Kupi Beungoh
Memahami Peran Guru dalam Internalisasi Nilai-Nilai Maulid
Peran guru dalam konteks ini jauh melampaui tugas mengajar di kelas. Ia menjadi jembatan antara khazanah tradisi yang kaya dengan realitas kekinian
Oleh: Laitani Fauzani, S.H.
Ketika semaraknya perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang baru saja bergema di seluruh pelosok termasuk Aceh, terselip sebuah pertanyaan reflektif yang patut kita ajukan, khususnya sebagai pendidik: di manakah posisi kita?
Perayaan yang sarat dengan nilai-nilai luhur ini tidak boleh sekadar menjadi tontonan atau ritual tahunan yang berlalu tanpa bekas.
Sebagai guru, kita memiliki peran strategis dan tanggung jawab moral untuk menyelami, merenungi, dan mentransformasikan nilai-nilai Maulid tersebut menjadi kurikulum kehidupan yang aplikatif bagi generasi penerus.
Peran guru dalam konteks ini jauh melampaui tugas mengajar di kelas. Ia menjadi jembatan antara khazanah tradisi yang kaya dengan realitas kekinian yang kompleks.
Perayaan Maulid, dengan segala kemeriahan dan spiritualitasnya, adalah ruang kelas raksasa tempat nilai-nilai keteladanan Nabi dipertontonkan secara nyata.
Guru hadir sebagai fasilitator yang membimbing peserta didik untuk tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi sebagai pemerhati kritis yang mampu menangkap ‘ruh’ dari setiap ritual yang mereka saksikan dan alami.
Pertama, peran guru adalah sebagai penerjemah nilai. Di tengah masyarakat, nilai-nilai Maulid seperti keteladanan (uswah hasanah), gotong royong, dan semangat keilmuan telah dipraktikkan secara organik.
Baca juga: Cinta Iskandar Muda: Antara Ketulusan, Politisasi & Fenomena Terlantarnya Makam Permaisuri di Pidie
Namun, sering kali peserta didik kesulitan memahami korelasi antara praktik tersebut dengan nilai-nilai abstrak yang diajarkan dalam buku teks.
Di sinilah guru berperan menerjemahkan semangat kebersamaan dalam menyiapkan konsumsi Maulid menjadi pelajaran tentang solidaritas sosial (social cohesion).
Guru dapat mengajak siswa merefleksikan bagaimana proses berbulan-balam menabung untuk memelihara hewan ternak kurban Maulid mengajarkan nilai perencanaan, kesabaran, dan tanggung jawab keterampilan hidup yang sangat dibutuhkan di abad ke-21.
Kedua, guru berperan sebagai penjaga narasi. Dalam arus informasi yang deras, tidak semua cerita dan interpretasi tentang sejarah kelahiran Nabi serta nilai-nilainya akurat dan edukatif. Guru memiliki kewenangan akademik dan moral untuk memilih dan menyajikan narasi yang benar, inspiratif, dan kontekstual.
Misalnya, saat masyarakat gaduh dengan polarisasi politik, guru dapat mengangkat kisah kepemimpinan Nabi Muhammad yang inklusif, adil, dan bijaksana dalam membangun masyarakat Madinah yang majemuk.
Ceramah-ceramah ulama selama Maulid yang penuh hikmah dapat direkam, didiskusikan, dan dikaitkan dengan tantangan yang dihadapi siswa sehari-hari, seperti perundungan (bullying), intoleransi, atau kesenjangan ekonomi.
Ketiga, guru adalah perancang pengalaman belajar. Merenungi nilai Maulid tidak cukup hanya dengan ceramah satu arah.
Guru perlu mendesain aktivitas pembelajaran yang memungkinkan siswa mengalami nilai-nilai tersebut secara langsung. Projek berbasis masyarakat (community-based project) dapat menjadi pilihan.
Baca juga: Revisi Qanun Olahraga Aceh: Meneguhkan Jati Diri, Menjawab Tantangan dan Harapan
Misalnya, setelah perayaan Maulid, guru dapat menugaskan siswa untuk mewawancarai tokoh masyarakat yang mengkoordinir acara, mengamati proses gotong royong, atau bahkan terlibat dalam aksi sosial sebagai kelanjutan dari semangat Maulid, seperti mengunjungi panti asuhan atau membersihkan lingkungan masjid.
Melalui pengalaman langsung, nilai-nilai abstrak seperti empati, kepedulian, dan tanggung jawab sosial menjadi nyata dan melekat dalam memori jangka panjang mereka.
Keempat, peran guru sebagai penghubung generasi. Tradisi Maulid di Aceh kaya dengan kekhasan lokal, seperti pembacaan kitab barzanji, dikee maulodi, atau prosesi khanduri. Namun, tidak sedikit generasi muda yang mulai melupakan makna di balik tradisi tersebut.
Guru dapat mendatangkan tetua adat atau ulama setempat ke sekolah untuk berbagi cerita dan makna di balik setiap ritual.
Guru juga dapat memfasilitasi dialog antargenerasi ini dengan mengadakan festival seni budaya Maulid di sekolah, dimana siswa meneliti, mendokumentasikan, dan mempresentasikan kekhasan Maulid di daerah mereka masing-masing.
Dengan cara ini, guru tidak hanya mengajarkan nilai agama, tetapi juga melestarikan warisan budaya lokal sekaligus membangun identitas dan kebanggaan siswa pada akar budayanya.
Kelima, dan yang terpenting, guru adalah teladan hidup (living example). Semua renungan dan pembelajaran tentang nilai Maulid akan kehilangan maknanya jika guru sendiri tidak merefleksikannya dalam perilaku sehari-hari. Keteladanan Nabi Muhammad SAW—kejujurannya (shidiq), amanahnya, kecerdasannya (fathanah), dan komitmennya menyampaikan kebenaran (tabligh)—harus terpancar dari sikap dan tindakan guru.
Saat guru bersikap adil kepada semua siswa tanpa pandang latar belakang, ia sedang mempraktikkan nilai inklusivitas Maulid. Ketika guru gigih mencari ilmu baru untuk meningkatkan kualitas mengajarnya, ia sedang menghidupkan semangat keilmuan yang menjadi salah satu esensi Maulid. Keteladanan yang konsisten inilah yang akan membekas paling dalam pada diri peserta didik.
Sebagai penutup, perayaan Maulid menawarkan lautannya nilai yang siap untuk kita jelajahi sebagai guru. peran kita adalah menjadi nahkoda yang membimbing kapal generasi muda untuk berlayar di lautan tersebut, mengambil mutiara hikmah, dan membawanya pulang untuk memperkaya kehidupan mereka di masa depan.
Marilah kita jadikan momentum Maulid tahun ini sebagai titik tolak untuk lebih kreatif, reflektif, dan proaktif dalam internalisasi nilai-nilai luhur Nabi Muhammad SAW dalam praktik pendidikan kita sehari-hari.
Karena sesungguhnya, tugas terbesar kita sebagai guru bukan hanya mencetak siswa yang pandai secara akademis, tetapi juga membentuk manusia yang berakhlak mulia, mencintai ilmu, dan mampu berkontribusi positif bagi masyarakatnya—cerminan hakiki dari semangat kelahiran Sang Nabi Pembawa Rahmat.
*) PENULIS adalah Guru Fiqih Madrasah Tsanawiyah Negeri 4 Aceh Jaya
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
Baju Syariah, Ruh Konvensional: Koperasi Syariah ke Mana? |
![]() |
---|
Cinta Iskandar Muda: Antara Ketulusan, Politisasi & Fenomena Terlantarnya Makam Permaisuri di Pidie |
![]() |
---|
Revisi Qanun Olahraga Aceh: Meneguhkan Jati Diri, Menjawab Tantangan dan Harapan |
![]() |
---|
BSS I Ob-Gin: Mengasah Keterampilan, Menyelamatkan Kehidupan |
![]() |
---|
Merancang Gema Selawat Maulid di Warkop Aceh |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.