Kupi Beungoh

UU Perampasan Aset Tak Kunjung Tiba, DPR Bela Rakyat atau Bela Koruptor?

RUU ini masih terkatung-katung, padahal Presiden Jokowi sudah mengirimkan surpres sejak Mei 2023 dan berulang kali menekankan urgensinya.

Editor: Amirullah
ist
Viona Lestari, Mahasiswi Pasca Sarjana, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh 

Dalih tersebut terdengar akademis, tetapi ironis, mengapa hak rakyat atas uang pajak yang dikorupsi tidak mendapat perhatian yang sama seriusnya?

Lambannya proses legislasi ini memperlihatkan paradoks DPR.

Mereka kerap mengaku sebagai wakil rakyat, tetapi praktiknya menunjukkan kecenderungan melindungi kepentingan segelintir elite yang takut jika asetnya ikut terseret. 

Tidak bisa dipungkiri, banyak politisi kita baik di DPR maupun partai politik memiliki relasi erat dengan pengusaha dan jaringan kekuasaan yang berpotensi terjerat kasus korupsi.

Maka, menunda UU ini sama artinya dengan memberi perlindungan tak resmi kepada para penjarah uang rakyat.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi problem perampasan aset. Italia, sejak era “mafia war,” sudah punya instrumen hukum untuk menyita aset tanpa menunggu putusan pidana, dengan prinsip non-conviction based forfeiture.

Filipina melalui Forfeiture Law juga berhasil mengembalikan miliaran dolar aset Marcos yang disembunyikan di luar negeri.

Inggris bahkan memiliki Unexplained Wealth Orders (UWO), di mana individu yang kekayaannya mencurigakan bisa diminta membuktikan asal-usulnya, dan bila gagal, aset bisa langsung disita.

Baca juga: Harga Emas Kembali Berkilau di Aceh Tamiang, per Mayam  Rp 6,3 Juta

Pertanyaannya, mengapa Indonesia, yang setiap hari dirongrong praktik korupsi sistemik, justru tak kunjung memiliki instrumen serupa? Apakah karena elite politik kita takut senjata makan tuan?.

Ketidakseriusan DPR membahas UU Perampasan Aset bukan sekadar isu abstrak. Dampaknya konkret.

Ketika triliunan rupiah uang negara lenyap dan tak bisa kembali, rakyat kehilangan akses pada layanan dasar. 

Anggaran pendidikan dan kesehatan terbatas, subsidi dipangkas, infrastruktur mangkrak, bahkan gaji guru honorer dan tenaga kesehatan kerap tertunda.

Ironisnya, di saat yang sama, kita bisa menyaksikan para koruptor hidup mewah, dengan aset yang jelas-jelas berasal dari hasil jarahan, tetapi tak tersentuh hukum karena payung hukumnya belum ada.

Jika DPR terus menunda, maka yang dikorbankan bukan hanya uang negara, tetapi juga masa depan generasi mendatang.

Korupsi tanpa pengembalian aset berarti membiarkan kerugian berlipat ganda, negara kehilangan uang, rakyat kehilangan hak, dan moral publik kehilangan kepercayaan terhadap institusi demokrasi.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved