Opini
Revisi UUPA dan Penguatan Parlok
Patut kita syukuri, revisi UUPA menjadi program prioritas kumulatif terbuka 2025, merupakan perjuangan panjang banyak pihak
Muhammad Usman, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan KIP Aceh Utara
PROSES revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, atau lebih populer dengan sebutan UUPA sedang bergulir di tingkat Nasional. Badan legislasi (Baleg) DPR RI, telah menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pertama di hari Kamis (11/9/2025) untuk menerima masukan dan pendapat terkait revisi UU Pemerintah Aceh ini. Sontak, informasi tersebut membuat riang-gembira segenap publik di Aceh, sebab kita paham bersama, kelembagaan DPR RI di Senayan sedang dirundung oleh berbagai persoalan pasca demonstrasi 25-30 Agustus lalu.Revisi dinilai sebagai kebutuhan mutlak, pascadua dekade perdamaian Aceh.
Patut kita syukuri, revisi UUPA menjadi program prioritas kumulatif terbuka 2025, merupakan perjuangan panjang banyak pihak; serta pengawalan ketat dari ketua Forbes DPR dan DPD RI asal Aceh TA Khalid. Ketua Baleg, Bob Hasan menyampaikan “bahwa revisi UU Pemerintahan Aceh merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), serta penyelarasan dengan regulasi nasional seperti: UU Pemda, UU Pemilu, dan UU Desa”.
Kehadiran Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Muhammad Jusuf Kalla (JK); tokoh inisiator perdamaian Aceh, dalam RDPU memberikan citra positif terhadap revisi ini. JK hadir bersama mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin; delegasi yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam nota kesepahaman perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka, di Finlandia 15 Agustus 2005 (Serambi Indonesia, 12/9/2025).
JK dan Hamid, dibutuhkan untuk memahami aspek historis dan hal-hal penting lainnya, supaya menjadi perhatian dalam revisi UUPA agar tidak melenceng dari nota kesepahaman (MoU Helsinki). Baleg DPR, juga perlu menghadirkan delegasi GAM; agar bisa memotret historis dengan berimbang dan lebih mendalam terhadap poin-poin MoU maupun kekurangan dari UUPA yang sudah berjalan.
Arah revisi
Pertanyaan mendasar, apakah revisi UUPA dilakukan secara mayor atau minor? Membaca draf usulan badan keahlian DPR RI, merupakan revisi minor (hanya menyasar 22 dari 273 Pasal yang termaktub dalam UUPA). Akan tetapi, revisi UUPA “berpotensi” berkembang menjadi revisi mayor, karena dinamika kebutuhan dalam pembahasan nantinya.
Penyempurnaan peraturan bisa menjadi ruang kompromi politik hukum yang sarat kepentingan, kesiapan dan persiapan pemerintah Aceh/maupun pemangku kepentingan, perlu terus melakukan langkah advokasi secara bersama-sama. Revisi UUPA haruslah inklusif dan melibatkan berbagai pihak, guna mendapatkan masukan dan legitimasi publik.
DPRA juga menyiapkan usulan arah revisi dan telah diserahkan kepada Pemerintah Aceh. Versi usulan DPRA terdapat 10 pasal untuk direvisi, dan penambahan 1 pasal, yaitu: Pasal 1 perubahan pada angka 21 dan 22, Pasal 7, Pasal 11, Pasal 160, Pasal 165, Pasal 183, Pasal 192, Pasal 194, Pasal 235, Pasal 270, serta Pasal 251A sebagai pasal penambahan. Pasal perpanjangan dana otonomi khusus (Otsus), sebesar 2,5 persen dan peruntukannya tidak ada batas waktu (Pasal 183) menjadi fokus banyak pihak. Usulan pemerintah Aceh, bisa dikategorikan skema revisi minor, karena hanya menyasar 10 pasal saja.
Pandang JK maupun Hamid dalam RDPU, bahwa MoU Helsinki adalah batas minimal kesepahaman kedua belah pihak, revisi wajib tidak mengurangi poin yang telah ada, bila ditambahkan dalam semangat penyempurnaan, maka itu lebih baik, bahkan kalau meminjam istilah dalam Islam sunnah muakkad.
Masukan perbaikan
Menurut penulis, revisi perlu menyasar peningkatan status partai politik lokal, supaya tidak terjadi “diskriminasi” hak dalam pencalonan pemilu untuk level DPR RI. Dalam nota kesepahaman, partisipasi politik diatur pada poin 1.2.1 yang menjelaskan bahwa “…Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik lokal yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional.”
Kemudian, dalam UU/11/2006, partai politik lokal diterangkan dalam Pasal 95 dengan bunyi “ketentuan lebih lanjut mengenai partai politik lokal diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Jumlah penyebutan kata partai politik lokal dalam UUPA ditemukan sebanyak 23 kali. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh, pada Maret 2007.
PP tersebutlah mengklarifikasi proses pembentukan, detail yang berhubungan dengan partai politik lokal di Aceh. Berdasarkan peraturan tersebut, partai politik lokal hanya mengikuti pemilu legislatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta boleh menominasi calon dalam pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati maupun wali kota. PP tersebut, menutup ruang bagi partai politik lokal di Aceh untuk ikut pemilu DPR RI. Namun, PP juga membuka ruang yang lebar; bagi keanggotaan partai politik lokal untuk merangkap keanggotaan dengan partai nasional, agar mereka dapat mengikuti pemilu legislatif di tingkat nasional.
Konteks hari ini, PP 20/2007 terasa “diskriminatif”. Kenapa diskriminatif? Karena partai politik lokal dibatasi ruang lingkup dalam mengikuti proses pemilu, hanya level daerah. Padahal, secara terminologi partai politik dan partai politik lokal, keduanya memiliki maksud yang sama yaitu organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara.
Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah “memungkinkan” partai politik lokal diberi kewenangan untuk mencalonkan DPR menuju Senayan. Maka, untuk menjawab hal tersebut, perlunya kita kembali belajar pada sejarah Pemilu 1955; sebagai salah satu historis bangsa Indonesia.
Pengalaman masa lalu
Dalam Pemilu 1955, partai politik lokal sudah dikenal di masa itu, bahkan mereka berhasil mengirimkan perwakilan untuk kursi DPR maupun kursi keanggotaan Konstituante. Sejarah Partai Persatuan Dayak (PPD) di Kalimantan Barat merupakan partai politik lokal yang dibentuk untuk mempersatukan ketujuh suku induk Dayak yaitu: Ot Danum, Kayaan, Iban, Bidayeuh, Punan, Taman Ambaloj, dan suku di Borneo Utara. PPD berjuang untuk melawan pembodohan, pemiskinan dan diskriminasi hak.
Hasil Pemilu 1955, Partai Persatuan Dayak menguasai posisi politik di tingkat daerah, memiliki perwakilan untuk DPR atas nama F.C Palaunsuka, dan tiga orang untuk di Konstituante yaitu: J.C Oevaang Oeray, Wilibrordus Hittam, dan Agustinus Djelani (Baca: M. Rikaz Prabowo, Eksistensi Partai Persatuan Dayak Pada Pemilu 1955). Sayangnya partai ini dibubarkan pada tahun 1959, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan larangan terhadap partai politik yang bersifat etnis.
Pengalaman masa lalu ini, tinggal diadopsi kembali dalam revisi UUPA untuk peningkatan status partai politik lokal di Aceh. Harapan ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk menghadirkan kehormatan (dignity) politik Aceh. Bila hal ini bisa terwujud, maka partai politik lokal di Aceh harus membuka kantor perwakilan di Jakarta, untuk memudahkan pengurusan administrasi dalam pencalonan anggota DPR RI karena langsung berhubungan dengan KPU RI di pusat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.