Kupi Beungoh
Menyoal Soal Kelebihan Informasi
Akses informasi memang tidak mengenal kasta. Namun, seperti “hukum cinta” ada satu “hukum universal” yang selama ini jarang masyarakat ketahui
Menjadi pemandangan umum, masyarakat hari ini mengkonsumsi sangat banyak informasi di berbagai platform media sosial: isu viral, politik, kecelakaan, tips mengatasi patah hati, konten edukasi, kecantikan, teknologi, gosip selebriti, tausiyah, video lucu, dll, hanya “dalam sekali duduk” (satu rentang waktu), secara cepat seperti mengkonsumsi snack.
Stimulasi Berlebihan
Apa yang kebanyakan masyarakat tidak sadari ialah, seperti batasan sensori, terdapat batasan kemampuan otak dalam menerima, memproses, dan mengingat informasi.
Batasan sensori, artinya, pancaindra kita hanya mampu menerima masukan hingga tingkat tertentu. Jika terlalu banyak rangsangan—bayangkan seseorang dalam ruangan yang bising dengan lampu berkedap-kedip—sistem sensori itu bisa terganggu. Demikian juga otak.
D.E. Berleney, ahli psikofisiologi dari Universitas Toronto, mengemukakan sistem saraf pusat bekerja efektif jika stimulasi berada dalam kisaran “rentang adaptif”. Jika lingkungan terlalu menekan (stimulasi terlalu sedikit) atau terlalu membebani (stimulasi terlalu banyak), sistem saraf itu tidak akan berfungsi dengan baik.
Senada dengan Berleney, Alvin Toffler menyebutkan bahwa stimulasi berlebihan (overstimulation) dapat mempengaruhi kemampuan berpikir.
Ketika seseorang terbenam dalam situasi yang berubah dengan cepat, tidak teratur, dan penuh informasi baru, kata Toffler, ia akan “kewalahan” (overwhelming—merujuk pada perasaan yang sangat intens sehingga membuat seseorang sulit berpikir jernih). Bahkan sulit mengambil keputusan sederhana untuk kepentingan dirinya sendiri (decision paralysis).
Toffler mencontohkan kasus Perang Dunia ke-II di Burma, seorang prajurit tertidur pulas di antara ledakan bom dan peluru yang melesat di sekitarnya.
Selain menderita kelelahan fisik, dia juga menjadi hipersensitif (mudah marah dan tersinggung). Puncaknya adalah rasa apatis yang tinggi, sampai-sampai dia menyerah berjuang menyelamatkan nyawanya sendiri.
Setahun kemudian gejala serupa juga dialami secara massal oleh para prajurit yang menyerbu Normandia.
Hasil penelitian, ini karena mereka terperangkap dalam lingkungan yang berubah dengan cepat dan tidak dapat diprediksi.
Sehingga, untuk bertahan hidup, mereka terpaksa beroperasi di atas rentang batas adaptifnya. Berdampak pada kemampuan berpikir, bahkan mengarah pada perilaku aneh dan anti-adaptif.
Kita memang tidak berada dalam peperangan. Namun, sulit membaca cerita “perang Toffler” di atas tanpa menarik paralel atau menyadari kemiripannya dengan “kisah peperangan” kita hari ini.
Menjadi fenomena yang tak lagi fenomenal, masyarakat terus “memborbardir” (menstimulasi) diri mereka dengan sangat banyak informasi di media sosial, dengan “medannya” yang tidak terstruktur, berubah dengan cepat, dan penuh hal-hal baru.
Mereka berpindah platform dan menggeser perhatian mereka atas sebuah topik dengan ibu jari lebih cepat dari tarikan nafas. Berdampak pada rentang perhatian (attention of span) yang semakin pendek.
Apa yang dirasa menarik saat ini menjadi tidak menarik sekejab kemudian, lalu ada yang lebih menarik setelah itu, dan menjadi tidak menarik setelahnya. Hingga di ujung hari, kebanyakan informasi di ujung jari itu menjadi kabut, menguap, tidak menjadi apa-apa.
Kecuali memicu adrenalin, waktu yang terbuang, fokus yang makin berkurang, gangguan waktu tidur, residu yang menyebabkan “infobesitas,” termasuk penilaian berlebihan dalam menilai diri sendiri.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.