Pojok Humam Hamid

Racikan Xi Jinping Untuk Cina Abad 21: Komunis, Konfucius, dan Sun Tzu

Komunisme dalam tangan Xi bukanlah dogma ekonomi seperti era Mao, melainkan alat manajerial untuk menjaga stabilitas, kontrol sosial..

|
Editor: Subur Dani
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Media resmi dan program televisi kerap mengutip pepatah Konfucius, menyisipkannya ke dalam narasi pembangunan bangsa. 

Bahkan dokumen partai mengintegrasikan pemikiran Konfucius ke dalam nilai-nilai “sosialis khas Cina” sebagai wujud rekonsiliasi antara ideologi revolusioner dan warisan tradisional.

Namun ada yang pengecualian, nilai-nilai Konfusianisme  lag diterapkan itu telah dikemas ulang dan dijinakkan untuk mendukung stabilitas, nasionalisme, dan kepatuhan terhadap negara.

Jin Ping menjaga dengan  ketat  bahwa ajaran Konfucius bukan sebagai filsafat bebas, melainkan alat ideologis yang telah dsesuai kan  dengan kebutuhan Partai Komunis

Di dalam negeri, nilai-nilai Konfusianisme diajarkan untuk menanamkan kepatuhan dan stabilitas sesuai kepentingan Partai.

Melalui Confucius Institute di luar negeri, ajaran itu dipromosikan sebagai warisan budaya yang damai, universal, dan non-politik — sebuah citra yang jauh lebih lunak dibanding fungsi ideologisnya di dalam negeri.

Seperti diketahui, pemerintah Cina telah lama menggunakan Insitute Konfusius di berbagai ibu kota dan kota-kota di dunia sebagai alat kekuatan lunak - soft power dalam berinteraksi dengan masyarakat internasional.

Penggunaan nilai-nilai Konfucius oleh Xi bukan semata-mata nostalgia budaya, melainkan strategi nation building. 

Baca juga: Ironi Palestina: Koalisi Keuangan Internasional dan Retak Internal Berkelanjutan

Ia membingkai kebangkitan Cina bukan hanya sebagai peristiwa ekonomi, tetapi sebagai kebangkitan peradaban. 

Inilah Cina yang tak lagi ingin sekadar menjadi negara maju seperti Barat, tetapi ingin menjadi model alternatif bagi dunia—yang modern tapi tetap berakar pada nilai-nilai Timur.

Dalam ranah eksternal, Xi tampak sangat akrab dengan prinsip-prinsip Sun Tzu. 

Seni perang klasik itu tidak menekankan konfrontasi terbuka, melainkan kemenangan melalui kecerdikan, disinformasi, aliansi strategis, dan pemanfaatan kelemahan lawan. 

Investasi Lintas Benua

Ini sangat tercermin dalam cara Cina merespons tekanan Amerika Serikat. 

Daripada beradu frontal, Cina membangun pengaruh lewat jalur perdagangan, investasi infrastruktur lintas benua, serta proyek-proyek diplomatik jangka panjang seperti Belt and Road Initiative-Sabuk Sutra Tiongkok. 

Alih-alih mengirim pasukan ke Afrika, Amerika Latin, dan sebagian negara -negara Eropah yang “dhaif”, mereka mengirim pinjaman, teknologi, dan narasi kebangkitan damai. 

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved