yang dalam dan penuh berkah. Landasan teologis yang kokoh inilah yang kemudian mengkristal menjadi budaya yang hidup dan tak terpisahkan dari denyut nadi masyarakat Aceh.
Tak mengherankan, tradisi membaca selawat telah menjadi habitus kolektif yang mengakar kuat, terutama dalam peringatan Maulid Nabi. Aceh memiliki kekayaan variasi tradisi maulid yang merupakan ekspresi budaya sekaligus keimanan.
Dari pembacaan kitab Barzanji yang khidmat, dike mualod (zikir maulid yang bersemangat), hingga perayaan Maulid Akbar yang menyatukan ribuan umat dari berbagai penjuru, semangatnya sama: mengungkapkan kecintaan (mahabbah) pada Nabi Muhammad SAW.
Tradisi ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi telah menjadi siklus sosial-budaya yang menandai identitas keacehan yang islami. Ia menunjukkan bagaimana nilai-nilai keislaman telah menyatu dengan genetik kultural masyarakat Aceh, menciptakan suatu bentuk Islam kultural yang khas dan autentik.
Identitas Aceh sendiri memiliki dua sisi yang kuat dan paradigmatik.
Baca juga: Berkah Berlipat! Hari Jumat Sekaligus Maulid Nabi, Ini 4 Amalan yang Dianjurkan Syekh Ali Jaber
Di satu sisi, ia dikenal sebagai Serambi Mekah, sebuah julukan yang merepresentasikan karakter keislamannya yang kuat, historis, dan spiritual.
Di sisi lain, Aceh adalah negeri dengan 1001 warung kopi (warkop) yang menjadi ruang sosial paling demokratis dan egaliter, tempat di mana ide, kabar, dan kebijakan sering kali lahir.
Dua identitas ini seharusnya tidak berjalan paralel, tetapi bersinergi dan saling menguatkan.
Momentum untuk menyatukannya adalah dengan mengintegrasikan budaya selawat yang sudah mapan ke dalam ruang budaya warkop yang begitu masif dan populer.
Agak aneh memang, tetapi inilah bentuk islamisasi ruang publik yang paling organik dan kontekstual.
Karenanya, warkop tidak lagi sekadar tempat menjual kopi; ia adalah ritual sosial, ruang berbagi cerita, dan public sphere bagi semua kalangan.
Dari nelayan sampai doktor, dari tukang ojek sampai bupati, semua bertemu dalam egalitarianisme warkop. Dalam konteks inilah, warkop memiliki potensi besar untuk menjadi episentrum baru dalam menyebarkan gema selawat.
Baca juga: 15 Poster Maulid Nabi 2025, Bisa Jadi inspirasi untuk Merayakan Momen Kelahiran Rasulullah SAW
Dengan menjadikan warkop sebagai tempat untuk memutar lantunan selawat, kita menempatkan nilai spiritual tepat di jantung interaksi sosial masyarakat Aceh.
Ini adalah strategi “kulturasi nilai” yang sangat organik, tidak terasa dipaksakan, dan memanfaatkan saluran budaya yang sudah ada. Ketika selawat berkumandang di antara debat politik, obrolan bisnis, dan canda tawa, ia menyelinap masuk ke dalam kesadaran kolektif dengan lembut.
Argumentasi untuk mendukung ide ini pun kuat dari berbagai sudut pandang ilmiah. Secara neurosains, lantunan selawat yang tenang dan repetitif dapat menstimulasi otak memproduksi gelombang alfa yang menenangkan, menciptakan keseimbangan antara stimulasi stres dan ketenangan jiwa.
Dari perspektif sosiologis, ini adalah bentuk social engineering yang cerdas, memanfaatkan ruang publik untuk memperkuat kohesi sosial berbasis nilai agama dan mengurangi tensi sosial.
Dari sisi psikoakustik, lingkungan dengan latar musik religius terbukti menciptakan atmosfer yang lebih positif, mengurangi stres, dan meningkatkan emotional well-being. Terakhir, dari sudut economic branding, ini menjadi unique selling point (USP) atau nilai jual unik yang membedakan warkop Aceh dari lainnya, menciptakan positioning yang kuat sebagai ruang yang tidak hanya menjual kopi, tetapi juga ketenangan jiwa.
Tantangan dalam merealisasikan ide ini mungkin ada, seperti perbedaan selera musik atau kekhawatiran akan repetisi yang membosankan.
Namun, kunci kemudahannya terletak pada kepemimpinan dan kebijakan yang mendukung.
Pemerintah daerah dapat mengambil peran strategis dengan menggalakkan gerakan “Gema 1001 Warung Kopi Berselawat” sebagai bagian dari program pembinaan mental spiritual masyarakat.
Secara teknis, implementasinya sangat sederhana dan rendah biaya: memutar rekaman selawat dengan volume yang pas sebagai backsound, dan yang paling tepat adalah menggunakan musik Dalail Khairat atau selawat khas Aceh lainnya yang sudah menjadi common memory kolektif.
Penggunaan konten lokal ini juga menghindari kompleksitas masalah royalti sekaligus melestarikan warisan budaya Aceh sendiri.
Dampak psikologis yang diharapkan dari gerakan ini adalah terciptanya positive psychological conditioning.
Jika gerakan ini berjalan setiap kali memasuki 4 bulan maulid, maka masyarakat yang memasuki warkop tidak hanya disambut aroma kopi, tetapi juga lantunan yang menenangkan jiwa. Hal ini akan membentuk asosiasi positif antara relaksasi sosial dengan ketenangan spiritual.
Warkop akan bertransformasi menjadi oasis penyejuk hati di tengah hiruk-pikuk dan kecemasan kehidupan modern. Secara tidak langsung, ini berkontribusi pada kesehatan mental komunitas, menciptakan lingkungan sosial yang lebih harmonis dan rendah konflik.
Lebih dari itu, ini merupakan implementasi nyata dan lembut dari jargon Syariat Islam yang menjadi identitas konstitusional Aceh. Syariat tidak hanya hadir dalam bentuk hukum formal yang kadang terasa keras, tetapi juga merasuk dalam budaya dan ruang publik melalui pendekatan amar ma‘ruf yang persuasif dan indah.
Ini adalah upaya mainstreaming syariat melalui pendekatan kultural, menunjukkan bahwa ia dapat hadir secara ramah, membumi, dan menyatu dalam keseharian, menemani aktivitas masyarakat yang paling biasa sekalipun: minum kopi.
Oleh karena itu, optimisme untuk merealisasikan ide ini sangat besar. Integrasi antara syariat dan budaya dalam bentuk “Gema Selawat di Warung Kopi” akan memperkuat fondasi spiritual masyarakat tanpa mengesampingkan kekuatan budaya lokal.
Serambi Mekah akan menemukan ekspresi kekiniannya melalui denyut nadi 1001 warkop.
Gema selawat akan menjadi soundtrack tetap yang mengiringi diskusi, bisnis, dan silaturahmi, memperkuat identitas Aceh yang unik: religius namun tetap membumi.
Mewujudkannya membutuhkan kolaborasi semua stakeholder. Pemerintah perlu hadir dengan kebijakan yang fasilitatif, mungkin dalam bentuk imbauan hingga insentif simbolis bagi warkop yang berpartisipasi. Ulama dan tokoh agama memberikan pemahaman dan legitimasi akan makna serta keutamaan selawat, menguatkan motivasi religius.
Budayawan dan seniman mengambil peran mengkurasi konten selawat yang autentik, berkualitas, dan sesuai selera kontemporer tanpa menghilangkan ruhnya.
Sementara pemilik warkop dan masyarakat adalah pelaku utama yang akan menghidupkan gerakan ini dengan kesadaran penuh bahwa mereka adalah aktor pelaksana syariat dalam kehidupan sehari-hari.
Mari kita dukung bersama “Gema Selawat di Warung Kopi” sebagai model penguatan syariat Islam yang membumi, ramah, dan penuh kearifan lokal. Dengan semangat kolaborasi, Aceh sekali lagi dapat menjadi contoh bagaimana agama dan budaya dapat berjalan beriringan menuju masyarakat yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Wallahu a‘lam bish-shawab wa ilayhi marji‘una wal ma‘ab.
*) PENULIS adalah Wakil Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Abrar Aceh Jaya
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
Menimbang Hukum Islam atas Penjarahan Saat Aksi Massa |
![]() |
---|
25 Tahun BPKS Sabang Masih Mimpi: Ekspor Nihil, Dermaga Sepi, Visi Tinggi |
![]() |
---|
Islam Kontemporer: Dari Ortodoksi ke Transformasi Sosial |
![]() |
---|
Refleksi Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H: Uswatun Hasanah Karakteristik Mulia Rasulullah |
![]() |
---|
Saatnya Prabowo Bawa Indonesia Bangkit dari Kegelapan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.