Jurnalisme Warga
Mengulik Jejak Yahudi di Aceh
bahwa pelaut Inggris, Thomas Forrest, menyimpan informasi berharga tentang kehadiran orang Yahudi di Aceh pada abad ke-18.
Dr. H. TEUKU AHMAD DADEK, S.H., M.H., pemerhati sejarah dan budaya, melaporkan dari Banda Aceh
Lee Kam Hing, dalam “The Sultanate of Aceh Relations with the British 1760-1824” menyatakan bahwa pelaut Inggris, Thomas Forrest, menyimpan informasi berharga tentang kehadiran orang Yahudi di Aceh pada abad ke-18.
Pada tahun 1775, dalam perjalanannya menuju Bengkulu (Bencoolen), Forrest singgah di Aceh dengan tujuan menemui Sultan Mahmud Syah. Namun, sang Sultan dilaporkan sedang sakit keras sehingga tak bisa menerima tamu.
Dalam catatan itu, Forrest menyinggung keberadaan Abraham, seorang pedagang Yahudi tua yang masih bermukim di Aceh pada masa tersebut. Penyebutan nama Abraham ini menarik, karena menunjukkan bahwa pedagang Yahudi bukanlah hal asing dalam jaringan perdagangan Aceh. Abraham tampaknya sudah cukup lama menetap sehingga dikenal oleh para pengembara asing yang singgah di pelabuhan.
Tak lama kemudian, pada tahun 1781, Sultan Mahmud Syah mangkat. Masa pemerintahannya ditandai oleh tekanan besar, baik dari para hulubalang (uleebalang) di pedalaman, maupun dari meningkatnya penetrasi dagang Inggris di wilayah pantai barat Sumatra.
Dalam konteks inilah, keberadaan pedagang Yahudi seperti Abraham menjadi bagian dari mosaik kosmopolitan Aceh: sebuah pusat dagang yang dihuni, dikunjungi, dan diwarnai oleh beragam komunitas dari Timur Tengah, India, Eropa, hingga Yahudi diaspora.
Setelah wafatnya Sultan Mahmud Syah tahun 1781, takhta Kesultanan Aceh beralih kepada putranya, Sultan Muhammad Syah, yang ketika itu baru berusia 22 tahun. Usia mudanya menandai periode baru dalam sejarah Aceh, meskipun tantangan internal dan eksternal tetap berat: pergolakan di kalangan ‘uleebalang’ serta meningkatnya pengaruh dagang Inggris di wilayah barat Sumatra.
Pada kunjungan terakhirnya ke Aceh tahun 1784, pelaut Inggris, Thomas Forrest, bertemu langsung dengan sultan muda ini. Informasi mengenai sang Sultan diperolehnya dari Poh Salleh, syahbandar yang juga pernah melayani Sultan Mahmud, serta dari Abraham, pedagang Yahudi tua yang masih bertahan di Aceh sejak masa sebelumnya.
Kehadiran Abraham dalam catatan Forrest menegaskan pula bahwa orang Yahudi memang pernah hadir di Aceh, bukan sekadar rumor. Sebagai pedagang tua yang masih dikenali hingga era Sultan Muhammad Syah, Abraham mencerminkan posisi Aceh sebagai kota pelabuhan kosmopolitan, tempat berbagai bangsa, agama, dan budaya berinteraksi.
Kerkhof Peutjoet
Di kompleks makam Belanda Kerkhof Peutjoet, Banda Aceh, memang terdokumentasi adanya beberapa nisan Yahudi. Laporan lapangan (2009) menyebut “empat makam Yahudi” di bagian belakang, dengan tulisan Ibrani dan Bintang Daud (David) pada nisannya.
Arsip Stichting Peutjut-Fonds yang mengurusi pemulihan kompleks ini merekam korespondensi dengan Nederlands-Israëlitisch Kerkgenootschap (NIK) mengenai “Joods Graven-Complex op Peutjut” (kompleks makam Yahudi di Peutjoet) dan dokumentasi foto oleh pengelola makam (D.E. Weenas) ketika restorasi pasca-1970-an. Ini bukti institusional bahwa bagian makam Yahudi di Peutjoet diakui/didata oleh pihak Yahudi Belanda.
Umumnya, sumber wisata/heritage menegaskan Peutjoet adalah makam militer Belanda terbesar di luar negeri (±2.225 serdadu KNIL, termasuk tentara sewaan), sehingga keberadaan serdadu/pegawai Yahudi Belanda yang dimakamkan di sana masuk akal secara sejarah.
Asal-usul Blower
Nama Kampung Blower di Banda Aceh berasal dari kisah tentang tokoh asing Yahudi, Avram Meier Bolchover, yang dikenal sebagai pemilik lahan dan usaha berpengaruh di daerah tersebut.
Menurut berbagai sumber lisan dan artikel, Bolchover adalah seorang Yahudi keturunan Eropa Timur yang diyakini lahir sekitar tahun 1856. Ia disebut pernah bertugas sebagai serdadu Belanda di Hindia Timur dan kemudian menetap di Aceh setelah pensiun.
Di Banda Aceh—tepatnya di Gampong Sukaramai saat ini—ia membeli lahan, mengelola kebun, serta mendirikan penginapan dan bar yang kerap dikunjungi oleh serdadu KNIL. Kawasan tempat tinggalnya kemudian dikenal masyarakat Aceh sebagai “Kampung Blower,” nama yang kemungkinan berasal dari pelafalan lokal kata “Bolchover.”
Beberapa catatan akademis juga menyebutkan tentang Bolchover, antara lain, dalam sebuah disertasi mengenai hukum syariah di Banda Aceh, terdapat keterangan bahwa kawasan Blower pernah dimiliki oleh pedagang Yahudi asal Eropa Timur bernama Avram Meier Bolchover. Referensi ini mengaitkan keberadaan kawasan tersebut dengan kedatangan individu dari luar, memberikan kontribusi dalam sejarah Kota Banda Aceh (dulu Koetaradja).
Kisah ini tidak dapat diverifikasi sepenuhnya karena arsip kolonial Belanda sejauh ini belum menunjukkan bukti resmi terkait kepemilikan tanah atau aktivitas dagang Bolchover di Aceh.
Selain itu, variasi penulisan nama—seperti Blochwer, Bolchover, dan Blower—menunjukkan adanya perubahan pelafalan seiring waktu. Namun demikian, keberadaan makam dengan nama serupa di Banda Aceh memperkuat dugaan atas eksistensi sosok ini.
Saat ini, istilah “Blower” lebih umum dikenal sebagai nama kampung padat penduduk di pusat Banda Aceh, meski sejarah di balik namanya berkaitan dengan perjumpaan masyarakat Aceh dan diaspora global. Bolchover dianggap sebagai bagian dari komunitas Aceh masa kolonial, walau namanya tidak tercatat luas dalam sejarah resmi setempat.
Dengan demikian, kisah Avram Meier Bolchover menjadi salah satu contoh ‘microhistory’ yang menggambarkan Banda Aceh sebagai kota pelabuhan (bandar) terbuka bagi interaksi multietnis dan multikultural. Jejaknya di Gampong Blower tetap dikenang oleh warga, meskipun masih menyimpan sejumlah misteri.
Pada album foto tahun 1924, terlihat gambar gerbang pintu masuk pemakaman Kerkhof Peutjoet dengan tulisan: “this gate was donated to the Israelite cemetery by the late A.M.Bolchoner [!] who passed away on 24 June 1897.” Batu nisan pada pemakaman tersebut masih terlihat bermarmer (Glaser 1991:32 dalam “Brakel-Papenhuyzen” kerja sama dengan Teuku Cut Mahmud Aziz).
Karena kesulitan pengucapan nama, masyarakat setempat akhirnya menyederhanakan Bolchover menjadi “Belower,” lalu “Blower.” Lahan miliknya dikenal sebagai “Kebon Blower,” yang menjadi awal mula terbentuknya Kampung Blower.
Adolf Bolchover memiliki dua saudara laki-laki, Litman dan Israel Bolchover. Ketiganya datang ke Koetaradja (Banda Aceh), dengan Adolf dan Litman mengikuti program naturalisasi menjadi warga negara Belanda. Informasi mengenai partisipasi Israel dalam program ini masih belum diketahui.
Mereka juga menjalankan bisnis lahan yasan (real estate) di Meulaboh, khususnya di Suak Indrapuri dan kawasan perumahan Blower. Lokasi Blower di Meulaboh terletak di Gampong Suak Indrapuri, sekitar Jalan Thamren dan Lapangan Teuku Umar hingga BRI.
Menurut buku panduan Kuburan Militer Peutjoet, nama Blower diperkirakan diambil dari nama seorang pedagang Yahudi yang membuka usaha di pinggiran Kota Banda Aceh. Seiring waktu, penyebutan nama Bolchover berubah karena perbedaan dialek hingga menjadi Blower.
Nama tersebut kemudian digunakan sebagai nama gampong. Bisnis lahan yasan yang dijalankan juga meluas ke Banda Aceh, Meulaboh, dan beberapa kabupaten lain. Namun, saat ini, penyebutan Blower di Meulaboh mulai jarang terdengar, terutama setelah bencana tsunami yang menyebabkan perubahan bentang alam (lanskap) pada wilayah tersebut.
Hilirisasi dan Industrialiasasi Sumber Daya Alam untuk Aceh Bermartabat |
![]() |
---|
Ketika Gadget Bermanfaat untuk Pengembangan Diri |
![]() |
---|
Aceh, Terus Membanggakan Sejarah atau Kembali Menyusun Arah? |
![]() |
---|
Kue Adee Kak Nah, Ikon Kuliner dari Pidie Jaya |
![]() |
---|
Dari Aceh ke Panggung Nasional: Kisah Ismail Rasyid Membangun Trans Continent |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.