Kupi Beungoh

Serakahnomic: Teori Ditolak, Praktek Menjamur?

Demokrasi dibeli, hukum dijual-beli, birokrasi dirampok korupsi, itulah wajah Serakahnomic, ekonomi rakus yang menjerat nurani bangsa.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Dr. Muhammad Nasir, Dosen Magister Keuangan Islam Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe; Peneliti Sosial Kemasyarakatan; Pembina Yayasan Generasi Cahaya Peradaban. 

Oleh: Dr. Muhammad Nasir*) 

Paradoks Negeri Kaya, Rakyat Miskin

Indonesia melimpah sumber daya: hutan, tambang, laut, dan tanah subur.

Namun, 23,85 juta rakyat masih miskin, termasuk 2,38 juta miskin ekstrem (BPS, Maret 2025).

Lebih mengejutkan, jika mengacu standar Bank Dunia, kemiskinan melonjak hingga 68,3 persen.

Kekayaan mengalir ke lingkaran kuasa, bukan rakyat.

Demokrasi dibeli, hukum dijual-beli, birokrasi dirampok korupsi, itulah wajah Serakahnomic, ekonomi rakus yang menjerat nurani bangsa.

Setiap pohon yang ditebang, setiap tambang yang dikuras, seolah menumpuk kekayaan segelintir orang.

Sementara rakyat menanggung beban: anak-anak kehilangan pendidikan, pasien miskin kehilangan layanan kesehatan, masyarakat kehilangan keadilan.

Harta dan kuasa yang disalahgunakan bukan sekadar merusak ekonomi; ia menodai moral dan menggerogoti masa depan.

Serakahnomic bukan kata kosong; ia nyata, meresap, dan mengancam seluruh masa depan negeri tercinta.

Baca juga: Video Penampakan Ular Piton Mati Kekenyangan di Aceh, Perut Besar Telan Mangsa: Akibat Serakah

Serakahnomic: Nafsu yang Menjajah Sistem

Mega-Korupsi merenggut hak rakyat: minyak dan kilang Rp193,7 triliun, penggilingan padi Rp100 triliun per tahun, Asabri Rp22,7 triliun, Jiwasraya Rp16,8 triliun, proyek BTS 4G Rp8 triliun, pengadaan minyak goreng Rp6,5 triliun, Chromebook pendidikan Rp2 triliun, dana haji terseret (Kejaksaan Agung, 2025).

Setiap rupiah yang hilang adalah kesempatan rakyat: pendidikan, kesehatan, dan keberkahan hilang.

Demokrasi atau Investasi Kekuasaan? Pilkada 2024 membuka tabir pahit: demokrasi semakin mahal, integritas kian langka.

Calon kepala daerah menyiapkan dana Rp20–100 miliar, legislatif Rp5 miliar, dengan anggaran Pilkada Serentak Rp41 triliun (WFD, UI, UMJ; KPU).

Demokrasi berubah menjadi ladang investasi kekuasaan; pemimpin terpilih terikat pada penyandang dana, bukan rakyat.

Hukum Rapuh, kasus Ferdy Sambo dan Pinangki menegaskan hukum bocor, keadilan dijual-beli; KPK tercoreng pungli miliaran (2023).

Ini bukan kegagalan individu, tetapi kelemahan sistem hukum dalam substansi, struktur, dan budaya (Friedmann).

Reformasi internal Polri patut diapresiasi, tapi langkah Polri yang mendahului presiden menimbulkan pertanyaan: seberapa efektif reformasi tanpa suara eksternal dan pengawasan publik?

Kaya dan Berkuasa: Amanah dan Kemuliaan

Islam memandang kaya sebagai kemuliaan yang harus dijaga.

Kekayaan dan jabatan adalah amanah, yang akan dipertanyakan: dari mana diperoleh dan untuk apa digunakan.

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya tentang umurnya, ilmunya, hartanya dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan ...” (HR. Tirmidzi)

Harta yang diam atau diperoleh haram merusak diri dan menindas masyarakat.

Allah hanya menerima amal perbuatan yang baik dan harta yang halal, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik” (HR. Muslim).

Sebaliknya, menyalurkan harta melalui infak, sedekah, dan wakaf justru mendatangkan keberkahan, karena “Sedekah tidak akan mengurangi harta” (HR. Muslim).

Bagaimana Uang dan Kuasa Menghadirkan Bahagia?

Uang bukan sekadar harta; ia amanah dan senjata moral yang bisa menebar kebahagiaan atau menjerat nurani.

Allah SWT menegaskan: gunakan harta secara adil dan halal (QS. Al-Baqarah: 188), dan Rasulullah SAW bersabda: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan bawah” (HR. Bukhari-Muslim).

Penelitian global menegaskan: membelanjakan harta untuk orang lain (prosocial spending) menumbuhkan kepuasan batin dan kebahagiaan sejati, jauh melampaui sensasi menumpuk harta sendiri (Dunn, Aknin, & Norton, 2008; Aknin et al., 2020).

Memberi menghidupkan nurani, memperkuat moral, dan menebar keberkahan; menumpuk harta hanya meredupkan hati, menjerat manusia dalam keserakahan yang mematikan.

Kekuasaan adalah amanah yang menuntut tanggung jawab. QS. An-Nisa (58) menegaskan pentingnya keadilan dan pelayanan; Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari-Muslim) 

Penelitian Niven & López-Pérez (2025) menunjukkan bahwa pemimpin yang melayani orang lainmenciptakan iklim kerja sehat, produktif, dan menenangkan, sehingga meningkatkan kesejahteraan tim maupun masyarakat.

Sebaliknya, penyalahgunaan kuasa merusak moral dan menebar ketidakadilan.

Kebahagiaan sejati lahir dari memberi dan melayani, bukan menumpuk harta atau menindas orang lain.

Baca juga: Detik-detik Prabowo Gebrak Mimbar di Parlemen, Peringatkan Pengusaha Serakah yang Tipu Rakyat

Ekonomi dan Politik Berbasis Moral Qana’ah dan Zuhud

Indonesia kaya, tapi hati sering miskin: miskin kesederhanaan, miskin kejujuran, miskin kepuasan.

Qana’ah, kesederhanaan hati, adalah pangkal kebahagiaan dan benteng moral melawan kerakusan.

Allah SWT menegaskan:  “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang batil...” (QS. Al-Baqarah: 188)

Rasulullah SAW:  “Kekayaan sejati bukan banyaknya harta, melainkan hati yang puas.” (HR. Bukhari-Muslim)

Zuhud menempatkan ridha Ilahi di atas harta dan pangkat.

Pemimpin dan masyarakat yang zuhud hidup sederhana tanpa kehilangan martabat.

Ibn Qayyim menegaskan qana’ah dan zuhud sebagai perisai moral, Yusuf al-Qaradawi menekankan kesederhanaan hati sebagai fondasi tata kelola adil dan bersih.

Menjemput Barakahnomic

Mega-korupsi, Pilkada mahal, dan hukum bocor adalah wajah Serakahnomic.

Obatnya: Barakahnomic, ekonomi berkah berbasis distribusi adil, tata kelola bersih, dan kedermawanan sosial.

Digitalisasi anggaran, integrasi ZISWAF, profesionalisasi wakaf, serta pendidikan qana’ah menutup celah kerakusan. Empat ratus enam puluh ribu titik tanah wakaf menunggu diberdayakan.

Pilihan di tangan kita: terus dijerat Serakahnomic, atau menjemput Barakahnomic ekonomi adil, bersih, menenteramkan jiwa, dan menumbuhkan kebahagiaan sejati.

Allah SWT berfirman: “Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami limpahkan berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A‘raf: 96)

Sejarah memberi peringatan: Qarun ditelan bumi karena menimbun harta, Fir’aun tenggelam ke laut karena pongah kuasa.

Hari ini, Serakahnomic nyata: pejabat menukar amanah dengan rente, politisi membeli suara, birokrat memperdagangkan hukum.

 Jalan Barakahnomic bukan mimpi: dimulai dari niat bersih, distribusi adil, dan kepemimpinan yang melayani, bukan menindas.

Kebahagiaan sejati lahir dari memberi dan melayani; harta dan kuasa yang dijalankan dengan qana’ah dan zuhud menumbuhkan peradaban, menyejahterakan rakyat, dan menenteramkan hati.

Wallahu’alam bissawab.

PENULIS adalah Dosen Magister Keuangan Islam Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe; Peneliti Sosial Kemasyarakatan; Pembina Yayasan Generasi Cahaya Peradaban.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved