Kupi Beungoh

AI Membunuh Nalar yang Bahkan Tak Lagi Kritis

Penggunaan Artificial Intelligence (AI) yang semakin marak ternyata tidak selalu membawa kabar baik.

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Uswatun Nisa, Dosen Ilmu Komunikasi USK 

Oleh Uswatun Nisa

SERAMBINEWS.COM - Beberapa tahun terakhir saya mengalami kondisi yang sangat memprihatinkan di dunia akademik.

Penggunaan Artificial Intelligence (AI) yang semakin marak ternyata tidak selalu membawa kabar baik. Justru, bagi saya yang berprofesi sebagai dosen, perkembangan ini menghadirkan duka tersendiri. 

Sebabnya hanya satu, mahasiswa kini sangat bergantung pada AI.

Hal yang lebih mengkhawatirkan, mereka mempercayai hampir seluruh isi yang disodorkan oleh teknologi tersebut tanpa berpikir ulang. 

Di antara berbagai jenis AI yang berkembang, ChatGPT menjadi tools yang paling digemari mahasiswa saya. Hampir semua tugas, bahkan tugas akhir mereka percayakan kepada “raja AI” ini.

Puncak kesedihan saya terjadi saat mengajar di kelas Literasi Media. Saya memberi tugas kepada 70 mahasiswa untuk me-review sebuah jurnal akademik yang berkaitan dengan literasi media.

Tugasnya sederhana, baca jurnalnya, pahami, lalu buat ringkasan dan sedikit analisisnya. Setelah itu akan didiskusikan bersama di kelas. 

Seminggu kemudian, tugas dikumpulkan. Saya mulai membaca dan mencoba merangkum isi tugas mereka secara cepat. Namun saya justru menemukan seluruh tugas mereka terlihat sama.

Baca juga: Prompt Gemini AI Terbaru Bikin Foto Biasa Jadi Editorial Ala Vogue! Keren, Bak Cover Majalah Mode

Bahasa yang digunakan identik, struktur penulisan seragam, bahkan isi rangkuman dan analisis pribadi pun sama persis. 

Kelebihan dan kekurangan jurnal yang mereka tulis pun tidak berbeda. Seolah-olah seluruh 70 orang ini menyalin dari satu sumber yang sama. Kemudian saya bertanya di depan kelas, “Siapa di antara kalian yang tidak menggunakan AI saat mengerjakan tugas ini?”

Tidak satu pun tangan yang terangkat. Mereka saling berpandangan, hingga akhirnya semua mengaku bahwa mereka memang menggunakan AI.

Saya melanjutkan pertanyaan, “Kalau begitu, apakah kalian benar-benar memahami isi tugas yang kalian tulis? Bisa kalian jelaskan kepada saya isi dari jurnal yang kalian review?” Kelas kembali hening. Beberapa hanya menunduk, yang lain menggeleng pelan. Tidak satu pun yang berani menjelaskan. 

Saat itu saya terdiam cukup lama. Sebagai seorang dosen, saya sangat kecewa. Bukan karena mereka menggunakan AI untuk mengerjakan tugas, tapi karena mereka sama sekali tidak memahami apa yang mereka kerjakan. 

Bahkan sedikit pun tidak. Mereka sama sekali tidak menyunting atau menyaring hasil dari AI itu. Mereka langsung menyalinnya ke lembar tugas tanpa membaca kembali secara mendalam.

Saya teringat pada masa awal saya mengajar tahun 2018. Saat itu teknologi AI belum berkembang seperti sekarang. 

Mahasiswa masih mengandalkan Google untuk mencari referensi tugas. Tentu saja saya tetap mengecam budaya “copy-paste” dari Google. Namun sekarang saya menyadari, apa yang dilakukan mahasiswa dulu ternyata masih lebih baik dibanding sekarang.

Mengapa demikian? Karena meskipun mereka menyalin dari internet, setidaknya mereka tetap harus membaca, memilih bagian yang relevan, dan menyesuaikan kalimat agar sesuai dengan konteks tugas. 

Mereka juga harus mengunduh artikel terlebih dahulu, menyimpannya, dan menyeleksi bagian mana yang akan mereka gunakan. Artinya, masih ada proses berpikir, meski singkat dan sederhana.

Baca juga: Wamendikti Prof Stella Sebut AI dan Teknologi Buka Peluang Kerja Baru

Sekarang, dengan kehadiran AI, semua tahapan itu hilang. Mahasiswa tidak lagi perlu membaca atau menyeleksi. Mereka hanya mengetik satu instruksi, dan semua hasil lengkap dengan bahasa yang rapi dan analisis yang tampak logis langsung disediakan oleh AI. 

Proses berpikir yang seharusnya menjadi inti dari pembelajaran, kini hilang total. Proses belajar yang memang sudah menjadi sangat sederhana karena bantuan Google, kini berhasil  dilenyapkan sama sekalu dengan bantuan AI.

Saya jadi teringat pada sebuah tulisan tahun 2020 berjudul “Media Sosial Membunuh Nalar Kritis Kita”. Tulisan itu menjelaskan bagaimana algoritma media sosial membuat kita tidak lagi mencari informasi secara sadar. 

Informasi justru disodorkan terus-menerus kepada kita oleh platform digital.

Akibatnya, pengguna hanya menerima dan menerima, tanpa sempat bertanya kembali, “Apakah ini benar? Apakah ini relevan? Apakah ini penting?” Kini kita berada pada fase baru, dimana “AI Membunuh Nalar Kita yang Sebenarnya Sudah Tidak Lagi Kritis”. 

Nalar yang tersisa pun ikut dirampas oleh teknologi. Karena sebenarnya tanpa kehadiran AI pun, daya berpikir kritis kita sebenarnya sudah melemah. Kini, keberadaan AI mempercepat kerusakan itu. Proses belajar yang dulu panjang, perlahan-lahan hilang. Semua dipangkas menjadi satu klik saja.

Saya yakin kegelisahan ini bukan hanya milik saya. Dalam berita Kompas edisi Senin, 25 Agustus, berjudul “Generasi Muda Indonesia Butuh Literasi AI Sedari Sekolah”, seorang guru juga mengungkapkan keresahannya. 

Ia menceritakan bagaimana siswanya dengan mudah menjawab soal dari guru hanya dengan bantuan ChatGPT. Guru merasa kewalahan, sudah bersusah payah menyusun soal namun anak-anak menyelesaikannya hanya dalam beberapa menit tanpa perlu berpikir.

Guru tersebut khawatir bahwa ketergantungan siswa pada chatbot berbasis AI akan melemahkan daya kritis mereka. 

Mereka tidak lagi memahami konsep secara utuh, karena merasa semua pertanyaan bisa dijawab oleh teknologi.

Cerita saya dan cerita guru tersebut hanyalah potret kecil dari pemanfaatan AI di dunia pendidikan saat ini. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2025 menunjukkan, dari 8.700 responden, sebanyak 27,34 persen sudah menggunakan AI. Angka ini naik dari tahun sebelumnya yang hanya 24,73 persen. 

Generasi Z (kelahiran 1997–2012) dan generasi milenial (1981–1996) menjadi pengguna AI terbesar, masing-masing sebesar 43,7 persen dan 2,3 persen. Konten edukasi dan pembelajaran menjadi konten yang paling sering diakses, yaitu sebesar 43,98 persen, naik signifikan dari 21,84 persen pada tahun sebelumnya.

Namun ironisnya, meskipun adopsi AI di dunia pendidikan semakin tinggi, tingkat literasi AI justru belum memuaskan. Skornya hanya 49,96, yang menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap cara kerja, risiko, dan etika AI masih rendah.

Laporan perusahaan riset Ipsos berjudul “Global Views on AI 2023” juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat kedua dari 30 negara yang percaya bahwa AI bebas dari bias atau diskriminasi, dengan persentase 76 persen. Padahal, di dunia nyata, AI tetap menyimpan potensi bias dan kesalahan.

Pertanyaannya, apakah salah menggunakan AI dalam dunia akademik? Jawabannya tentu tidak. AI bukan musuh. Yang salah adalah cara kita memanfaatkannya.

UNESCO pada tahun 2022 telah menerbitkan Recommendations on the Ethics of Artificial Intelligence yang berisi panduan etis dan praktis untuk memanfaatkan AI secara bertanggung jawab, termasuk di dunia pendidikan. 

Kementerian Pendidikan, melalui Direktorat Pendidikan dan Pembelajaran, juga telah menerbitkan Buku Panduan Penggunaan Generative AI pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi pada tahun 2024.

Buku ini menjelaskan bagaimana dosen dan mahasiswa dapat menggunakan AI secara etis dan produktif, sekaligus mengingatkan tentang risiko seperti plagiarisme, hilangnya kreativitas, dan melemahnya daya berpikir kritis.

Sayangnya, mahasiswa dan pelajar kita belum membentuk pola pikir yang tepat dalam memanfaatkan teknologi ini. Ketika saya bertanya di kelas tentang buku panduan penggunaan GenAI itu, tidak satu pun dari mereka yang pernah mendengarnya apalagi pernah membacanya.

Artinya, pedoman ini belum beredar dan diketahui secara masif. 
Hingga kini mereka belum memahami bahwa literasi AI adalah kebutuhan penting bagi mereka.

 Mereka hanya berpikir bahwa literasi media, termasuk AI hanya dikhususkan bagi mereka yang tidak mampu menggunakannnya.

Bagi mereka yang mampu menggunakannya, literasi AI tidak diperlukan. Ini merupakan pemikiran yang keliru, karena literasi AI bukan hanya membahas keterampilan menggunakan, tapi juga adab menggunakan AI.

Karena itu, benar bahwa yang kita perlukan sekarang bukanlah pelarangan AI, melainkan penguatan literasi AI yang komprehensif, lebih dari sekedar belajar menggunakannya.

Selain harus mengajarkan sejak dini bagaimana AI bekerja, apa risikonya, dan bagaimana menggunakannya secara bijak, mahasiswa juga perlu diajarkan terkait dampak jangka panjangnya pada diri mereka jika mereka ketergantungan terhadap AI. 

Mahasiswa perlu diarahkan untuk menjadikan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti akal sehat. AI seharusnya dipakai untuk memperkaya referensi, memberikan inspirasi, atau mempercepat pekerjaan teknis, bukan untuk menghapus proses berpikir.

Pendidikan sejatinya bukan hanya tentang hasil akhir, tetapi tentang proses berpikir, proses memahami, dan proses membentuk karakter. Jika semua proses itu digantikan oleh teknologi, maka pendidikan kehilangan maknanya.

Sudah saatnya dosen, guru, orang tua, dan pembuat kebijakan bekerja sama membangun kesadaran baru. Literasi AI harus menjadi bagian dari kurikulum di tingkatan yang paling kecil, mulai dari perguruna tinggi, fakultas, dan program studi. 

Lebih baik lagi jika diturunkan ke dalam Rencana Pembelajaran Semester di setiap mata kuliah yang diajarkan. Jika tidak, kita akan melahirkan generasi yang cerdas secara teknologi, tetapi miskin secara nalar.

Dan saat itu terjadi, maka benar adanya, AI bukan hanya membunuh nalar kritis kita, tapi juga mematikan masa depan berpikir anak bangsa.(*)

*) PENULIS adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Syiah Kuala

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved