Kupi Beungoh
Menyoal Soal Kelebihan Informasi
Akses informasi memang tidak mengenal kasta. Namun, seperti “hukum cinta” ada satu “hukum universal” yang selama ini jarang masyarakat ketahui
Oleh: Nurussalim Bantasyam, S.H.
DALAM novelnya, The God of Small Things, Arundhaty Roy, mengangkat tema sistem kasta dan “hukum cinta” di “Negeri Seribu Dewa”, Kerala, India: seberapa besar seseorang boleh mencintai dan pelanggaran terhadapnya menyebabkan konsekuensi tertentu.
Akses informasi memang tidak mengenal kasta. Namun, seperti “hukum cinta” ada satu “hukum universal” yang selama ini jarang masyarakat ketahui dan abaikan, yakni batas konsumsi informasi.
Padahal, jika batas itu dilampaui, otak bisa mengalami “kerusuhan”.
Data dari Digitalsilk, hingga tahun 2025 jumlah data di internet mencapai 182 zettabyte—termasuk di dalamnya informasi yang tersedia di seluruh dunia.
Jumlah ini, andaikan satu cangkir kopi setara 100 gygabite, susunannya mencapai ribuan kali jarak bumi ke matahari.
Kita tidak akan kekurangan informasi. Alih-alih defisit, kita surplus informasi. Sebaliknya, yang defisit adalah kesadaran kita dalam mengkonsumsi informasi.
Baca juga: Saat Guru dan Siswa Belajar Tulis Opini dan Feature
Pengertian Istilah
Walaupun istilah “kelebihan informasi” (information overload) pertama kali digunakan oleh Bertram Gross dalam bukunya, The Managing of Organizations (1964), gagasan tentang “terlalu banyak yang harus dibaca” telah ada berabad-abad sebelumnya.
Artinya, kelebihan informasi bukanlah isu baru yang muncul di era internet, melainkan fenomena historis yang dialami manusia sejak informasi dicatat.
Gross mengemukakan bahwa revolusi administratif telah mendorong munculnya kelebihan informasi, yang ia definisikan sebagai “sebuah kondisi ketika jumlah masukan ke sebuah sistem melebihi kapasitas pemrosesannya”.
Baca juga: Akselerasi Pemerataan Dokter Spesialis Lewat Strategi MGBKI
Konsep ini kemudian menjadi populer setelah Alvin Toffler membahasnya dalam bukunya, Future Shock (1970). Dan semakin dikenal luas secara akademik sejak munculnya lingkungan informasi digital pada tahun 1990-an.
Menurut Toffler, kelebihan informasi terjadi ketika jumlah informasi yang diterima melebihi kapasitas seseorang untuk memprosesnya secara efektif.
Kondisi Hari Ini
Kelebihan informasi semakin rentan terjadi saat ini seiring meningkatnya penggunaan internet, telepon pintar, dan media sosial.
Laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2025, pengguna internet di tanah air mencapai 229,4 juta jiwa (80,66 persen jumlah populasi). Di mana, berdasarkan survei Jakpat, mayoritas memilih media sosial sebagai sumber utama informasi (89 persen), diikuti situs web (52 persen), dan televisi (51 persen ).
Ini karena media sosial dapat diakses kapan pun dan dari mana pun melalui perangkat mobile (83,39 persen masyarakat menggunakan telepon pintar untuk mengakses internet), interaktif (komentar, like, shared), dan real-time. Namun, karena itu pula media sosial dianggap sebagai biang keladi kelebihan informasi.
Menjadi pemandangan umum, masyarakat hari ini mengkonsumsi sangat banyak informasi di berbagai platform media sosial: isu viral, politik, kecelakaan, tips mengatasi patah hati, konten edukasi, kecantikan, teknologi, gosip selebriti, tausiyah, video lucu, dll, hanya “dalam sekali duduk” (satu rentang waktu), secara cepat seperti mengkonsumsi snack.
Stimulasi Berlebihan
Apa yang kebanyakan masyarakat tidak sadari ialah, seperti batasan sensori, terdapat batasan kemampuan otak dalam menerima, memproses, dan mengingat informasi.
Batasan sensori, artinya, pancaindra kita hanya mampu menerima masukan hingga tingkat tertentu. Jika terlalu banyak rangsangan—bayangkan seseorang dalam ruangan yang bising dengan lampu berkedap-kedip—sistem sensori itu bisa terganggu. Demikian juga otak.
D.E. Berleney, ahli psikofisiologi dari Universitas Toronto, mengemukakan sistem saraf pusat bekerja efektif jika stimulasi berada dalam kisaran “rentang adaptif”. Jika lingkungan terlalu menekan (stimulasi terlalu sedikit) atau terlalu membebani (stimulasi terlalu banyak), sistem saraf itu tidak akan berfungsi dengan baik.
Senada dengan Berleney, Alvin Toffler menyebutkan bahwa stimulasi berlebihan (overstimulation) dapat mempengaruhi kemampuan berpikir.
Ketika seseorang terbenam dalam situasi yang berubah dengan cepat, tidak teratur, dan penuh informasi baru, kata Toffler, ia akan “kewalahan” (overwhelming—merujuk pada perasaan yang sangat intens sehingga membuat seseorang sulit berpikir jernih). Bahkan sulit mengambil keputusan sederhana untuk kepentingan dirinya sendiri (decision paralysis).
Toffler mencontohkan kasus Perang Dunia ke-II di Burma, seorang prajurit tertidur pulas di antara ledakan bom dan peluru yang melesat di sekitarnya.
Selain menderita kelelahan fisik, dia juga menjadi hipersensitif (mudah marah dan tersinggung). Puncaknya adalah rasa apatis yang tinggi, sampai-sampai dia menyerah berjuang menyelamatkan nyawanya sendiri.
Setahun kemudian gejala serupa juga dialami secara massal oleh para prajurit yang menyerbu Normandia.
Hasil penelitian, ini karena mereka terperangkap dalam lingkungan yang berubah dengan cepat dan tidak dapat diprediksi.
Sehingga, untuk bertahan hidup, mereka terpaksa beroperasi di atas rentang batas adaptifnya. Berdampak pada kemampuan berpikir, bahkan mengarah pada perilaku aneh dan anti-adaptif.
Kita memang tidak berada dalam peperangan. Namun, sulit membaca cerita “perang Toffler” di atas tanpa menarik paralel atau menyadari kemiripannya dengan “kisah peperangan” kita hari ini.
Menjadi fenomena yang tak lagi fenomenal, masyarakat terus “memborbardir” (menstimulasi) diri mereka dengan sangat banyak informasi di media sosial, dengan “medannya” yang tidak terstruktur, berubah dengan cepat, dan penuh hal-hal baru.
Mereka berpindah platform dan menggeser perhatian mereka atas sebuah topik dengan ibu jari lebih cepat dari tarikan nafas. Berdampak pada rentang perhatian (attention of span) yang semakin pendek.
Apa yang dirasa menarik saat ini menjadi tidak menarik sekejab kemudian, lalu ada yang lebih menarik setelah itu, dan menjadi tidak menarik setelahnya. Hingga di ujung hari, kebanyakan informasi di ujung jari itu menjadi kabut, menguap, tidak menjadi apa-apa.
Kecuali memicu adrenalin, waktu yang terbuang, fokus yang makin berkurang, gangguan waktu tidur, residu yang menyebabkan “infobesitas,” termasuk penilaian berlebihan dalam menilai diri sendiri.
Di era keberlimpahan informasi ini orang-orang semakin jarang mengangkat bahu atau menggelengkan kepala. Berbekal beberapa video 15-30 detik dan kutipan-kutipan pendek, banyak orang merasa telah mengenggam dunia. Padahal, ada hal-hal yang hanya bisa dipahami setelah membaca banyak buku, perenungan mendalam, dan keheningan yang panjang.
James G. Miller, direktur Institut Penelitian Kesehatan Mental Universitas Michigan, menyebutkan bahwa membanjiri seseorang dengan informasi selain yang dapat ia proses dapat mengakibatkan “gangguan” (disturbance).
Bahkan, menurutnya, dapat mengarah kepada berbagai jenis penyakit mental. Menunjukkan bahwa konsumsi informasi juga berhubungan dengan kesehatan psikologis.
Saat ini banyak orang “tertidur pulas” di antara “ledakan bom dan peluru” di sekitar mereka: terputus dengan realita sesungguhnya, orang-orang di sekitar mereka, bahkan diri mereka sendiri.
Seperti “prajurit Toffler” yang apatis, seakan tidak ada titik untuk kembali (point of no return), orang-orang terus menggulir layar (scrolling): kebanyakan bukan karena ingin, tetapi karena tidak bisa berhenti.(*)
*) PENULIS adalah Peminat Isu Literasi dan Pelaksana pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.