Kupi Beungoh
Restorasi Aceh: dari Nostalgia Kejayaan Menuju Kemakmuran Nyata
Kita sering hanya bisa bernostalgia, sementara realitas di depan mata justru penuh tantangan: ekonomi yang belum stabil, ketergantungan...
Oleh: Safuadi ST MSc PhD – Pemerhati Ekonomi dan Pembangunan Aceh
Aceh, tanah penuh sejarah dan kebanggaan serta sejak lama menjadi kebanggaan nusantara.
Dulu, di masa Kesultanan, Aceh berdiri tegak sebagai pusat perdagangan, pendidikan Islam, dan diplomasi internasional.
Kapal-kapal dari Arab, India, hingga Eropa berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Aceh.
Nama Aceh harum, disegani, dan bahkan dijadikan rujukan dunia.
Namun hari ini, bayangan kejayaan itu tinggal kenangan.
Kita sering hanya bisa bernostalgia, sementara realitas di depan mata justru penuh tantangan: ekonomi yang belum stabil, ketergantungan pada dana Otonomi Khusus, ketimpangan pembangunan, minimnya industrialisasi dan pengangguran muda yang masih tinggi.
Aceh butuh restorasi besar-besaran, sebuah gerakan transformasi menyeluruh untuk membangun kembali kejayaan Aceh.
Restorasi bukan sekadar membangun gedung baru atau jalan raya, melainkan restorasi mental, ekonomi, sosial, dan politik.
Restorasi Aceh adalah strategi komprehensif untuk membawa Aceh kembali menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan kebudayaan di Indonesia.
Inilah momentum untuk bangkit dan menatap masa depan yang lebih cerah bagi Aceh dan generasi mendatang.
Baca juga: Kejari Bireuen Limpahkan Kasus Dugaan Korupsi PNPM Jeunieb Rp856 Juta ke PN Tipikor Banda Aceh
Aceh dan Potensi yang Terlupakan
Potensi Aceh luar biasa.
Laut kita luas, tanah subur, hasil pertanian beragam, gas dan tambang yang melimpah, letak geografis strategis di jalur perdagangan internasional.
Tapi mengapa semua itu belum memberi kemakmuran luas bagi rakyat?
Jawabannya sederhana: kita belum serius mengolah.
Kita masih lebih banyak menjual bahan mentah, bukan produk olahan.
Hasil laut kita dijual murah, kopi kita dikirim ke luar negeri dalam bentuk “green bean” untuk diberi merek asing, hasil tambang kita pergi tanpa meninggalkan nilai tambah berarti di tanah sendiri, Aceh harus mampu untuk:
Mengoptimalkan sumber daya tersebut,
Menarik investor dan membangun ekosistem bisnis,
Menciptakan stabilitas politik dan keamanan agar Aceh menjadi destinasi investasi.
Sudah saatnya Aceh bangun dari tidur panjang.
Restorasi ekonomi harus dimulai dari kekuatan lokal.
Apa yang kita miliki, itulah yang kita kembangkan.
Baca juga: Tgk Mustafa Husen Woyla Terpilih Kembali Nahkodai ISAD Aceh Periode 2025–2030
Apa yang Dimaksud dengan Restorasi Aceh?
Restorasi dalam konteks Aceh berarti membangun kembali kejayaan ekonomi, sosial, dan budaya yang pernah ada di masa Kesultanan Aceh dan memastikan Aceh kembali menjadi pusat pertumbuhan regional dan nasional.
Restorasi Aceh bertujuan untuk:
Mewujudkan Kemandirian Ekonomi melalui diversifikasi sektor industri berbasis sumber daya lokal.
Mempercepat Hilirisasi Sumber Daya Alam guna meningkatkan nilai tambah ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
Mengembangkan Infrastruktur Strategis untuk mendukung konektivitas bisnis dan investasi.
Meningkatkan Kualitas SDM agar siap menghadapi persaingan global.
Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Efektif dan Transparan guna menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Baca juga: BP4 Kota Banda Aceh Dikukuhkan, Fokus Perkuat Pembinaan Keluarga Islami
Pilar Restorasi Aceh: Lima Langkah Transformasi
Agar restorasi tidak sekadar slogan, ada lima pilar utama yang mesti dijalankan:
Ekonomi Berbasis Potensi Lokal
Aceh harus memperkuat pertanian, perikanan, dan agroindustri.
Cabai, bawang, coklat, kopi, durian dan komoditas lokal lain yang sudah ada bisa diperluas dan ditingkatkan nilainya.
Jangan hanya tandan buah segar sawit atau hasil tambang mentah, tetapi produk jadi untuk tujuan ekspor, disamping itu perlu dilahirkan produk lokal dengan merek Aceh di hati pembeli.
Infrastruktur dan Konektivitas
Pelabuhan Aceh harus mampu menjadi pintu keluar untuk tujuan langsung ke luar negeri.
Bandara Cargo untuk komoditi unggulan “peka waktu” seperti Lobster dan Kepiting Bakau yang harus tiba di restoran luar negeri dalam rentang waktu tidak sampai 24 jam dari sejak pengambilan dari keramba, contohnya bandara cargo Syeh Hamzah Fansuri – Singkil yang seharusnya bisa langsung menerbangkan Lobster dan Kepiting Bakau dari Singkil ke Guangzhou - China maupun Narita Jepang.
Demikian halnya jaringan internet cepat di seluruh pelosok agar transaksi jual beli dapat dilakukan secara on line dan perjanjian bisnis dapat dilakukan tanpa hambatan, semuanya harus mendukung agar biaya logistik tidak menjadi ujung beban petani dan pengusaha kecil.
Peningkatan SDM dan Inovasi
Pusat pelatihan vokasi, politeknik industri, beasiswa, kerja sama riset dengan perguruan tinggi dalam dan luar negeri, semua harus dijalankan.
Tak kalah penting: membangun semangat kerja inovatif dan disiplin.
Dari desa-desa hingga kota-kota kecil, pendidikan vokasi dan keterampilan praktis harus dijangkau oleh semua.
Tata Kelola yang Transparan, Efektif, dan Pro-Rakyat
Pemerintah harus menjadi pelayan, tidak birokrat yang memperlambat.
Perizinan disederhanakan, anggaran Otsus dan APBD diarahkan pada pembangunan produktif, bukan sekadar operasional administrasi dan birokrasi pemerintahan.
Layanan publik digital menjadi kebutuhan mutlak karena akan bisa memangkas korupsi dan kolusi serta memberi kemudahan bagi masyarakat.
Kepemimpinan Visioner & Kolaboratif
Tidak cukup pemimpin yang populis tapi butuh pemimpin yang visioner, yang mampu mempersatukan ulama, tokoh adat, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat umum.
Karakter kepemimpinan Aceh di semua level daerah harus yang tegas, jujur, dan punya kompas moral. Budaya memimpin harus melayani rakyat, bukan sebaliknya.
Belajar dari Brebes, Banyuwangi, Morowali, Dubai
Kisah Brebes dan Banyuwangi di Jawa, Morowali di Sulawesi, hingga Dubai di Timur Tengah memberi pelajaran.
Mereka menunjukkan bahwa satu wilayah kecil pun bisa berubah drastis dalam satu generasi bila:
Ada keberanian untuk membuat kebijakan besar dan berani mengambil risiko.
Ada fokus pada hilirisasi dan industri.
Ada investasi infrastruktur yang strategis.
Ada pemimpin yang memberi inspirasi dan mewujudkan visi.
Aceh memiliki modal sejarah; tetapi modal itu harus disulap menjadi agenda pembangunan konkret.
Tantangan yang Harus Ditaklukkan
Restorasi bukan tanpa hambatan.
Beberapa tantangan yang harus dihadapi:
Ketergantungan pada dana pusat (Otsus) sering menjadi penghambat kreativitas dan kemandirian.
Infrastruktur logistik baik darat, laut dan udara masih jauh dari memadai untuk menggerakkan aktivitas produktif dan membangkitkan ekonomi dari semua komoditi unggulan Aceh yang unik dan langka.
Kualitas SDM yang belum merata; pelatihan dan pendidikan masih terpusat di kota.
Budaya administratif yang lambat berubah, regulasi yang panjang, dan investasi yang terkadang disambut tanpa kesiapan regulasi lokal.
Restorasi Aceh bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan. Kita tidak bisa terus terjebak dalam nostalgia, karena masa depan hanya bisa diraih dengan kerja nyata hari ini. Aceh harus bangkit sebagai tanah mandiri, tanah yang mampu memberi makan rakyatnya, menjaga harga pangan tetap stabil, dan menghadirkan kesejahteraan untuk semua.
Saatnya seluruh elemen; ulama, pemerintah, akademisi, diaspora, dan masyarakat harus bergandeng tangan. Mari kita menjemput masa depan bersama, “Aceh Bangkit”, bukan sekadar nostalgia, melainkan kemakmuran nyata untuk anak cucu kita.
Menggali Energi dari Inti: PLTN sebagai Pilar Kemandirian Ekonomi Aceh |
![]() |
---|
Perempuan Sebagai Pilar Politik Indonesia: Saatnya Melangkah Lebih Jauh |
![]() |
---|
Aceh Sudah Saatnya Mandiri Energi Listrik |
![]() |
---|
Tambang Rakyat, Eufemisme di Tengah Krisis Ekologis Aceh |
![]() |
---|
Razia Pelat BL di Sumut Harus Jadi Momentum, Saatnya Aceh Mandiri |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.