Kupi Beungoh
Birokrasi, Elit, dan Masa Depan Lingkungan Aceh
Beberapa bulan terakhir, perdebatan tentang penutupan tambang emas ilegal kembali mencuat di Aceh.
Di banyak daerah, konsep itu menjadi kedok legalisasi bagi operasi tambang ilegal atau semi-legal.
Birokrasi yang sibuk mengurus dokumen izin dan laporan teknis, jarang memikirkan daya dukung lingkungan. Birokrasi, masih melihat SDA sebagai komoditas, bukan sebagai infrastruktur ekologis.
Eco-Bureaucracy
Meski begitu, tidak semua birokrat buta arah. Ada segelintir teknokrat yang mencoba menjaga akuntabilitas lingkungan. Mereka berusaha memperketat kajian AMDAL, menolak izin di kawasan rawan bencana, hingga menegaskan reklamasi tambang harus sesuai aturan.
Namun suara mereka sering tenggelam, dikalahkan lobi politik dan tekanan pemodal. Karena sikap cairnya birokrasi (bias netralitas), dalam kerangka teori hegemoni Gramsci, mereka gagal membangun hegemoni baru yang menandingi dominasi kapital.
Seharusnya ini peluang di era otonomi khusus, pemerintah Aceh harus paham, bahwa birokrasi sebagai arena ideologis bukan sebatas mesin administrasi semata. Menuntut beberapa hal paradigma mendasar.
Birokrasi tak boleh lagi menjadi perpanjangan tangan bisnis atau konglomerasi tambang. Seleksi pejabat harus mempertimbangkan tidak hanya merit administratif, tetapi juga merit ideologis: keberanian menolak kompromi ketika menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat.
Visi baru eco-bureaucracy, berani menggeser orientasi, dari ekonomi berbasis ekstraktif menuju arah strategi ekonomi hijau yang lebih tahan lama. Mekanisme birokrasi, lebih berhati-hati mengatur setiap kebijakan sektor ekstraktif, dengan menjamin transparansi, kepastian hukum.
Eco-bureaucracy bekerja dengan prinsip keterbukaan: publik berhak mengawasi, pemerintah wajib menjelaskan. Negara tidak bisa lagi sekadar membagi izin atau menempelkan label populis dan jargon dalam dokumen perencanaan.
Kita bisa belajar dari negara-negara kecil tanpa sumber daya alam, seperti Singapura. Mereka membuktikan bahwa kemajuan tidak ditentukan oleh seberapa banyak emas atau batu bara di perut bumi, melainkan oleh merit system yang dijalankan birokrasi.
Ketika birokrat dipilih karena kapasitas, bukan kedekatan politik, maka kebijakan yang lahir lebih ideologis kepentingan publik dan berpihak pada kepentingan jangka panjang.
Ini bukanlah era dimana ekonomi terikat dengan sumber daya ekstraktif. Mungkin perbandingan dengan Singapura yang terkenal negara kecil dan maju itu, terlalu biasa.
Konteks lebih luas, hal lebih menarik, ini tentang negara yang memang dikenal bekas wilayah konflik, Gameli Adika (2020) dalam jurnalnya “Economic growth dynamics between resource‐rich and resource‐poor countries in sub‐Saharan Africa: The role of politics and institutions” menunjukkan paradoks menarik dari Sub-Sahara Afrika. Rwanda dan Ethiopia, dua negara yang miskin sumber daya, justru melaju dengan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan.
Sementara itu, Nigeria dan Kongo, terkenal negara kaya sumber daya alam, masih saja tersandung krisis. Bahkan, Botswana dan Namibia yang tidak bergantung pada tambang dan minyak, mampu menjaga stabilitas pertumbuhan mereka.
Pesannya sederhana tapi tajam: yang menentukan bukan cadangan emas atau minyak, melainkan kualitas institusi birokrasi. Demokrasi yang sehat, politik yang stabil, dan rotasi kekuasaan yang terjaga lebih berharga daripada tambang mana pun.
Inilah tantangan terbesar eco-bureaucracy di negeri kita: bukan hanya mengelola sumber daya, melainkan berani melepaskan ketergantungan pada ekstraktivisme, lalu menata ulang arah pembangunan dengan pondasi yang lebih hijau dan adil.
Dr A Rani Usman MSi: Dari Pedalaman Aceh Timur Membangun Jaringan ke Negeri Tirai Bambu |
![]() |
---|
Tambang Aceh untuk siapa? |
![]() |
---|
Pentahelix Sang Jenderal: Menuju Aceh Berkelanjutan |
![]() |
---|
Lebih dari Sekadar Angka: Mengapa Kualitas Persalinan Ibu di Daerah Terpencil Masih Menjadi Taruhan? |
![]() |
---|
Potret Toleransi Agama di Aceh: Imelda Purba Nyaman Berbisnis Buah-buahan di Pasar Lambaro |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.