Kupi Beungoh
UU Perampasan Aset Tak Kunjung Tiba, DPR Bela Rakyat atau Bela Koruptor?
RUU ini masih terkatung-katung, padahal Presiden Jokowi sudah mengirimkan surpres sejak Mei 2023 dan berulang kali menekankan urgensinya.
Secara akademis, ini adalah cacat serius dalam politik legislasi kita. DPR tampak tidak konsisten dalam menetapkan prioritas.
Mereka bisa begitu cepat mengesahkan RUU yang berkaitan dengan kepentingan politik jangka pendek seperti revisi UU Pemilu atau revisi UU KPK pada 2019, namun begitu lambat ketika menyangkut instrumen pemberantasan korupsi yang menyentuh kepentingan oligarki.
Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya komitmen antikorupsi di parlemen.
Dalam teori hukum, negara memiliki kewajiban positif untuk melindungi hak-hak rakyat, termasuk melalui mekanisme hukum yang memastikan uang publik tidak dirampas oleh segelintir orang.
Mangkraknya RUU Perampasan Aset adalah bentuk kelalaian (omission) negara, yang pada akhirnya melanggar hak rakyat atas keadilan sosial sebagaimana dijamin dalam konstitusi.
Baca juga: Polemik Ijazah, Subhan Palal Penggugat Gibran Tantang Jokowi Tunjukkan Orang yang Back Up
Publik berhak bertanya secara frontal, DPR sedang membela rakyat, atau membela koruptor?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak perlu dijawab dengan retorika, tetapi dengan tindakan nyata, segera mengesahkan UU Perampasan Aset.
Jika DPR masih menunda-nunda, maka wajar jika publik menilai bahwa para legislator lebih sibuk menjaga kepentingan oligarki ketimbang menegakkan keadilan.
Momentum tahun 2025 seharusnya menjadi titik balik.
Dengan berakhirnya masa jabatan legislatif periode 2019–2024 dan hadirnya wajah baru di parlemen, publik menuntut komitmen konkret.
Tanpa itu, DPR hanya akan semakin kehilangan legitimasi, dilihat bukan sebagai lembaga legislatif yang mewakili rakyat, tetapi sebagai benteng terakhir para koruptor.
Korupsi telah lama menempatkan bangsa ini sebagai korban. Dana publik yang semestinya menjadi akses pangan, kesehatan, dan pendidikan bagi rakyat, justru lenyap akibat kejahatan luar biasa tersebut. UU Perampasan Aset bukan sekadar instrumen hukum, melainkan simbol keberpihakan negara kepada rakyat.
Bila DPR masih enggan mengesahkannya, maka sejarah akan menorehkan catatan pahit, di saat rakyat meminta keadilan, wakilnya justru berpaling.
Penulis adalah Mahasiswi Pasca Sarjana, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
Refleksi Kritis atas Dana Otsus Aceh: Evaluasi 18 Tahun Perjalanan Untuk Perbaikan Masa Depan |
![]() |
---|
Restorasi Aceh: dari Nostalgia Kejayaan Menuju Kemakmuran Nyata |
![]() |
---|
Barakallah Muktamar X PPP - Muhasabah: Kembali ke Khittah Sesuai Ideologi Politik Islam |
![]() |
---|
Audit Kekayaan Pejabat: Jalan Cepat Kembalikan Hak Rakyat |
![]() |
---|
Mengapa Kampus Aceh Belum Memimpin Joint Study Migas dan Apa Jalan Keluarnya? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.