Kupi Beungoh
Pemuda dan Krisis Teladan: Siapa yang Layak Diteladani di Negeri yang Bising Ini?
Di media sosial, suara keras lebih cepat viral daripada suara bijak. Yang dipuja bukan lagi yang berbuat, tapi yang pandai bersandiwara.
Pertanyaannya: bagaimana bangsa ini bisa besar jika yang muda kehilangan contoh untuk diikuti?
Krisis keteladanan bukan hanya terjadi di puncak, tapi merembes ke bawah. Ketika pejabat publik berbohong, generasi muda belajar bahwa kebohongan adalah cara bertahan.
Ketika politikus tersenyum sambil menipu, pemuda belajar bahwa kepalsuan bisa tampak menarik.
Nilai-nilai luhur pelan-pelan terkikis. Kejujuran dianggap naif, kesederhanaan dipandang kuno, integritas terlihat tidak praktis. Padahal, justru dari nilai-nilai itulah sebuah bangsa menemukan martabatnya.
Sumpah Pemuda mestinya bukan sekadar upacara tahunan, tapi cermin nasional — sejauh mana kita meneladani keberanian mereka, bukan sekadar menghafal tanggalnya.
Karena tanpa keteladanan, setiap sumpah hanyalah kalimat indah yang hampa makna.
Pemuda hari ini tidak kekurangan kecerdasan, tapi kekurangan arah. Dan arah itu hanya bisa ditemukan bila ada yang menunjukkan jalan dengan laku, bukan dengan kata.
Bangsa besar tidak dibangun oleh banyaknya pengikut, tapi oleh sedikit orang yang benar-benar bisa diikuti.
Mungkin kini saatnya kita berhenti mencari teladan di luar, dan mulai menjadi teladan itu sendiri — sekecil apa pun perannya.
Sebab negeri ini tidak akan berubah hanya oleh mereka yang berteriak paling keras, tapi oleh mereka yang diam-diam bekerja dengan hati yang bersih.(*)
*) Penulis adalah Alwy Akbar Al Khalidi adalah Pemerhati Sosial-Keagamaan, Mahasiswa Doktor Studi Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi dari setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.