Pojok Humam Hamid

MSAKA21: Tiga Indra, Aceh Lhee Sagoe, dan “Soft Hegemonic Transition”

Sejarah Aceh, khususnya proses Islamisasinya, justru menawarkan kisah transisi yang halus dan cerdas--sebuah proses yang tidak menghapus masa lalu

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

DALAM sejarah Nusantara, perubahan besar seringkali digambarkan sebagai momen yang dramatis dan radikal--kerajaan runtuh, kepercayaan lama tersingkir, dan sistem baru mengambil alih secara total. 

Namun, narasi semacam ini terlalu menyederhanakan kenyataan yang jauh lebih kompleks. 

Sejarah Aceh, khususnya proses Islamisasinya, justru menawarkan kisah transisi yang halus dan cerdas--sebuah proses yang tidak menghapus masa lalu, melainkan mengislamkannya, mengadaptasinya, dan menjadikannya bagian dari kekuasaan baru.

Di sini, kita menyaksikan sebuah fenomena yang dapat disebut sebagai “soft hegemonic transition”, yaitu pergeseran kekuasaan dan ideologi secara bertahap, damai, dan penuh negosiasi simbolik.

Nama-nama seperti Indrapatra, Indrapuri, dan Indrapurwa menjadi saksi bisu dari masa lalu Aceh yang sarat dengan pengaruh Hindu-Buddha. 

Ketiganya bukan sekadar penanda geografis, melainkan representasi kekuasaan, spiritualitas, dan struktur sosial yang telah tertanam lama di bumi Serambi Mekkah sebelum kedatangan Islam. 

“Indra” adalah nama dewa utama dalam kosmologi Hindu, simbol kekuasaan langit dan pelindung para raja. 

“Patra” berarti pintu atau gerbang, “puri” adalah istana, dan “purwa” merujuk pada tempat awal atau pusat kesucian. 

Nama-nama ini menunjukkan bahwa sebelum Islam masuk, Aceh sudah mengenal konsep kekuasaan sakral, tempat-tempat suci, dan struktur pemerintahan spiritual yang kokoh.

Namun ketika Islam datang, tempat-tempat ini tidak dihancurkan atau ditinggalkan. 

Sebaliknya, mereka diintegrasikan ke dalam narasi Islam baru. 

Salah satu contoh paling mencolok adalah Masjid Indrapuri, yang dibangun di atas bekas kuil Hindu-Buddha. 

Bangunan ini menjadi simbol nyata dari proses transformasi--bukan dekonstruksi. 

Artinya, Islamisasi di Aceh tidak menolak masa lalu, tetapi mengislamkannya dengan cermat. 

Ia menyerap kekuatan simbolik yang sudah mapan, lalu memberikan makna baru yang sesuai dengan ajaran Islam.

Proses seperti ini tidak hanya terjadi pada tataran arsitektural atau simbolik. 

Ia juga meresap ke dalam struktur pemerintahan dan konsep wilayah. 

Baca juga: VIDEO Wali Nanggroe Akan Tulis Kembali Sejarah Aceh untuk Dimasukkan ke Kurikulum Sekolah

Aceh Lhee Sagoe

Salah satu warisan terpenting dari proses ini adalah pembentukan sistem Aceh Lhee Sagoe—pembagian wilayah Kesultanan Aceh menjadi tiga sagi atau bagian besar. 

Aceh Lhee Sagoe bukan ciptaan yang muncul tiba-tiba, melainkan bentuk pewarisan dari struktur politik pra-Islam yang telah ada sebelumnya. 

Tiga sagoe besar ini masing-masing mewakili wilayah kekuasaan dari tiga kerajaan tua: Lamuri, Darul Kamal, dan Makota Alam. 

Sagoe XXII Mukim diasosiasikan dengan Lamuri dan Indrapatara, kerajaan tua yang sudah dikenal sejak awal abad pertengahan dan disebut dalam berbagai catatan asing. 

Sagoe XXV Mukim terhubung dengan wilayah Darul Kamal dan Indrapuri dan Sagoe XXVI Mukim dengan Makota Alam, Indrapurwa, pusat kekuasaan yang kemudian menjadi jantung Kesultanan Aceh Darussalam.

Yang menarik, struktur ini tetap dipertahankan bahkan setelah Islam menjadi kekuatan hegemonik utama. 

Pembagian wilayah, sistem mukim, hingga penamaan administratif, tetap merujuk pada tatanan lama yang sudah familiar di masyarakat. 

Namun yang berubah adalah makna ideologis dan spiritualnya. 

Jika sebelumnya kekuasaan berakar pada legitimasi Hindu-Buddha dan sakralitas lokal, kini kekuasaan mendapat legitimasi dari Islam--dari hukum syariat, dari posisi Sultan sebagai pelindung agama, dan dari para ulama yang menjadi bagian dari struktur negara. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh adalah mengambil alih struktur lama, bukan menghancurkannya, dan kemudian mengisi ulang maknanya dalam bingkai Islam. 

Di sinilah soft hegemonic transition bekerja.

Baca juga: Jejak Sejarah Aceh-Amerika, Peneliti AS Temui Bupati Abdya Bahas Logo Kota Salem yang Memuat Po Adam

Teori Hegemonik

Dalam teori hegemonik Antonio Gramsci, kekuasaan tidak hanya ditentukan oleh dominasi fisik atau koersif, tetapi juga oleh kemampuan ideologi dominan untuk melekat secara kultural dan moral di dalam masyarakat. 

Hegemoni bekerja melalui persetujuan yang dibangun perlahan--dalam bahasa Gramsci, melalui consent-persetujuan sukarela bukan coercion atau paksaan. 

Aceh menunjukkan bagaimana kekuasaan Islam tumbuh bukan dari pemaksaan, tetapi dari kemampuan mengartikulasikan dirinya dengan struktur nilai, adat, dan simbol yang sudah mengakar. 

Dengan demikian, Islam menjadi hegemon bukan karena meruntuhkan kekuasaan lama, tetapi karena berhasil menanamkan maknanya ke dalam fondasi lama itu sendiri.

Dalam konteks ini, konsep “soft hegemonic transition” menjadi alat analisis yang kuat. 

Ia menjelaskan bagaimana kekuasaan baru bisa berkuasa tanpa konfrontasi tajam dengan sistem lama. 

Berbeda dengan hegemonik koersif, yang memaksakan dominasi melalui kekuatan militer atau ideologi yang menyingkirkan yang lama, soft hegemonic transition berlangsung secara kultural, simbolik, dan bertahap. 

Ia menciptakan konsensus, bukan konflik. 

Baca juga: MSAKA21: Indrapuri, Candi yang Menjadi Masjid - Bagian IX

Islam Bukan Ancaman

Islam di Aceh hadir bukan sebagai ancaman, tapi sebagai kelanjutan yang lebih tinggi dan lebih utuh dari struktur lama yang telah ada.

Proses ini juga menjelaskan kenapa masyarakat Aceh mampu menerima Islam secara cepat dan menyeluruh. 

Islam tidak datang dengan wajah asing atau merusak, tapi sebagai bagian dari “penyempurnaan” nilai-nilai lokal. 

Para ulama dan penyebar Islam menggunakan bahasa lokal, menghormati adat, bahkan menggunakan simbol-simbol lama untuk membingkai ajaran baru. 

Di titik ini, Islam menjadi hegemon bukan karena menghancurkan, tapi karena ia mampu menjalin hubungan yang kuat dengan struktur budaya yang sudah tertanam.

Bukti-bukti historis juga menunjukkan bahwa perubahan di Aceh bukan terjadi secara tiba-tiba. 

Tidak ada catatan besar tentang pemberontakan budaya terhadap Islam. 

Yang ada justru proses panjang dakwah, pernikahan politik, dan adaptasi sosial yang menciptakan legitimasi baru secara bertahap. 

Struktur keulamaan Aceh pun dibangun dengan mengadopsi model pendidikan lokal dan luar, yang kemudian dilebur menjadi sistem dayah. 

Dalam sistem ini, Islam tidak sekadar menjadi ajaran agama, tapi juga struktur pengetahuan dan otoritas moral yang terintegrasi dalam masyarakat.

Hal ini juga menjelaskan kenapa simbol-simbol Hindu-Buddha tidak pernah benar-benar hilang dari Aceh.

Nama-nama seperti Indrapuri masih digunakan, dan situs-situs lama tetap dihormati, bahkan setelah menjadi bagian dari struktur Islam. 

Dalam pandangan masyarakat, tidak ada pemutusan sejarah, yang ada adalah kesinambungan yang diberi makna baru. 

Inilah kekuatan dari sebuah hegemonik yang lunak. 

Ia tidak memaksa orang untuk melupakan masa lalu, tetapi justru memfasilitasi cara baru untuk memaknainya.

Melekat Dalam Identitas Lokal

Kekuatan hegemonik Islam di Aceh tidak hanya bersumber dari struktur politik atau institusi formal, tetapi dari kemampuannya untuk melekat dalam identitas lokal.

Ia menjadi bagian dari adat, dari bahasa, dari sistem nilai sehari-hari.

Islam menjadi bahasa kekuasaan baru yang menyatu dengan memori kolektif masyarakat. 

Kesultanan Aceh Darussalam membentuk dirinya sebagai warisan spiritual dan politis dari kerajaan-kerajaan tua, bukan sebagai penggantinya. 

Dengan itu, sultan menjadi bukan sekadar penguasa baru, tapi pewaris sah dari kekuasaan yang sebelumnya telah mendapatkan pengakuan sosial.

Apa yang terjadi di Aceh memiliki kemiripan dengan wilayah lain seperti Kesultanan Demak atau Kesultanan Melaka, di mana Islam juga mengambil pendekatan adaptif terhadap struktur budaya lokal. 

Namun, yang membedakan Aceh adalah tingkat integrasi antara simbol pra-Islam dan Islam dalam sistem kekuasaan dan identitas masyarakatnya. 

Aceh tidak sekadar menerima Islam; Aceh membentuk Islam yang kontekstual dan bercorak lokal, dengan menyerap masa lalu ke dalam jantung hegemonik baru.

Soft Hegemonic Transition

Kisah ini memperlihatkan bahwa sejarah tidak selalu berjalan melalui benturan keras. 

Kadang, sejarah bekerja dengan cara yang halus, lambat, dan penuh kompromi. 

“Soft hegemonic transition” bukan hanya sebuah konsep abstrak, melainkan kenyataan yang membentuk identitas suatu masyarakat. 

Aceh adalah buktinya--di mana situs lama menjadi masjid, kerajaan lama menjadi mukim, dan warisan Hindu-Buddha menjadi bagian dari narasi Islam. 

Dalam dunia yang kerap memaknai perubahan sebagai konflik, Aceh mengajarkan bahwa kekuasaan dan identitas bisa berganti tanpa harus saling meniadakan. 

Dan itulah kekuatan sejati dari hegemonik yang lembut.

Aceh Lhee Sagoe, dalam konteks ini, bukan sekadar pembagian wilayah administratif, melainkan representasi dari proses hegemonik yang halus.

Kekuasaan Islam menyatu dengan identitas lokal, menjadikan tiga Sagoe bukan sebagai peninggalan, melainkan sebagai instrumen hegemoni baru yang tetap berakar pada legitimasi masa silam. 

Ia adalah contoh konkret dari teori Gramsci yang hidup dalam sejarah, bahwa kemenangan ideologis yang sejati terjadi ketika yang lama tidak dilenyapkan, melainkan ditafsirkan ulang menjadi bagian dari yang baru.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved