Pojok Humam Hamid

Gaza dan Yahudi Amerika: Dua Generasi, Dua Hati yang Berbeda

Ezra Klein, seorang jurnalis Yahudi yang dihormati di kalangan penulis dan pengamat di Amerika, baru-baru ini menulis tentang luka yang terjadi

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Maka, untuk mereka, Israel dipandang sebagai rumah satu-satunya, tempat aman terakhir jika dunia kembali membenci mereka. 

Bagi mereka wajar kalau mereka mempertahankan negara itu sepenuh hati. Mereka bukan mendukung penjajahan, tapi mempertahankan harapan hidup.

Tapi sekarang, anak-anak mereka punya cara pikir yang lain. 

Mereka lahir dan besar di kampus-kampus dengan keragaman yang tinggi, terbiasa berdiskusi soal keadilan, hak asasi manusia, dan solidaritas. 

Ketika mereka melihat foto anak-anak Palestina yang terbunuh di Gaza, mereka tak bisa lagi diam. 

Mereka mulai bertanya, “apakah ini yang harus kita bela? Apakah menjadi Yahudi berarti membenarkan kekerasan?”

Ini bukan pertanyaan kecil. Itu pertanyaan yang mengguncang hati banyak orang muda Yahudi. 

Mereka merasa terjebak. 

Mencintai tanah leluhur mereka, tapi juga mencintai nilai-nilai keadilan. 

Mereka ingin jadi manusia yang setia pada sejarahnya, tapi juga tidak ingin jadi penonton penderitaan orang lain.

Maka lahirlah kelompok-kelompok baru di Amerika. 

Ada yang bernama Jewish Voice for Peace, ada yang lain bernama IfNotNow. 

Mereka adalah anak-anak muda Yahudi yang berdiri di jalan, memegang poster ketika ada pembunuhan atau penderitaan massal di Gaza, “Not in Our Name” (Bukan atas nama kami). 

Mereka protes kepada Israel, mereka kritik pemerintahnya, mereka berdiri bersama rakyat Palestina. 

Tapi mereka tetap Yahudi. 

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved