Pojok Humam Hamid
Gaza dan Yahudi Amerika: Dua Generasi, Dua Hati yang Berbeda
Ezra Klein, seorang jurnalis Yahudi yang dihormati di kalangan penulis dan pengamat di Amerika, baru-baru ini menulis tentang luka yang terjadi
Mereka juga bertanya, sama seperti kita: “Kapan ini semua berakhir?”
Ini penting untuk kita pahami, terutama di Aceh.
Di negeri kita, karena banyak yang, karena kemarahan terhadap Israel, lalu membenci Yahudi secara keseluruhan.
Itu adalah sikap jang keliru.
Sebab kita jadi melawan musuh yang salah.
Kita jadi lupa bahwa banyak orang Yahudi juga manusia, juga punya hati nurani, juga ingin dunia lebih adil.
Bahkan, beberapa orang Yahudi-lah yang paling keras menentang kebijakan Netanyahu dan militer Israel.
Kalau kita mengutuk semua Yahudi hanya karena sebagian dari mereka ikut dalam proyek kolonialisme, maka kita sedang jatuh dalam perangkap yang sama yang dulu dipakai penjajah.
Menyamaratakan satu kelompok, menyalahkan semuanya, dan menutup jalan dialog.
Padahal sejarah Aceh sendiri tahu betul, tak semua Belanda itu penjajah.
Ada yang membela Aceh, ada yang menulis sejarah Aceh dengan hormat.
Sama halnya, tak semua Yahudi adalah pendukung kekerasan Israel.
Menariknya, generasi muda Yahudi Amerika saat ini mulai meninggalkan narasi lama.
Mereka tak mau jadi Yahudi yang diam saat orang lain tertindas.
Mereka ingin agama mereka jadi sumber cinta, bukan sumber ketakutan.
Dan kini, mereka mulai mendefinisikan identitas mereka bukan lewat tanah, tapi lewat nilai.
Bagi sebagian mereka, terutama genersi muda Yahudi di AS, menjadi Yahudi berarti berdiri bersama yang lemah--termasuk rakyat Palestina.
Ini bukan cerita tentang pengkhianatan.
Ini cerita tentang keberanian.
Keberanian melawan narasi yang sudah turun-temurun.
Keberanian menghadapi keluarga sendiri, komunitas sendiri.
Dan yang paling berat, dan mungkinin hebat, keberanian mencintai dengan cara baru.
Belajar Ulang Arti Menjadi Manusia
Sebagai orang Aceh, kita tahu betul rasanya hidup di bawah kekerasan.
Kita tahu rasanya kehilangan rumah, kehilangan orang tua, kehilangan harapan.
Maka seharusnya, kita juga tahu cara membedakan mana yang berdiri bersama kita, dan mana yang menindas kita.
Dan dalam hal ini, terutama dalam pandangan dan keberpihakan terhadap Gaza dan Palestina, banyak anak muda Yahudi Amerika yang sebenarnya lebih dekat kepada kita daripada kepada negaranya sendiri.
Ezra Klein menyebut pergeseran ini sebagai “momen sejarah.”
Dan sejarah, katanya, jarang bergerak lurus.
Ia bergerak lewat konflik, luka, dan keberanian.
Sejarah Yahudi Amerika kini sedang berada di persimpangan, dan jalan mana yang mereka pilih akan menentukan arah baru dunia.
Tapi satu hal sudah jelas.
Suara-suara muda tidak akan diam.
Mereka sedang berusaha menyelamatkan moral komunitas mereka.
Dalam proses itu, mereka juga sedang membuka jendela bagi dunia untuk melihat bahwa menjadi Yahudi tidak harus berarti menjadi penjajah.
Dan penjajah itu adalah Israel.
Akhirnya, kita semua--, di Palestina, di New York, sebagian di Tel Aviv, dan mungkin di Aceh--sedang belajar ulang arti menjadi manusia.
Dan mungkin, justru dari perpecahan inilah lahir masa depan yang lebih jujur, lebih manusiawi, dan lebih adil untuk semua.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Isi artikel Pojok Humam Hamid menjadi tanggung jawab penulis.
Komite Yahudi Amerika
yahudi amerika serikat
generasi muda yahudi amerika
pojok humam hamid
humam hamid aceh
Serambi Indonesia
Serambinews
| Dana Otsus Jilid 2: Lagu Lama vs Otoritas Teknokratis – Bagian Kedua |
|
|---|
| Dana Otsus Jilid 2: Lagu Lama vs Otoritas Teknokratis - Bagian 1 |
|
|---|
| MSAKA21: Dakwah dan Penaklukan: Jejak Islam dari Peureulak ke Afrika Utara - Bagian XV |
|
|---|
| Pembangunan 50 Kota Prioritas Nasional: Mengapa Kota-Kota di Aceh Terabaikan? |
|
|---|
| Utang Kereta Cepat” Whoosh” Cina: Akankah Prabowo Mengikuti Jejak Mahathir? |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.