Opni

Gerakan Menanam Jagung untuk Merajut Kemakmuran Bireuen

Bireuen, yang kini dikenal dengan identitasnya sebagai Kota Santri dengan segudang lembaga

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si.l, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Pengurus Lembaga Pemerhati dan Advokasi Syariat Islam. 

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si.l, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Pengurus Lembaga Pemerhati dan Advokasi Syariat Islam

BIREUEN bukan sekadar nama di peta Aceh. Ia adalah saksi bisu denyut nadi perjuangan Republik Indonesia di masa-masa paling kritis. Dari Pendopo Bupati yang menjadi markas sementara Sukarno, hingga gelombang udara Radio Rimba Raya yang menyiarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih tegak berdiri, Bireuen telah mengajarkan satu pelajaran berharga: kemandirian dan perlawanan bermula dari kesadaran kolektif. 

Kini, di era yang jauh berbeda, semangat juang yang sama harus dihidupkan kembali untuk menghadapi tantangan baru: mencapai kemakmuran ekonomi yang berkelanjutan. Dan salah satu senjatanya adalah komoditas yang mungkin terlihat sederhana, jagung.

Bireuen, yang kini dikenal dengan identitasnya sebagai Kota Santri dengan segudang lembaga pendidikan agama, sejatinya menyimpan potensi agraris yang luar biasa. Terletak di persimpangan strategis antara pesisir timur dan dataran tinggi tenggara Aceh, wilayah ini dianugerahi tanah yang subur. 

Selain padi sebagai komoditas utama, jagung telah lama menjadi tulang punggung pertanian, terutama sebagai bahan baku pakan ternak. Namun, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Inilah saatnya untuk meluncurkan sebuah gerakan bersama, sebuah people’s movement, untuk menjadikan Bireuen sebagai lumbung jagung regional, demi kemakmuran rakyat yang inklusif.

Potensi Jagung: Lebih dari Sekadar Komoditas Sela

Selama ini, jagung seringkali diposisikan sebagai tanaman sela atau sekadar alternatif. Padahal, dalam konteks ekonomi nasional dan lokal, permintaan terhadap jagung, khususnya untuk industri pakan ternak, terus melonjak. Bireuen, dengan sektor peternakan ayam dan itik yang berkembang, justru sering kali bergantung pada pasokan jagung dari luar daerah. 

Ini adalah sebuah paradoks yang harus diakhiri. Setiap butir jagung yang diimpor dari daerah lain berarti aliran uang yang keluar dari Bireuen, dan peluang ekonomi yang hilang bagi petani lokal.

Gerakan bersama menanam jagung bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan pakan ternak. Ini adalah tentang membangun sebuah ekosistem ekonomi yang mandiri dan saling menguntungkan. Petani jagung memiliki pasar yang jelas dan stabil. 

Peternak mendapat suplai pakan yang lebih murah dan terjamin kualitasnya, yang pada akhirnya akan menekan biaya produksi dan meningkatkan daya saing produk ternak Bireuen. Perekonomian akan berputar lebih cepat di dalam daerah, menggerakkan roda-usaha kecil dan menengah, dari mulai jasa pengolahan tanah, penjualan pupuk, hingga transportasi.

Gerakan Bersama: Dari Pemerintah hingga Ranting Terkecil Masyarakat

Kata kunci dari upaya ini adalah "bersama". Keberhasilan gerakan ini tidak bisa hanya dibebankan pada semangat individual petani. Ia memerlukan sinergi yang terintegrasi dari semua pemangku kepentingan.

Pertama, Pemerintah Daerah. Pemerintah Kabupaten Bireuen harus menjadi lokomotif dengan kebijakan yang progresif dan mendukung. Ini dapat diwujudkan melalui:

Penyediaan Benih Unggul dan Subsidi: Memastikan akses petani terhadap benih jagung hibrida yang berproduktivitas tinggi dan tahan hama dengan harga terjangkau.

Pendampingan Teknis Intensif: Penyuluh pertanian harus aktif turun ke lapangan, membimbing petani dalam teknik budidaya yang baik (good agricultural practices), mulai dari pengolahan lahan, pemupukan berimbang, hingga pengendalian hama terpadu.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved