Opini

Mencerna Makna Kerukunan di Perbatasan Aceh

Karakteristik budaya yang hampir serupa, seperti bahasa, sebaran keberagaman keyakinan hingga mata pencaharian yang umumnya didominasi

Editor: mufti
YouTube Serambinews
Dr Muji Mulia, Peneliti Politik Islam dan Dekan FISIP UIN Ar-Raniry 

Ketiga, memori sejarah konflik turut mempengaruhi. Aceh memiliki pengalaman panjang dengan konflik bersenjata. Situasi itu meninggalkan jejak kecurigaan dan batas-batas sosial yang lebih kaku dibandingkan dengan masyarakat Sibolga–Tapteng. Tentunya, kondisi ini memberi pelajaran penting bagi wajah toleransi dan kerukunan umat beragama.

Dalam perspektif kerukunan, konsep dan kebijakan ini tidak semata-mata hadir karena kesamaan etnis atau agama, melainkan karena adanya ruang sosial yang adil dan terbuka. Sibolga–Tapteng berhasil membangun kerukunan karena masyarakatnya merasakan keadilan dalam interaksi sosial, ekonomi, dan budaya.

Selanjutnya, regulasi lokal yang berbasis agama tidak selalu harus berbenturan dengan keragaman. Namun, diperlukan tafsir kebijakan yang lebih komunikatif. Misalnya, penyediaan mekanisme dialog antarumat beragama, ruang konsultasi publik dalam perumusan kebijakan, dan perhatian pada hak-hak minoritas. Di sini, peran media dan lembaga pendidikan berkontribusi menumbuhkan kesadaran bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan sumber kekuatan. Jika sejak dini anak-anak dikenalkan dengan budaya saling menghormati, maka potensi konflik di masa depan dapat diminimalisasi.

Terakhir, membaca konsep “negeri berbilang kaum” seperti Sibolga–Tapanuli Tengah memberi optimisme bahwa kerukunan bisa menjadi realitas, bukan utopia. Namun, pengalaman di perbatasan Aceh mengingatkan kita bahwa regulasi dan kebijakan lokal harus senantiasa peka terhadap keragaman sosial.

Kerukunan umat beragama bukanlah hadiah yang turun dari langit. Ia adalah hasil kerja keras, keterbukaan, dan kebijaksanaan masyarakat dalam mengelola perbedaan. Jika Sibolga–Tapteng bisa merawatnya, maka daerah lain pun bisa, asalkan ada kemauan bersama. Pada akhirnya, menjaga kerukunan bukan hanya tugas pemerintah atau tokoh agama, melainkan kewajiban seluruh warga bangsa.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved