Pojok Humam Hamid

Gaza dan Yahudi Amerika: Dua Generasi, Dua Hati yang Berbeda

Ezra Klein, seorang jurnalis Yahudi yang dihormati di kalangan penulis dan pengamat di Amerika, baru-baru ini menulis tentang luka yang terjadi

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

KITA di Aceh, atau di Indonesia secara umum, ketika bicara soal Yahudi, sering kali yang muncul langsung adalah, kemarahan. 

Kita marah melihat Palestina dijajah. 

Kita geram dengan bom-bom yang menghancurkan Gaza. 

Dan di tengah amarah itu, kita sering lupa membedakan. 

Ada negara bernama Israel, dan ada pula manusia-manusia Yahudi yang ada di dunia, termasuk yang hidup di Amerika.

Tentang Israel dan Yahudi AS ada observasi dari seorang wartawan dan kolumnis the New York Times terkenal yang belum lama ini menulis kesan yang tak biasa.

Ia adalah Ezra Klein, seorang jurnalis Yahudi yang dihormati di kalangan penulis dan pengamat di Amerika.  

Baru-baru ini menulis tentang luka yang terjadi di dalam komunitas Yahudi sendiri. 

Ia menulis, “Orang Yahudi Amerika kini tak lagi saling memahami.” 

Kalimat itu mungkin sederhana, tapi isinya dalam sekali. 

Sebab, di balik kekerasan di Gaza, ada konflik diam-diam yang terjadi di hati orang Yahudi sendiri, terutama di Amerika Serikat. 

Konflik itu bukan antara Israel dan Hamas--melainkan antara anak dan orang tua, antara yang muda dan yang tua, antara dua cara yang sangat berbeda dalam melihat dunia dan menjadi manusia.

Dulu, bagi banyak Yahudi di Amerika, mencintai Israel itu sama dengan mencintai diri sendiri. 

Mereka lahir dari keluarga pengungsi, dari korban Holocaust-kamar racun Hitler Perang Dunia II, dari nenek moyang yang diusir dan dibantai. 

Maka, untuk mereka, Israel dipandang sebagai rumah satu-satunya, tempat aman terakhir jika dunia kembali membenci mereka. 

Bagi mereka wajar kalau mereka mempertahankan negara itu sepenuh hati. Mereka bukan mendukung penjajahan, tapi mempertahankan harapan hidup.

Tapi sekarang, anak-anak mereka punya cara pikir yang lain. 

Mereka lahir dan besar di kampus-kampus dengan keragaman yang tinggi, terbiasa berdiskusi soal keadilan, hak asasi manusia, dan solidaritas. 

Ketika mereka melihat foto anak-anak Palestina yang terbunuh di Gaza, mereka tak bisa lagi diam. 

Mereka mulai bertanya, “apakah ini yang harus kita bela? Apakah menjadi Yahudi berarti membenarkan kekerasan?”

Ini bukan pertanyaan kecil. Itu pertanyaan yang mengguncang hati banyak orang muda Yahudi. 

Mereka merasa terjebak. 

Mencintai tanah leluhur mereka, tapi juga mencintai nilai-nilai keadilan. 

Mereka ingin jadi manusia yang setia pada sejarahnya, tapi juga tidak ingin jadi penonton penderitaan orang lain.

Maka lahirlah kelompok-kelompok baru di Amerika. 

Ada yang bernama Jewish Voice for Peace, ada yang lain bernama IfNotNow. 

Mereka adalah anak-anak muda Yahudi yang berdiri di jalan, memegang poster ketika ada pembunuhan atau penderitaan massal di Gaza, “Not in Our Name” (Bukan atas nama kami). 

Mereka protes kepada Israel, mereka kritik pemerintahnya, mereka berdiri bersama rakyat Palestina. 

Tapi mereka tetap Yahudi. 

Mereka tidak membenci diri mereka sendiri. 

Mereka justru merasa sedang menjalankan ajaran yang paling dalam dari agama mereka, “bahwa mereka harus berdiri di sisi yang tertindas”.

Tentu, tidak semua orang Yahudi di Amerika setuju. 

Banyak yang tetap mendukung Israel sepenuhnya. 

Tapi kini perpecahan itu makin nyata. 

Di dalam sinagog--rumah ibadah mereka--mulai ada yang tidak mau lagi memasang bendera Israel. 

Di rumah-rumah keluarga Yahudi, anak dan orang tua mulai saling diam kalau berbicara soal Gaza. 

Di media sosial, perdebatan makin tajam. 

Siapa sebenarnya yang sedang membela kebenaran?

Baca juga: Mengulik Jejak Yahudi di Aceh

Yahudi pun Mengalami Pergolakan

Ezra Klein, yang menulis semua ini dengan hati yang terbuka, bukan sedang menyuruh orang memilih salah satu pihak. 

Ia justru mengajak kita melihat bahwa dalam komunitas Yahudi pun, ada pergolakan. 

Bahwa mereka bukan satu suara. 

Bahwa tidak adil kalau kita menyamaratakan semua orang Yahudi sebagai pendukung penjajahan. 

Sebab kenyataannya, banyak di antara mereka juga merasa hancur hati melihat Gaza hancur. 

Mereka juga menangis. 

Mereka juga bertanya, sama seperti kita: “Kapan ini semua berakhir?”

Ini penting untuk kita pahami, terutama di Aceh. 

Di negeri kita, karena banyak yang, karena kemarahan terhadap Israel, lalu membenci Yahudi secara keseluruhan. 

Itu adalah sikap jang keliru. 

Sebab kita jadi melawan musuh yang salah. 

Kita jadi lupa bahwa banyak orang Yahudi juga manusia, juga punya hati nurani, juga ingin dunia lebih adil. 

Bahkan, beberapa orang Yahudi-lah yang paling keras menentang kebijakan Netanyahu dan militer Israel.

Kalau kita mengutuk semua Yahudi hanya karena sebagian dari mereka ikut dalam proyek kolonialisme, maka kita sedang jatuh dalam perangkap yang sama yang dulu dipakai penjajah.

Menyamaratakan satu kelompok, menyalahkan semuanya, dan menutup jalan dialog. 

Padahal sejarah Aceh sendiri tahu betul, tak semua Belanda itu penjajah. 

Ada yang membela Aceh, ada yang menulis sejarah Aceh dengan hormat. 

Sama halnya, tak semua Yahudi adalah pendukung kekerasan Israel.

Menariknya, generasi muda Yahudi Amerika saat ini mulai meninggalkan narasi lama. 

Mereka tak mau jadi Yahudi yang diam saat orang lain tertindas. 

Mereka ingin agama mereka jadi sumber cinta, bukan sumber ketakutan. 

Dan kini, mereka mulai mendefinisikan identitas mereka bukan lewat tanah, tapi lewat nilai. 

Bagi sebagian mereka, terutama genersi muda Yahudi di AS, menjadi Yahudi berarti berdiri bersama yang lemah--termasuk rakyat Palestina.

Ini bukan cerita tentang pengkhianatan. 

Ini cerita tentang keberanian. 

Keberanian melawan narasi yang sudah turun-temurun. 

Keberanian menghadapi keluarga sendiri, komunitas sendiri. 

Dan yang paling berat, dan mungkinin hebat, keberanian mencintai dengan cara baru.

Belajar Ulang Arti Menjadi Manusia

Sebagai orang Aceh, kita tahu betul rasanya hidup di bawah kekerasan. 

Kita tahu rasanya kehilangan rumah, kehilangan orang tua, kehilangan harapan. 

Maka seharusnya, kita juga tahu cara membedakan mana yang berdiri bersama kita, dan mana yang menindas kita. 

Dan dalam hal ini, terutama dalam pandangan dan keberpihakan terhadap Gaza dan Palestina, banyak anak muda Yahudi Amerika yang sebenarnya lebih dekat kepada kita daripada kepada negaranya sendiri.

Ezra Klein menyebut pergeseran ini sebagai “momen sejarah.” 

Dan sejarah, katanya, jarang bergerak lurus. 

Ia bergerak lewat konflik, luka, dan keberanian. 

Sejarah Yahudi Amerika kini sedang berada di persimpangan, dan jalan mana yang mereka pilih akan menentukan arah baru dunia. 

Tapi satu hal sudah jelas. 

Suara-suara muda tidak akan diam. 

Mereka sedang berusaha menyelamatkan moral komunitas mereka.

Dalam proses itu, mereka juga sedang membuka jendela bagi dunia untuk melihat bahwa menjadi Yahudi tidak harus berarti menjadi penjajah. 

Dan penjajah itu adalah Israel.

Akhirnya, kita semua--, di Palestina, di New York, sebagian di Tel Aviv, dan mungkin di Aceh--sedang belajar ulang arti menjadi manusia. 

Dan mungkin, justru dari perpecahan inilah lahir masa depan yang lebih jujur, lebih manusiawi, dan lebih adil untuk semua.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Isi artikel Pojok Humam Hamid menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved